Bekasi, Pada Suatu Hari yang Berdarah
Aku memang puas telah ikut berperan dalam pemusnahan 90 angkatan laut Jepang yang sedang melakukan perjalanan menuju Kalijati itu.
Setiap ingatan itu datang, aku selalu kembali berada di bawah bayang-bayang penyesalan. Ingatan itu seperti menuntut sebuah pertanggungjawaban terhadapku. Air mata ini tidak jarang tumpah. Setiap aku mengusapnya, aku selalu dipaksa membayangkan sungai darah dalam tempurung kepalaku. Darah dari orang-orang yang mati dibantai.
Apabila aku tak mampu menaklukkan bayangan itu, aku akan melangkah untuk berziarah. Kepergianku tak ubahnya penebusan dosa atas apa yang kuperbuat. Dan petang ini, rupanya aku harus kembali ziarah. Sebenarnya aku ingin pergi secara diam-diam tanpa cucuku yang datang dari luar kota tahu. Tapi aku merasakan letih yang luar biasa, setelah hampir setengah hari mengurus sawah.
Rasa-rasanya aku sudah tidak cukup punya tenaga untuk mengayuh sepeda ontelku yang tua. Aku bisa saja menyuruh istriku mengantar, tapi sebagai seorang lelaki aku tidak ingin menyiksa dirinya. Aku ingin menjaga perasaannya. Apa kata orang nanti kalau mereka mengetahui, aku membonceng di belakang, sedang istriku yang mengayuh?
Aku tidak punya pilihan lain. Kusuruh cucuku untuk mengantarkanku. Aku katakan padanya apa yang menjadi tujuanku, tapi aku tidak berujar kepada siapa dan di mana aku berziarah. Kami meluncur dengan sepeda motor. Kupikir ini sudah waktunya cucuku mengetahui sejarahku, bahwa aku pernah terlibat dalam tragedi penting di negeri ini. Selama ini, aku memang belum pernah menceritakannya. Sebelum berangkat, aku sudah mengatakan padanya untuk mampir membeli bunga—aku tidak perlu risau di mana membeli bunga di waktu yang hampir petang seperti ini sebab aku sudah punya langganan. Seperti yang sudah kuduga, cucuku pun heran saat sampai di tujuan.
”Di stasiun? Bukankah kakek mau ziarah? Mengapa malah menyuruh Nino berhenti di sini, Kek?” tanya cucuku. Wajahnya yang dipenuhi keheranan, bisa kumaklumi. Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. ”Kakek sebenarnya mau apa, sih?”
”Sudah jangan banyak tanya, nanti kamu akan tahu sendiri,” kataku. Aku pun mengajaknya berjalan meninggalkan parkiran sepeda motor.
Kususuri pinggir rel kereta api bersama cucuku. Otakku memutar kembali peristiwa itu, sembari dijejali wajah-wajah tentara angkatan laut Jepang yang berdarah dan mengerikan. Wajah-wajah itu seolah ujung senapan yang mengarahkan padaku yang sewaktu-waktu melesatkan peluru. Kemudian aku mendengar teriakan dan jeritan yang mirip ledakan bom secara bersahut-sahutan. Suara-suara itu membayang, lalu menjelma ribuan pedang yang melayang dan bersiap meluncur padaku. Aku mempercepat langkah, mungkin orang yang melihatku mengira kalau aku dan cucuku sedang dikejar oleh seseorang. Aku berhenti di sebuah tempat—masih pinggir rel kereta api—yang biasanya kugunakan untuk memanjatkan doa.
Tempat itu agak berjarak dari stasiun. Tempat itu berada di belakang kios dan di situ terdapat batu besar. Aku biasanya duduk di dekat batu itu. Keranjang bunga yang kubawa kuletakkan di atasnya. Sementara itu cucuku berjongkok di samping kananku.
”Ziarah kakek, di sini.”
”Di pinggir rel kereta api?” tanyanya. Di balik nada bicaranya, aku bisa merasakan kalau ia punya pertanyaan lain; mengapa harus di sini?
Aku melempar isyarat kepada cucuku untuk diam. Kutundukkan kepala. Air mata tak lagi dapat kubendung. Air mataku menjelma sungai darah. Kuusap pipi. Di mataku tanganku berlumuran darah tentara Jepang. Aku panjatkan doa. Sebagaimana yang telah terjadi pada hari-hari sebelumnya, hanya penyesalan yang ada. Sebuah rasa yang tidak dapat kutebus dengan apa pun, bahkan apabila aku ganti yang dibunuh, rasa-rasanya tak cukup membayar semua itu.
Senja itu aku tidak mempunyai firasat apa-apa. Malam-malam sebelumnya, juga tidak ada tanda-tanda datang lewat mimpi, akan terjadi peristiwa nan kelam itu. Ya, di senja itu. Di Stasiun Bekasi inilah semuanya bermula. Berawal dari sebuah pesan, yang berisi instruksi dari Jakarta supaya membiarkan kereta api yang akan lewat membawa 90 tentara angkatan laut Jepang. Pesan itu ditujukan kepada Letnan Zakaria, seorang wakil komandan Tentara Keamanan Rakyat Bekasi.
Kusaksikan, Letnan Zakaria sempat beradu argumen dengan beberapa orang bawahannya. Letnan Zakaria menaruh curiga, tentara Jepang memanfaatkan situasi itu untuk berbuat sesuatu yang tidak mengenakkan bagi penduduk pribumi, dengan berlindung di balik topeng mengaku kalah dan siap dipulangkan ke negara asal—hal itu bisa kuterima di tengah Letnan Zakaria yang penting sehingga ia merasa punya tanggung jawab yang besar. Orang yang mendukung pemikiran Letnan Zakaria lebih banyak jumlahnya.
Mereka adalah orang-orang yang mendukung agar kereta api dialihkan ke jalur menuju rel yang buntu guna dilakukan pemeriksaan. Kala itu daerah Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada pemerintah pasca-kemerdekaan.
Atas perintah Letnan Zakaria, Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan kereta api yang mengangkut tentara Jepang itu ke jalur buntu. Orang-orang yang bertebaran di stasiun dan sekitarnya segera berlari seperti puluhan binatang buas yang hendak menerkam mangsa setelah menyaksikan beberapa orang mendatangi kereta api itu. Mereka mengepung kereta api, termasuk aku.
Letnan Zakaria melangkah menuju dalam gerbong kereta, diikuti beberapa orang bawahannya, termasuk aku. Suasana tegang. Tak ada satu pun tentara Jepang yang berani bergerak. Mereka seperti curut-curut yang tidak berdaya. Letnan Zakaria menjumpai atasan mereka. Dengan nada bicara penuh serius, Letnan Zakaria menanyakan surat jalan dari Pemerintah Indonesia.
Mereka membawa apa yang dimaksud Letnan Zakaria. Tanda tangan Soekarno dan Achmad Soebardjo selaku menteri luar negeri menghiasi surat jalan itu. Namun, di sela pemeriksaan yang khidmat itu, massa dikagetkan oleh suara tembakan. Massa pun marah dan menyerbu kereta api. Tembakan itu seperti membenarkan apa yang menjadi kecurigaan orang-orang yang berada di pihak Letnan Zakaria. Keadaan dalam sekejap menjadi kacau. Tentara Jepang melakukan perlawanan. Pertempuran di dalam kereta api pun terjadi. Tanganku juga sempat kugunakan untuk melakukan penyerangan. Namun, massa tentara Jepang yang jauh kalah jumlahnya membuat dengan mudah dikalahkan. Kereta api pun berhasil dikuasai.
Kususuri pinggir rel kereta api bersama cucuku. Otakku memutar kembali peristiwa itu, sembari dijejali wajah-wajah tentara angkatan laut Jepang yang berdarah dan mengerikan. Wajah-wajah itu seolah ujung senapan yang mengarahkan padaku yang sewaktu-waktu melesatkan peluru.
Aku sempat marah saat mendekati seorang tentara Jepang yang ketahuan membawa senjata. Kuhajar tanpa ampun. Dan setelah dilakukan penggeledahan, begitu banyak senjata yang dibawa mereka. Senjata-senjata itu dirampas oleh rakyat Bekasi dan tentara pribumi. Serdadu Jepang yang berjumlah 90 orang itu kemudian dikeluarkan dari gerbong dan digiring menuju sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Setelah ditahan selama empat jam lamanya di sel, tentara Jepang itu digiring menuju tepi Kali Bekasi. Di tempat itulah aku menorehkan dosa besar. Aku pun ikut andil dalam penggiringan itu. Ketika itu aku menguasai seorang tentara Jepang yang wajahnya sudah babak belur. Ia tampak ketakutan dan memohon kepadaku supaya aku tidak menyakitinya. Aku yang masih dikuasai rasa marah sama sekali tidak mendengarkan ucapannya. Dengan hati yang membara, kuhantam wajahnya berkali-kali. Sepatu larsku kuayunkan dan mendarat tepat ke alat kelaminnya.
Penyiksaanku tidak berhenti di situ. Kusayat dadanya dengan senjata tajam. Aku tidak lagi menghiraukan mereka—rakyat dan tentara pribumi—yang juga melancarkan penyiksaan terhadap tentara Jepang. Satu per satu tentara Jepang yang telah mati dilempar ke Kali Bekasi. Demikian juga dengan tentara yang telah berhasil kubunuh. Dengan dibantu rekan, aku melemparkan mayat dengan wajah yang sudah tidak berbentuk itu layaknya sampah atau bangkai anjing.
Mayat-mayat pun mengambang. Ada yang tanpa kepala. Ada yang tangannya hilang. Ada yang tubuhnya remuk. Dan tentu saja masih ada keadaan menyedihkan yang lain, yang tidak dapat disebut satu per satu.
Kali Bekasi benar-benar memerah darah!
Senyum puas terpancar dari rakyat Bekasi dan tentara pribumi. Aku pun tersenyum puas. Aku berbisik kepada diriku sendiri, mereka sudah sewajarnya menerima perlakuan demikian. Betapa tidak terkira, sudah berapa nyawa pribumi yang mereka tiadakan? Luka yang telah mereka tinggalkan untuk rakyat Indonesia?
Aku memang puas telah ikut berperan dalam pemusnahan 90 angkatan laut Jepang yang sedang melakukan perjalanan menuju Kalijati itu. Namun, kepuasaan itu hanya sekejap. Seusai aku meninggalkan tempat kejadian perkara, ada keganjilan timbul di hati. Keganjilan semacam apa, aku tidak bisa menjelaskan dengan pasti.
Baca juga : Ruangan Tanpa Ujung
Bekasi mendadak menjadi sunyi, tak lebih kota mati, seusai Laksamana Maeda melancarkan protes atas apa yang terjadi kepada Pemerintah Indonesia. Berembus kabar arwah 90 serdadu Jepang gentayangan di sekitar Kali Bekasi. Menurut beberapa orang yang mengaku melihat langsung, mereka menuntut balas atas kematian mereka. Aku tentu tidak percaya. Kabar itu hanya kuanggap mitos yang diciptakan untuk menakut-nakuti anak-anak yang masih berkelayapan menjelang malam.
Itulah kisahku yang kelam. Sampai kini, penyesalan itu tidak pernah sirna. Entah sudah berapa kali aku berziarah. Entah sudah berapa keranjang bunga kutabur di tempat ini. Aku sudah melakukannya hingga bertahun-tahun lamanya. Aku dipaksa setia berziarah. Penyesalanlah yang memaksaku. Kutegakkan kepala. Bunga telah kutabur. Bau wangi menusuk hidung. Di seberang rel, anak-anak kecil memperhatikan aku dan cucuku. Mereka mungkin menganggap aneh kami. Aku tidak peduli.
Yang ada di pikiranku sekarang, aku ingin segera menceritakan kisahku kepada cucuku, setelah cerita ini selesai kusajikan untuk pembaca sekalian.
Jejak Imaji, 2021
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Apabila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.