Pemburu Babi
Kecepeh mendengarkan lagi dengan lebih baik. Terdengar suara bocah, tepatnya dua orang bocah sahut-sahutan. Lama-lama semakin riuh; seperti ada puluhan bocah yang tengah bernyanyi dengan riang.
Kecepeh tengah duduk bersama suaminya di berugak ketika tiba-tiba mendengar suara nyanyian dari arah hutan. Berulang-ulang.
Ia menelengkan kepala, persis seperti yang dilakukan induk ayam tatkala mendengar lengking elang. Kecuntil, suaminya, duduk saja, bersila, menggaruk-garuk betis. Seekor lalat berusaha hinggap di lukanya yang masih basah.
”Suara siapa itu?” tanya Kecepeh.
Tangan Kecuntil yang menggaruk-garuk berhenti. Ia menelengkan kepala juga seperti ayam jantan. Namun ia tidak mendengar apa pun. Hanya gemuruh Sungai Keditan.
”Suara apa?” tanyanya, penasaran.
”Anak-anak nyanyi.”
Kecepeh mendengarkan lagi dengan lebih baik. Terdengar suara bocah, tepatnya dua orang bocah sahut-sahutan. Lama-lama semakin riuh; seperti ada puluhan bocah yang tengah bernyanyi dengan riang dan tengah berjalan mendekati rumahnya.
Mendengar Kecepeh terus bertanya dan menjadi semakin gelisah, Kecuntil meloncat turun, hampir saja terjatuh, dan berjalan mengelilingi rumahnya. Ia berhenti di belakang rumahnya, tempat ia bisa melayangkan pandangan ke kebun kopi dan bukit di kejauhan, mencari sesuatu yang barangkali saja menjawab kegelisahan Kecepeh. Namun yang terlihat olehnya hanya daun-daun kopi mengilap; terhampar sampai ke sungai, dan pohon dadap besar menjulang. Sungai Keditan tidak terlihat dari tempatnya berdiri, tetapi ia mendengar gemuruhnya semakin keras. Ia hendak kembali ke berugak ketika terdengar teriakan, membuatnya terkejut. Setelah teriakan kesekian, ia tahu siapa pemilik suara itu. Seorang warga yang tinggal di seberang sungai tengah memanggil suaminya segera pulang.
Angin dingin berhembus dan ia cepat kembali ke berugak.
”Tidak ada apa-apa,” ujarnya menjelaskan.
Kecepeh memandang suaminya dengan penuh heran, kemudian kembali menelengkan kepala. ”Semakin jelas sekarang. Ratusan anak-anak kayaknya.”
”Saya ndak dengar apa-apa.”
”Benar?”
”Ndak dengar apa-apa.”
Kecepeh merasa bulu kuduknya berdiri, tubuhnya membesar, menjulang tinggi, mencapai atap-atap rumah. Wajahnya mendadak tampak letih seperti baru saja menyelesaikan pekerjaan yang sangat berat; seperti telah bertambah tua beberapa tahun.
”Ada apa?” tanya Kecuntil.
”Suara itu makin keras.”
”Saya ndak dengar apa-apa.”
”Benar-benar mau ganggu saya ini,” ujar Kecepeh dengan yakin.
”Kenapa bukan saya aja diganggu?”
”Mungkin karena saya yang ajak epe buka lahan ini.”
Waktu itu sore menjelang malam. Sandikala. Hujan baru saja selesai. Daun-daun dadap basah berserakan di halaman. Induk-induk ayam menuntun anak-anak mereka menuju tempat tidur; ceruk dalam di tebing kecil beberapa meter saja di sebelah barat berugak. Langit diselimuti mendung pekat. Angin dingin berhembus. Hujan sepertinya akan turun lagi, lebih lebat.
”Penunggu hutan itu, mereka berburu mungkin,” kata Kecuntil dengan maksud menenangkan.
Kecepeh tidak bisa tenang. Beberapa kali ia menjulurkan kepala melihat sekeliling. Tulang-tulangnya terasa ngilu, seolah angin telah mengirimkan penyakit ke tubuhnya. Dadanya seperti disumbat dan ia kesusahan bernapas. Takut nasib buruk akan menyergapnya, ia cepat turun dari berugak. Kakinya yang telanjang menginjak daun dadap. Ia berjalan ke dalam rumah dan sebentar kemudian keluar lagi dengan wajah yang semakin pucat.
Kecuntil memandang Kecepeh dengan penuh rasa ingin tahu dan lama-lama rasa cemas menghampirinya. Kecepeh berjalan ke tengah-tengah halaman, berdiri saja, menelengkan kepala, berusaha mendengar dari mana suara itu berasal. Tidak berhasil. Ketika ia yakin suara itu berasal dari arah hutan, dengan sangat cepat suara-suara riuh terdengar dari arah kebun ilalang di utara rumahnya. Ketika ia merasa telah melihat bayangan berkelebat di dekat jebak rumahnya, suara-suara itu terdengar dari arah puncak bukit, persis di tempat makam keramat berada. Ia cepat menoleh, tetapi yang tampak hanya ilalang dan semak-belukar.
Hanya sekejap Kecepeh merasa seperti dikepung. Ia yakin sekali seluruh tanah di sekitar rumahnya telah dipenuhi bocah-bocah yang bukan hanya bernyanyi, tetapi menari dan kaki-kaki mereka menebah tanah. Ia seperti mendengar suara-suara desah napas, suara batu-batu apung remuk, dan semak-belukar patah.
Kecuntil juga turun dari berugak, sekali lagi. Telanjang kaki. Menginjak daun-daun dadap. Pelan-pelan gelap menyelimuti. Dari bukit di timur kampung terdengar lengking burung hantu; lebih cepat dibanding malam-malam biasanya. Deru Sungai Keditan terus terdengar, diselingi suara-suara keras seperti sebongkah batu besar berbenturan dan pecah.
Kilat tiba-tiba menyambar, membuat segala sesuatu seperti menyala. Petir keras menyusul, menggeletar.
”Mau hujan. Kita masuk,” bujuk Kecuntil.
Kecepeh hanya diam. Berdiri di halaman. Membiarkan rasa dingin menjalari kedua kakinya.
”Mau hujan,” ulang Kecuntil.
”Masuk duluan.”
Kecuntil masuk dan keluar membawa lampu teplok dari bekas botol minuman, menggantungkannya di salah satu usuk berugak. Angin membuat api di ujung sumbu bergoyang-goyang.
Sepanjang ia berdiri itu Kecepeh terus merapalkan mantra. Ia ingin berusaha mengusir jauh suara-suara itu dari kepalanya. Mungkin karena merasa telah ditantang oleh mantranya yang terus diulang-ulang, suara itu terdengar semakin riuh. Terdengar seperti berasal dari tempat yang sangat dekat dengannya.
Kecuntil masuk dan keluar membawa lampu teplok dari bekas botol minuman, menggantungkannya di salah satu usuk berugak. Angin membuat api di ujung sumbu bergoyang-goyang.
Kecepeh tidak tahan dan lengking panjang keluar dari mulutnya. Mengagetkan suaminya yang tengah duduk dan memandang nyala lampu yang mengecil-membesar seperti berusaha melepaskan diri dari ujung sumbu. Kilat menyambar dan petir keras menggelegar begitu ia menuntaskan lengking kerasnya. Itu cukup membuat ia yakin bahwa ada yang tengah menguji dirinya. Terburu-buru ia berlari ke dalam rumah dan keluar dalam keadaan tidak memakai baju. Selembar kain saja yang melekat di pinggangnya, menutup sampai pangkal paha.
”Ayo ke sini lawan saya!” teriaknya.
Kecuntil melihat sekeliling, tetapi hanya ada suara menggerisik di belakang rumah mereka. Ia cepat melihat ke tempat itu, tetapi tidak dapat melihat apa-apa. Burung hantu di kejauhan terdengar sebentar saja kemudian berhenti.
”Ayo ke sini lawan saya!” teriak Kecepeh lagi. Ia berdiri di halaman, kedua susunya yang telah kisut menggantung di dadanya. Kedua lengan kurusnya meliuk-liuk di udara seperti tengah melakukan tarian. Pelan-pelan gerakan tangannya bertambah keras. Mantra terus terapal dari mulutnya.
Suara itu terdengar semakin riuh di dalam kepalanya. Dan ia tidak bertanya apa-apa kepada suaminya, ia tahu suara itu hanya terdengar olehnya. Ia tahu ada yang tengah berusaha mengganggu dirinya. Karena itu, ia harus menghadapinya seorang diri.
”Ayo lawan saya!” teriaknya. Kilat dan petir menyambutnya. Ia mendongak ke langit, dan hujan begitu saja turun. Lebat. Sangat lebat. Kecuntil duduk di berugak, bersandar di tiang, bersila, dan memejamkan mata. Tadinya ia masih ragu pada apa yang terjadi, tetapi semakin lama ia semakin yakin Kecepeh tengah diganggu.
Kecepeh juga mulai memejamkan mata dan menari-nari di halaman. Kedua tangannya terus meliuk-liuk kemudian mencakar-cakar udara. Sepasang susunya menggelantung dan bergerak-gerak. Pelan-pelan kainnya terlepas dan ia bertelanjang bulat sambil menari dengan menghentak-hentak. Teriakan-teriakan keluar dari mulutnya. Bukan teriakan menantang, tetapi rapalan mantra yang membuat ayam-ayam yang tengah tertidur mengeluarkan suara penuh ketakutan. Di berugak, Kecuntil beberapa kali menarik napas berat.
Apa yang Kecepeh lihat kemudian menjadi hal terakhir yang ia ingat saat meninggalkan dunia menuju kehidupan selanjutnya bertahun-tahun kemudian. Persis di tengah halaman, berdiri dua orang bocah. Seekor babi hutan besar, terikat di tengah-tengah bambu yang mereka pikul. Keduanya bertelanjang bulat. Mereka bernyanyi dengan riang sahut-sahutan. Setelah berhenti sebentar, mereka berjalan lagi, memutari rumah. Meskipun hanya berdua, tetapi suara mereka begitu riuh seolah ribuan manusia ikut pula bersuara. Pada putaran ketiga, Kecepeh melihat bukan babi lagi yang terikat di tengah pikulan, melainkan dirinya sendiri yang telah telanjang bulat. Dirinya yang terikat itu tampak kesakitan dan melambai-lambaikan tangan, seperti meminta diselamatkan.*
Oktober 2018
***
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk lima besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Nusa Tenggara Barat.