Pedro dan Selembar Resep
Selembar resep itu masih di genggaman Pedro. Matanya terus menatapi kertas berwarna putih dengan tulisan yang tak dimengerti olehnya.

Seperti apakah warna kesedihan? Barangkali memang ia serupa dengan angin yang tak bisa diwarnai dengan nyata dan terang, namun dapat dirasakan. Kesedihan adalah rasa yang bertalu dan tumbuh di sepanjang tubuh. Ia menyekap di relung dada, menciptakan kehampaan yang panjang dan tak pernah bisa diukur. Dan akhirnya memang hanya menciptakan puluhan penyesalan. Penyesalan yang kerapkali datang begitu terlambat. Mungkin pula hanya Pedro yang mampu menguraikannya.
Demikianlah, maka saya pun coba menuliskan kisah itu. Tentang Pedro dan selembar kertas resep. Maafkanlah jika kisah ini berlompatan. Sebab terkadang saya hanya mendengarnya selintas saja. Tentang kabar Pedro itu, hanya berupa fragmen-fragmen. Barangkali engkau dapat membacanya dengan utuh, setelah mengaitkan fragmen-fragmen tersebut. Sebuah kisah yang biasa saja dari orang yang juga biasa saja. Mungkin terjadi dekat dengan keseharian dirimu.
**
Selembar resep itu masih di genggaman Pedro. Matanya terus menatapi kertas berwarna putih dengan tulisan yang tak dimengerti olehnya. Tulisan dari dokter spesialis anak, tentu setelah diagnosa yang dilakukan, dengan sekejap perawat pun menyodorkan resep putih itu. Kini, Pedro masih menggenggam resep itu, seandainya saja, ya seumpamanya ia rutin membayarkan iuran JKN untuk keluarganya. Namun segalanya sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur.
Ia memperkirakan nominal angka rupiah yang mesti dikeluarkan. Pedro terus berpikir keras, ia termenung. Selembar kertas resep yang belum juga beranjak ditebusnya. Ia melihat dompetnya hanya sisa uang untuk ongkos pulang ke rumah. Itupun ia hanya bisa membayar angkot sampai persimpangan, kemudian berjalan. Ah, apakah ia harus pulang saja? Membawa selembar kertas itu turut serta? Ia tak lagi memunyai simpanan—saldo tabungannya pun sudah habis.
Ia mendadak linglung. Ia merasa tubuhnya seperti pelampung di tengah lautan. Bingung. Tenggelam dan terapung. Sekejap terbayang wajah anaknya yang demam. Masa kecil anaknya yang berlintasan, sekelebat merambat. Ia ingat bagaimana senyum penuh anaknya, suaranya, percakapannya, tertawanya. Anak yang terus beranjak dewasa.
**
”Buat apa mesti membayar iuran tiap bulan! Buat susah saja, toh keluarga kita selama ini sehat-sehat saja. Kenapa kita mesti bersusah-payah untuk melakukannya. Lagi pula tidak setiap bulan kita sakit. Sudahlah tidak usah ikut BPJS itu, selama ini kehidupan kita baik-baik saja. Sehat-sehat saja.”
”Tapi mas untuk iuran yang dibayarkan tiap bulan Insya Allah cukup terjangkau bagi kita, bisa kita sisihkan untuk bayar iuran setiap bulannya. Tentunya menjadi Peserta BPJS Kesehatan ini, kita tidak mengharapkan sakit. Utamanya adalah agar kita terhindar dari biaya yang besar saat berobat,” *) istrinya berusaha memberikan penjelasan.
Selembar resep itu masih di genggaman Pedro. Matanya terus menatapi kertas berwarna putih dengan tulisan yang tak dimengerti olehnya. Tulisan dari dokter spesialis anak, tentu setelah diagnosa yang dilakukan, dengan sekejap perawat pun menyodorkan resep putih itu.
Namun telinga Pedro seperti membatu. Seolah suara Istrinya tak ada yang masuk untuk didengarkannya.
”Sudahlah, pokoknya aku tak mau bersusah payah tiap bulan untuk membayarkannya! Meskipun itu mudah dengan hanya melakukan transfer saja yang bisa dilakukan lewat telepon genggam.”
Istrinya hanya terdiam.
**
Namun, seketika peristiwa yang tak terduga terjadi. Pandemi Covid-19 datang tanpa diduga. Usaha kuliner yang ditekuni Pedro mendadak mengalami penurunan yang dramatis. Bahkan tidak dapat lagi menutupi ongkos produksi. Beberapa karyawan terpaksa dirumahkan.
Virus—yang mungkin saja hinggap di mana saja. Plastik, kardus, pegangan pintu, logam, besi—yang turut pula menyebar semakin liar dan berdiam di sejumlah material lain, bahkan di tubuh makhluk hidup. Di tubuh setiap orang yang mungkin kita jumpai di keseharian yang sunyi ini. Hari sunyi ini terasa lebih panjang, jauh memanjang dibandingkan yang pernah dinarasikan dalam novel One Hundred Years of Solitude dari Gabriel Garcia Marquez atau catatan Pramudya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Bisu. Pemerintah pun menerapkan sejumlah kebijakan, menutup berbagai tempat hiburan, meliburkan sekolah, ASN dan pihak swasta untuk bekerja di rumah, membatasi jam operasional transportasi massal. Juga sejumlah imbauan lain, yang tentunya membutuhkan kerja sama kita bersama. Untuk senantiasa menjaga jarak, baik sosial dan psikologi, senantiasa mencuci tangan dengan sabun dan juga sejumlah imbauan untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Di saat pandemi Covid-19 ini justru setiap orang disarankan untuk melakukan perilaku ”sunyi”, dengan berdiam diri di rumah. Dengan bekerja, belajar dan beribadah di rumah. Sekaligus membuat tembok batas bagi jarak sosial. Membuat jarak yang aman. Dengan berjarak kita menciptakan medium aman. Pun saat terpaksa untuk keluar dari rumah sekalipun, setiap orang wajib untuk menggunakan masker—agar tidak terpapar dari virus.
Setiap hari ada saja berita kematian. Setiap hari raung ambulans memadat. Menuju rumah sakit atau tempat pemakaman. Terkadang ada sepuluh mobil yang bergerak melaju. Seperti konvoi atau bertemu di persimpangan jalan yang lain. Ambulans itu terus bergerak dengan cepat, melintasi jalanan yang macet, melewati lampu merah—membelah ruang dan waktu. Di hari-hari pandemi terasa sunyi membekas begitu penuh. Pandemi yang begitu tragedi dibandingkan dengan imajinasi.
Semakin hari semakin sepi. Semakin sunyi. Kini tak ada lagi yang memesan kulinernya. Pedro mencoba bertahan. Satu per satu barang dijualnya, demi untuk mempertahankan agar usahanya tetap hidup. Tapi wabah ini terus berkecambah. Seperti nyala api yang hidup segan matipun tak mau. Akhirnya Pedro menyerah. Usahanya bangkrut!
**
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, kira-kira itu yang dirasakan Pedro. Pada suatu malam yang dingin sehabis hujan, tiba-tiba anaknya dilanda demam. Batuk-batuknya menggelegar panjang. Tak berkesudahan. Wajahnya pucat. Butir-butir keringat dingin terus mengalir di sekujur badan.
Esok paginya, Pedro memutuskan untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Memasuki pelataran rumah sakit, dengan wabah pandemi yang masih melanda, ia tertahan untuk dilakukan screening, dibawa ke tenda besar yang biasanya digelar untuk pengungsi. Di sana dilakukan pengambilan darah, rontgen dada.
”Apakah Bapak pengguna BPJS?” seorang perawat dengan pakaian warna putih bertanya.
”Ia hanya terdiam”
Tapi setelah dilakukan tindakan, dokter pun mendiagnosis, ”Syukurlah pak. Membaca hasil dari PCR, laboratorium dan radiologi tidak ada tanda-tanda terpapar Corona. Hanya demam biasa, bukan Covid-19. Anak Bapak terkena typhus, tidak perlu dirawat inap di sini. Tapi harus dijaga pola makan dan asupan vitamin dan gizi yang baik. Untuk itu, saya buatkan resep.”
Pedro menerima selembar resep kemudian memesan taksi secara daring, agar anaknya bisa pulang ke rumah terlebih dahulu. Tinggallah Pedro sendiri di rumah sakit. Di antara lalu-lalang orang yang mondar-mandir. Pengeras suara memanggil nama-nama. Suster yang mendorong tempat tidur membawa seorang yang tengah sekarat. Dan lampu-lampu mulai menyala.
Baca juga : Marena
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Nada yang kering seperti menyeretnya dalam ruang yang asing, ”Setiap bulan aku membayarkan iuran BPJS kita secara diam-diam. Sejak engkau tak setuju dan marah untuk membayar setiap bulan. Jangan khawatir obat itu dapat diambil langsung ke dipo obat di rumah sakit tanpa perlu mengeluarkan uang sepeserpun. Sebelumnya juga aku tadi sudah menghubungi pihak rumah sakit, bahwa kita menggunakan layanan BPJS. Aku tahu jika dirimu dilanda panik saat membawa anak kita tadi. Oh, iya Nadia barusan sudah tidur di kamarnya, tadi juga sudah makan bubur dan minum susu. Alhamdulillah, saat aku cek dengan thermometer demamnya juga sudah turun.”
Di seberang sana, ia mendengar suara yang sangat dikenalnya, bertahun-tahun. Istrinya.
Mata Pedro berkaca, kelak jika ia tiba di rumah, ia akan memeluk dan bersandar di dadanya. Menggenangkan segala sesal yang pernah ditampungnya, selama ini. Penyesalan yang menjelma jadi ular, sepanjang tubuhnya.
Selembar resep itu telah tertukar menjadi obat buat anaknya. Terbayang kembali wajah anaknya, juga istrinya.
Edelweis, 2021
*) disarikan dari ucapan Srijumiyati dalam berita Masih Enggan Daftar BPJS Kesehatan? Simak Cerita Ibu Ini yang dimuat di media daring.
****
Alexander Robert Nainggolan (Alex R Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila Jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, dan tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan daring. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit Basabasi, 2016).