Hari-hari Ini
Hari-hari ini kita digiring memasuki sebuah terowongan, berjejalan di dalamnya dan terus berjejalan sampai tak ada lagi ruang untuk bergerak. Di luar terowongan, para pemburu mengepung.
Hari-hari ini kita digiring memasuki sebuah terowongan, berjejalan di dalamnya dan terus berjejalan sampai tak ada lagi ruang untuk bergerak. Di luar terowongan, para pemburu mengepung. Hari-hari ini kita terus menghitung angka-angka, ratusan hingga jutaan sampai kita tak bisa lagi berhitung. Di angkasa, hujan mengguyur ingatan kita, menghapus warna jingga kenangan-kenangan kita. Semua lalu jadi kelabu di angkasa. Hari-hari ini kita membeku dalam kesendirian.
“Mengapa?” tanyamu.
”Sebab, saat ini sepasukan bayangan kematian mengendap-endap, menyelinap di setiap pojok jalanan dan rumah-rumah, membayangi setiap gerak dan jejak langkah para politikus, ilmuwan, agamawan, para jenderal, orang suci dan para pendosa….”
“Bukankah setiap hari bayangan kematian mengintai kita?” tanyamu lagi.
“Kali ini berbeda, kali ini bayangan itu tersamar asap hitam, bayangan itu menari-nari, melompat-lompat seperti seekor kelinci, terbang melayang seperti seekor elang. Bayangan itu, kali ini, mendesis seperti seekor kobra, lalu menancapkan taring dan menyemburkan bisa kematian,” jawabku.
“Katakan lebih banyak tentang bayangan itu,” pintamu.
“Baiklah,” ujarku, “Mata para korban tak bisa melihat bayangan itu, mungkin karena terlalu banyak airmata mengalir di mata mereka. Mungkin karena debu-debu beterbangan mengaburkan pandangan. Bayangan itu menyergap para korban begitu tiba-tiba, begitu seenaknya. Lalu dalam kesendirian, mata mereka menyipit dan terpejam selamanya. Tak ada yang bisa menemani mereka. Bayangan itu mencegat semua langkah, menutup semua ruang.”
“Apakah mereka seperti malaikat pencabut nyawa?” tanyamu.
“Hmm, malaikat pencabut nyawa kurasa malah tak punya bayangan. Tapi maut sendiri adalah sebuah bayangan hitam. Besar dan hitam tapi tak terlihat meski di tengah terik matahari. Lalu dalam remang malam bayangan maut menjelma menjadi siluet, ia berkelebat dan mencekik semua suara, membunuhnya di jantung kegelapan.”
“Menakutkan sekali…”
“Ya, sangat menakutkan karena semuanya terjadi dalam senyap. Tak ada erangan terdengar, hanya sunyi di setiap sudut. Tak peduli seberapa riuh dunia di sekelilingmu, sunyi itu tetap mengurungmu dalam kesendirian. Tak ada seorangpun mendengar eranganmu saat bayangan maut itu merenggut nyawa.”
“Kau menakut-nakuti aku, sayang,” ujarmu lirih.
Hari-hari ini kita mulai kehilangan rasa. Indra kita diberangus oleh kehampaan hidup. Hari-hari ini kita mulai kehabisan akal, otak kita dilumpuhkan oleh raung sirene ambulans. Hari-hari ini kita mulai dibelenggu ketakberdayaan. Tak mampu bersiasat dengan licin seperti biasanya. Hari-hari ini kita harus bergerak dalam diam. Menjaga nyala api di titik beku, meski hanya secuil bara yang susah payah berpendar. Hari-hari ini kita harus berbagi sunyi dalam sepi. Bersama menjaga kewarasan untuk membungkam raung sirine ambulans.
“Apa itu kewarasan? Bukankah sebenarnya kewarasan hanyalah wajah lain dari kegilaan? Seperti para pahlawan yang mengorbankan nyawa di ladang ranjau, apakah itu kewarasan atau kegilaan?” tanyamu.
“Itu mungkin soal DNA, soal genetika. Maksudku, jika darah pahlawan mengalir di nadimu, maka berkorban di tengah ladang ranjau adalah sebuah kewajaran. Bayangkan, sejak fajar mereka menelusuri jejak musuh tak kasat mata dari satu ladang ranjau ke ladang ranjau lain. Tapi di ujung malam mereka nyelinap, sembunyi di setiap celah dan relung kehidupan karena tiba-tiba kelelahan mengubah algoritma kewarasan menjadi kesadaran manusiawi,” jawabku.
“Aku tak bisa memahami, bagaimana tangan mereka berlumur lumpur dari ladang-ladang ranjau. Entah sudah berapa puluh hektar ladang ranjau mereka telusuri. Ladang-ladang itu terbuka, tanpa penjagaan sejauh mata memandang. Sementara musuh berseliweran tak bisa terlihat. Aku tak bisa memahami mengapa mereka mau berjalan bersama kematian di samping kiri mereka. Di setiap ayunan langkah kaki maut lekat menempel. Sebilah belati hitam berkilau yang siap menghunjam hanya terselip sia-sia di pinggang jika kau berada di ladang ranjau. Tak ada musuh terlihat untuk ditikam sampai mati,” tuturmu sedih.
“Hmm…,” aku bergumam.
“Ceritakan lagi tentang DNA pahlawan itu, biar aku tidak terlalu sedih. Redakan sedikit saja sedihku,” pintamu.
“Hmm, aku ingat sebuah cerita. Mungkin dari sebuah film perang Hollywood. Jadi, sekali waktu seorang pahlawan terjebak menginjak ranjau. Kaki kanannya hancur sebatas lutut, menyisakan serpihan tulang tapi ia terus berjalan terseok-seok menyeret tubuhnya. Darah pahlawan di nadinya tetap mengobarkan semangat. Peperangan di ladang ranjau telah membuat mereka koma, mereka hanya bisa berjalan karena dipicu darah pahlawan di denyut nadi mereka. Tak seorangpun tahu yang sebenarnya, apakah mereka masih hidup atau sudah mati tapi tetap berjalan.”
“Aku masih sedih, belum berkurang sedihku.”
“Baik. Kulanjutkan dulu. Mereka tak pernah menyerah sebab melawan adalah pilihan terbaik. Selama ladang ranjau tetap daerah terbuka tanpa penjaga dan para pemimpin tak menyegel ladang-ladang ranjau itu, mereka harus terus berjalan walau harus bergandengan bersama kematian. Di nadi mereka mengalir deras darah para pahlawan, itulah yang menggerakkan langkah mereka. Itulah DNA darah semua pahlawan di semua batu-batu prasasti sejarah kepahlawanan umat manusia…. Bagaimana? Sudah berkurang sedihmu?” tanyaku.
Kau hanya diam membisu.
Hari-hari ini kita harus bergegas, bergerak cepat menuju kutub negatif meski arus positif terus mengepung, menyeret dan mencoba hanyutkan kita dalam pusaran antara hidup dan mati. Hari-hari ini kita harus bergegas, bergerak secepat kilat menuju kesendirian meski belum lulus belajar tentang sunyi. Hari-hari ini kita tak boleh terus asyik tertipu belenggu keramaian dalam kumparan ada dan tiada.
Hari-hari ini kita harus bergegas, bergerak seperti meteor menuju atmosfer bumi. Meski kita buta ilmu tata surya semesta alam, coba rasakan dan dengar suara duka ibu pertiwi dalam arus keangkuhan dan kebodohan manusia. Hari-hari ini kita harus bergegas, bergerak seperti angin topan menuju langit meski kerap merasa lumpuh dalam perang keyakinan dan akal sehat. Hari-hari ini cobalah bergerak dengan nalurimu, murnikan nurani dalam badai kelam kehidupan hari-hari ini.
“Mengapa?” tanyamu.
“Sebab,” jawabku, “Di dunia wabah orang-orang tak bisa lagi mengenakan topeng. Satu demi satu topeng terkelupas dimakan wabah, lalu meleleh tak berbentuk saat wabah melumatnya. Kita harus mampu menjadi diri sendiri tanpa topeng di wajah sebab para topeng kehilangan karakternya dimangsa wabah.”
“Apakah kamu masih mengenakan topeng?” tanyamu, “Aku tahu kita terbiasa memiliki ratusan topeng, terus mengenakannya sampai tak kenal wajah sendiri. Saat topeng-topeng itu meleleh, kita terkapar dalam kekosongan jiwa. Sekarat kehilangan wajah di kepala sendiri. Jadi apakah saat ini kamu dan aku masih bertopeng?”
“Sejujurnya aku tak tahu persis. Kita kerap merasa masih mengenakan sebuah topeng padahal topeng itu mungkin sesungguhnya wajah kita sendiri. Ini membingungkan sekali. Jiwa kitapun tenggelam ke dasar kegelapan, menggelepar seperti hidup yang dikunyah wabah, tersesat jauh ke dasar jurang ketidaktahuan.”
“Mengerikan sekali,” ujarmu.
“Ya, sungguh mengerikan. Membayangkan kita berteriak parau di ambang maut: beri kami topeng! Meratap di tengah kegelapan: kembalikan topeng kami! Lalu merintih putus asa: ini topeng siapa di wajah kami? Semua ratapan dan rintihan hanyut di arus sunyi, hanya tersisa penyesalan mengepung hati.”
Hari-hari ini, kau dan aku, sepasang manusia yang tengah dimabuk cinta di tengah kepungan wabah, terus berjuang untuk menjaga jarak. Hari-hari ini kita bergelut memisahkan diri seperti sel tunggal yang membelah diri. Hari-hari ini, meski hati kita lekat oleh cinta yang tak pernah menyerah, kita tetap tak bisa melepaskan topeng di wajah kita. Hari-hari ini kita harus merumuskan ulang kisah cinta kita. Hari-hari ini kita harus segera mencari makna baru keberadaan kita dalam kehidupan ini.
Hari-hari ini maut memenuhi bumi, seperti cipratan darah iblis menyembur dari langit. Menghujani lima benua. Hari-hari ini, jasad para korban menumpuk di halaman rumah sakit. Bergelimpangan tak tertampung. Hari-hari ini kita tengah menari di tengah gelombang misteri hidup yang usang, yang makin pudar dan samar karena sebagian orang hidup seperti robot dan sebagian lagi hidup seperti sang Pencipta.*
Menteng, 30/6/21
FX Rudy Gunawan, menulis cerpen, novel dan puisi sejak pertengahan 1980an. Karya terbarunya antologi puisi To Kill the Invisible Killer bersama Afnan Malay diterbitkan oleh Kepustakaan Popular Gramedia (KPG, 2019).
Didie Sri Widiyanto, mengawali karier sebagai illustrator di tahun 1988, lalu di media politik pada tahun 1993, dan sejak tahun 2003 bekerja sebagai kartunis di harian Kompas. Beberapa kali mendapatkan penghargaan di bidang kartun, ilustrasi dan desain di beberapa kompetisi baik nasional maupun internasional. Pada tahun 2019 dia menjadi Finalis UOB Painting Award.