Kecemasan Bibit Padi
Sadana, saudara laki-laki Sri, senantiasa melindungi perempuan itu dan biji padi yang dibawanya.
Sebatang bibit padi yang baru ditanam bercerita kepada kawan barunya, seekor ular sawah tua yang kebetulan melintas di kalen kecil tak jauh dari dirinya, bahwa dulu ia pernah hidup dengan bahagia dan tanpa kecemasan sama sekali. “Itu adalah hari-hari yang bahagia,” kata bibit padi itu, “dan karena itulah, aku pernah menjadi biji padi yang montok dan matang sempurna.”
Bibit padi itu kemudian melanjutkan bahwa seharusnya memang begitulah hakikat padi. Dan dengan perasaan puas karena hidup yang bahagia, ia bisa berendah hati. Oleh karena itulah ia membuat malai-malai yang digelantungi padi biji kuning merunduk.
"Tapi hari-hari seperti itu sudah berakhir,” kata bibit padi itu melanjutkan. Ia menjelaskan maksudnya. “Pada akhirnya, tiba musim panen. Malai-malai yang merunduk tanpa kesombongan itu ditebang para petani. Sebagian dari kami kemudian dikirim ke penggilingan, menjadi butir-butir beras, untuk kemudian ditanak dan dikunyah, lantas melanjutkan hidup dalam serat-serat daging manusia. Dan memang begitulah seharusnya,” katanya.
“Aku tak tahu apakah sebagai serat-serat daging mereka juga cemas sepertiku,” katanya lagi. “Maksudku, aku benar-benar tak tahu karena aku tak terpilih menjadi butir-butir beras. Aku terpilih untuk melanjutkan hidup kaum padi. Aku disemai sebagai benih. Dan beginilah aku sekarang. Meneruskan hidup sebagai bibit, dan berjuang membesarkan batang-batangku sendiri, lantas pada suatu hari nanti, aku mesti menghasilkan biji-biji lain.”
“Memang begitu seharusnya,” kata si ular sawah tua. “Aku telah hidup jauh lebih lama ketimbang yang bisa kau bayangkan, dan selalu demikian dari masa ke masa.”
Bibit padi itu tampak kesal. Angin dari gunung menggoyang pucuk-pucuknya yang hijau dan runcing. “Tidak,” katanya. “Ini tidak sama persis seperti yang seharusnya.”
Bibit padi itu mencoba meyakinkan si ular sawah tua bahwa ada tahap-tahap dari kehidupannya terdahulu yang kini tidak dialaminya. Ia mengatakan ia masih bisa mengingat dengan jelas sebab bagaimanapun, ia memang pernah hidup sebelumnya.
“Maksudku,” katanya, “ingatan-ingatan yang dibawa oleh malai-malai padi yang kemudian membuahkan aku masih tersimpan dalam diriku.”
Bibit padi itu mengatakan bahwa betapa dulu sekali, tanah subur sebab doa yang dipanjatkan para petani.
“Doa-doa itu membumbung ke langit tinggi,” kata bibit padi itu, “lantas menarik gumpalan mendung dan menjatuhkannya sebagai hujan. Doa-doa itu membumbung tinggi, lantas menjelma angin yang menerbangkan cabuk yang mengganggu daun. Doa-doa itu membumbung tinggi, lantas memanggil kawanan burung yang mematuki ulat-ulat. Dan kau seharusnya tahu bahwa doa-doa itu juga yang memerintahkanmu untuk melata di sela-sela batang padi, dan memangsa tikus-tikus yang rakus.”
Ular sawah itu mendesis. “Sekarang aku juga tetap datang,” katanya.
“Jadi apa yang membuatmu cemas?”
“Para petani tidak lagi berdoa,” kata bibit padi itu. “Aku tidak mendengar doa mereka sama sekali. Aku tidak melihat tiang-tiang doa yang tumbuh hingga menembus awan,” tambahnya.
Ular sawah tua itu tidak mengerti apa yang dikatakan oleh si bibit padi.
“Menurutku, semua terlihat baik-baik saja,” katanya. “Kau terlihat cukup sehat. Kau mendapat pasokan air yang cukup. Dan tanah di mana kau menancapkan akar-akarmu juga terlihat cukup subur. Dan aku tak melihat ada cabuk atau belalang yang mengigiti daun-daunmu.”
“Kau tidak tahu,” kata bibit padi itu. “Kau tidak tahu sebab kau bukan sebatang benih padi dan karena itu kau tidak berhak berkata seperti itu.”
“Maafkan aku,” kata si ular sawah tua. “Maafkan aku.”
Si ular sawah tua mengatakan bahwa sepertinya akan lebih baik bagi mereka jika ia pergi dari situ. Namun kemudian ia melihat si bibit padi mulai menangis, dan itu membuatnya simpati.
“Kau tahu kenapa para petani itu tidak berdoa?” kata si ular sawah tua bertanya kemudian.
“Tidak,” kata si bibit padi. “Aku tidak tahu. Namun aku tahu mereka tidak lagi berdoa. Tidak seperti dulu, maksudku, di kehidupanku sebelumnya.”
Ular sawah tua itu beringsut mendekat. “Dengarkan aku,” katanya, “aku telah hidup cukup lama, ratusan tahun kalau kau ingin tahu. Aku selalu muda karena aku selalu bisa berganti kulit. Dan selama itu, aku telah melihat banyak sekali hal.”
“Apakah itu ada hubungannya denganku?” kata si bibit padi, “sebab asal kau tahu, pada saat-saat seperti ini, aku tak ingin mendengar hal lain selain yang berhubungan denganku. Kau tak tahu betapa beratnya menjadi generasi yang terputus dengan cara hidup generasi sebelumnya sepertiku, apalagi bila kau mengetahui dengan pasti bahwa kau memang terputus dan bukannya asal menebak-nebak belaka.”
“Aku tak tahu,” kata si ular sawah tua, “tapi aku mencoba tahu. Dan ya, ini ada hubungannya denganmu. Ini memang tentangmu. Tentangmu saja.”
Aku telah hidup cukup lama, ratusan tahun kalau kau ingin tahu. Aku selalu muda karena aku selalu bisa berganti kulit. Dan selama itu, aku telah melihat banyak sekali hal.
“Baiklah,” kata si bibit padi. “Kalau begitu, katakan kepadaku.”
Maka si ular sawah tua bercerita. Ia mengatakan bahwa dulu sekali, ratusan tahun yang lalu, ia pernah mendengar sebatang bibit padi mengeluhkan hal yang sama seperti yang dikeluhkan si bibit padi sekarang.
“Itu adalah zaman ketika Sultan Agung memerintah Mataram,” kata ular sawah tua itu.
Ketika itu, kisah si ular sawah tua, seorang lelaki bernama Amongraga tiba di Wanamarta. Lelaki itu kemudian menikahi Tambangraras, putri Ki Panurta, pemimpin Wanamarta. Dan pada malam pertama pernikahan mereka, Amongraga menyingkirkan Sri dan Sadana yang sedang beristirahat di pondok Wanamarta.
“Kau tahu siapa Sri dan Sadana?” ular sawah tua itu bertanya dan si bibit padi menggeleng.
“Sri adalah ia yang membawa padi pertama ke Tanah Jawa,” kata si ular tua. Lantas ular sawah tua itu menuturkan bahwa perjalanan membawa biji padi pertama itu tidaklah mudah. Sri mesti melewati jalan panjang dan berbahaya. Dan lebih dari itu, ia juga mesti menghadapi serangan Celeng Srenggi yang bermaksud memakan biji padi pertama tersebut.
Sadana, saudara laki-laki Sri, senantiasa melindungi perempuan itu dan biji padi yang dibawanya. Lantas pada suatu kali, Sadana bertarung mati-matian melawan Celeng Srenggi. Celeng itu akhirnya kalah. Sadana berubah menjadi ular sawah besar yang melilit tubuh Celeng Srenggi, lantas celeng itu mati. Namun sebelum benar-benar mati, Celeng Srenggi bersumpah akan bangkit kembali dan selamanya bakal merusak padi yang dibawa oleh Sri. Dan begitulah yang terjadi. Setiap bagian dari tubuh Celeng Srenggi, mulai bulu-bulu halus di tubuhnya hingga gigi dan tulang belulangnya, berubah menjadi wereng, belalang, cabuk, tikus, dan segala macam hama bagi padi. Dan sejak itu pula, Sadana mesti berusaha lebih keras melindungi padi yang dibawa oleh Sri dan telah beranak pinak menjadi sangat banyak.
Lantas suatu kali, karena kecapekan setelah mengerjakan tugas yang tak kunjung berakhir, Sri dan Sadana beristirahat di Wanamarta dalam bentuk patung. Dan Amongraga menyingkirkan mereka.
Para petani penanam padi ketakutan karena itu. Padi-padi juga ketakutan. Tanpa Sri dan Sadana, bagaimana padi-padi bisa tumbuh dengan aman tanpa gangguan dari hama-hama yang tercipta dari tubuh Celeng Srenggi?
Namun seperti yang kau tahu, padi-padi tetap tumbuh meski tak ada lagi Sri dan Sadana di Wanamarta.
“Kenapa Amongraga menyingkirkan Sri dan Sadana?” kata bibit padi bertanya.
Baca juga : Dongeng dari Selatan Fort De Kock
Ular sawah tua itu menggeleng. “Aku tidak tahu,” katanya. “Hanya saja setelah itu, aku sering mendengar orang-orang bicara tentang bidah dan syirik dan sebagainya,” tambahnya.
“Dan apa yang membuat padi-padi tetap tumbuh?”
“Sesuatu yang kau sebut doa-doa, doa-doa yang menembus awan,” kata ular sawah tua.
“Itu cerita yang luar biasa,” kata si bibit padi.
“Itu pernah menjadi cerita yang sedih,” kata si ular sawah. “Namun semua orang sepertinya telah melupakannya. Bahkan padi-padi sepertimu juga melupakannya.”
“Ya, sepertinya seperti itu,” kata si bibit padi.
“Dan tahukah kau apa yang kupikirkan sekarang?” si ular sawah tua bertanya.
“Aku bisa menduganya,” kata si bibit padi. “Aku bisa menduganya.”
Si ular sawah menggelesot menjauh. “Kalau begitu kau tak perlu mencemaskan apa-apa,” teriaknya.
“Ya,” sahut si bibit padi, “ini cerita yang sedih. Tapi aku memang tak perlu mencemaskannya!”
***
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.