Ruangan Tanpa Ujung
Kamu mulai terbiasa berada di sini. Dan kamu telah lupa sudah berapa lama kamu terjebak.
Apa yang kamu lihat masih sama. Kamu di sana hanya ditemani sebuah balai yang terbuat dari bambu. Tempatmu merebah di saat kamu lelah. Tak ada apa pun. Tak ada siapa pun. Suara yang kamu dengar pun hanya suaramu sendiri. Tak ada yang mendengarmu selain bangku itu.
Kamu mulai terbiasa berada di sini. Dan kamu telah lupa sudah berapa lama kamu terjebak. Kamu menoleh ke kanan kemudian ke kiri sesekali, seperti berharap ada keajaiban yang bisa membawamu kembali ke duniamu yang sebelumnya. Kamu merasa ini seperti mimpi dan berharap kamu akan segera terbangun dari mimpi ini.
Setiap hari kamu merasa lebih kecewa dari sebelumnya. Ketika kamu terbangun, apa yang kamu lihat tidak pernah berubah. Hanya ada bangku itu, dan kamu yang berbaju putih, bercelana putih tanpa beralas kaki. Kamu senang memandang kakimu yang telanjang. Hanya itu saja yang mampu menghiburmu. Pergelangan kaki yang diputar-putar dan bisa menapak di ruangan ini menunjukkan bahwa kamu bukan hantu. Kamu masih seorang manusia.
Kamu pandangi sekeliling. Warna putih tanpa ujung. Pernah suatu kali ketika kamu masih baru berada di sini kamu berlari sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya. Tak ada patokan waktu, mungkin kira-kira dalam perhitunganmu kamu telah berlari selama dua puluh menit. Namun yang kamu rasakan, kamu tak pernah benar-benar beranjak dari tempat itu. Kamu kembali ke tempat yang sama. Sejauh apa pun kamu berlari meskipun kamu berlari lurus kamu akan selalu menemukan balai yang sama. Tempat kamu terbangun pertama kali di tempat ini. Kamu terus mencobanya entah sampai berapa lama, hingga kamu benar-benar lelah dan pasrah menerima apa yang mungkin saja sudah digariskan. Kamu berpikir, bahwa kamu memang ditakdirkan untuk berada di tempat ini.
Kamu nyaris gila atau mungkin memang telah gila. Kamu bahkan tidak bisa menghitung seberapa lama kamu di sana. Semua permintaanmu—kecuali ditemani manusia tentu saja—selalu saja dikabulkan dalam sekejapan mata. Setidaknya kamu pernah membayangkan atau mungkin lebih tepatnya memimpikan saat seperti ini. Segala yang kamu pinta tersedia. Tak ada seorang pun yang mengganggu segala kegiatanmu. Namun rupanya hal semacam ini tak terlalu menyenangkan bagimu. Hidup seorang diri hanya ditemani sebuah bangku yang bahkan tidak bisa menjawab segala celotehmu.
Kamu membayangkan sebuah cermin, seketika itu juga cermin itu hadir di hadapanmu. Sudah lama kamu tidak melihat dirimu sendiri. Kamu bahkan tak perlu memegangnya. Cermin itu selebar rentangan tanganmu, dan tingginya sekitar satu jengkal lebih tinggi dari tinggi badanmu. Kamu terlihat lebih muda. Kerut di wajahmu yang terakhir kamu lihat sebelum kamu di sini telah menghilang. Kamu seperti dilempar ke masa muda, di antara usia dua puluh sampai dua puluh lima.
Kamu merenung kembali. Kamu mengingat segala dalam hidupmu telah porak poranda. Seperti benang kusut yang tak bisa lagi digunakan untuk merajut. Terlalu rumit untuk diurai satu per satu.
Hari terakhir yang kamu ingat sebelum kamu berada di sini adalah ketika rumahmu akan dibakar. Rumah yang kamu bangun dengan keringatmu sendiri disiram bahan bakar dengan begitu arogan oleh orang sekeliling kampung.
Kamu mulai berpikir dari arah sebaliknya tentang hidupmu. Mungkin kamu akan sama marahnya dengan mereka yang akan membakar rumahmu. Betapa tidak, keluargamu seperti keturunan setan. Tak beradab dan tak pantas disebut manusia.
Ada sesak yang perlahan mengguncang dada. Kamu ingat segala peristiwa memilukan itu. Tentang istrimu yang ketahuan selingkuh dengan lelaki simpanannya. Kamu memergokinya saat pulang dari tugas dari luar kota. Kamu pulang tanpa berkabar. Sepekan kamu tinggal rumahmu tak lagi seperti rumah manusia. Banyak perabotan yang ditempatkan tidak pada tempat yang semestinya. Piring dan baju kotor berserakan. Perlahan kamu melangkah ke kamarmu dan memanggil nama istrimu. Kamu mendengar lenguhan yang begitu ganas di kamarmu. Di tempat kamu dan istrimu bercinta. Kamu tak segera mengetuk. Memastikan ada lelaki di kamar itu. Kamu mendobraknya dengan sekuat tenaga. Betapa malang nasibmu.
Kamu merenung kembali. Kamu mengingat segala dalam hidupmu telah porak poranda. Seperti benang kusut yang tak bisa lagi digunakan untuk merajut. Terlalu rumit untuk diurai satu per satu.
Darahmu naik, matamu menyala. Kamu seret lelaki itu dari kasur, dan kamu hantam sekali saja, karena setelahnya kamu yang dihajar habis-habisan. Tubuhmu yang digelayuti lemak tak mampu berbuat banyak. Wajahmu lebam penuh luka. Juga tubuhmu terasa remuk. Tentu hatimu yang terasa paling sakit. Istrimu mencibir, tersenyum penuh kemenangan. Kamu tahu penyebab semuanya. Kamu tak pernah benar-benar memuaskan istrimu.
Hari-hari selanjutnya bahkan istrimu tidak pernah lagi meminta izinmu untuk mengajak lelaki mudanya bercinta. Kamu tak bisa berbuat apa-apa. Kamu tidak lagi diizinkan untuk tidur di kamar. Sepulang kerja kamu yang harus merapikan rumahmu sendiri. Kamu rebah di sofa, kamu terlalu takut kehilangan istri yang pernah kamu perjuangkan semasa muda dulu.
Tak lama setelah peristiwa itu, kamu didatangi seorang lelaki bertampang sangar dengan membawa sebilah celurit di tangan. Tak lama setelah kamu membuka pintu, lehermu dikalungi celurit. Di belakangnya seorang perempuan muda yang tampak mengandung menangis terisak. Anakmu menghamilinya katanya. Aku tak tahu apa-apa, jawabmu. Bahkan keberadaan anak lelakimu pun kamu tak tahu. Lelaki itu mulai menggores luka di lehermu. Sedikit darah mengalir kecil, kamu gemetar. Akan segera kucari anakku untuk segera menemui Bapak, jawabmu. Jika tak segera kutemukan kutebas lehermu, kubakar rumahmu. Kamu hanya mengangguk lemah. Kamu ragu apa kamu akan benar-benar akan menemukannya.
Tak pernah menyenangkan berhubungan dengan manusia, pikirmu. Kamu berharap dilempar ke tempat yang jauh—yang tak ada seorang pun manusia di sana. Lelahmu tak dihargai istrimu sendiri. Anakmu pergi dan berulah, tanpa mau bertanggung jawab, dan rumah yang kau bangun dengan jerih payah keringatmu, dijadikan istana oleh istrimu dan selingkuhannya, kamu hanya menjadi babu di rumahmu sendiri.
Habis gelap, terbitlah terang, suara hatimu berkata. Namun terang itu tak kunjung datang. Kamu mulai tak betah berada di rumah. Kamu hanya duduk lama di pinggiran halte depan kantormu sepulang kerja. Merenungkan langkah apa yang bisa menyelesaikan semuanya. Khayalanmu, kamu berada di tempat yang tak ada seorang pun manusia. Tak ada yang mengganggu. Kamu pulang dengan langkah yang lemah. Orang-orang berkumpul, istrimu dan lelaki muda itu diseret ke halaman. Dan lelaki bertampang sangar itu telah ada di sana. Ia berteriak lantang, menyuruh warga untuk menyiramkan bahan bakar ke rumahmu. Kamu ingin berteriak.
Baca juga: Pos Kambing Ti-Ji Ti-Beh
Namun kamu takut diamuk massa. Kamu mundur teratur, dan selanjutnya kamu tak ingat apa-apa lagi sampai pada akhirnya kamu berada di dalam ruang putih ini, tanpa seorang pun teman.
Kamu meminum segelas teh hangat untuk menenangkan pikiranmu. Tentu teh hangat yang datang tiba-tiba berada di depanmu. Hanya tinggal membayangkan, maka apa yang kau bayangkan akan tersedia dengan sendirinya. Kamu memikirkan sebilah pisau, dan tiba-tiba pisau itu sudah ada di tanganmu. Kamu hendak mengiris pergelangan tanganmu, tetapi tak pernah bisa. Berkali-kali kau mencoba tetapi gagal. Pisau itu tidak bisa digunakan untuk membunuh dirimu sendiri. Kamu menunggu dan berharap kejaiban akan datang kepadamu. Keluar dari ruang putih ini dan mendapatkan kehidupan hidupmu yang lebih baik.
Ciputat, 6 April 2020.
Rumadi, lahir di Pati, 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di komunitas Prosatujuh.