Sang Penyair
Jika siang, sang penyair akan membacakan puisi tentang pahlawan, dewa, atau sang raja.
”Rembulan, rembulan maha indah, kumohon kembalikan kekasihku. Kumohon kembalikan cahayaku. Kumohon kembalikan malamku.”
Sang penyair menggerak-gerakkan tangannya, wajah menengadah–memelas. Ia selalu tampil di tengah bundaran kota saat malam tiba, membacakan puisi.
”Lihat dia,” seorang pemandu menjelaskan pada kumpulan turis. ”Dia dulunya penyair kerajaan. Karya-karyanya terkenal indah, membuat raja jatuh cinta pada bakatnya. Tapi suatu hari dia mengaku pada semua orang, bahwa kekasihnya telah diculik bulan. Sekarang dia hanya orang sinting di mata semua orang.”
”Ibu, ibu, sedang apa bapak itu?” seorang anak bertanya pada ibunya di dalam kereta kuda. Mereka baru saja pulang dari pesta ulang tahun.
”Ibu tidak tahu, sayang. Orang bilang dia berpuisi, tapi ibu tidak yakin apa yang seperti itu dinamakan berpuisi.”
Sepasang kekasih yang baru saja selesai bercinta, melihat ke luar jendela.
”Katakan padaku, sayang, apa kau percaya kekasih penyair itu diculik bulan?”
“Tentu. Hanya cinta yang bisa membuat seorang pria gila.”
”Apa kau juga akan gila jika aku diculik?”
”Ha-ha-ha. Tentu saja!”
***
Jika siang, sang penyair akan membacakan puisi tentang pahlawan, dewa, atau sang raja. Demi sekeping uang. Jika malam hari, ia membacakan puisi pada rembulan. Mula-mula mendapat uang, sekarang tidak lagi.
Di bundaran kota orang-orang lalu-lalang. Tak jarang juga raja lewat. Malam atau siang. Raja selalu menyuruh kereta berhenti sejenak di sana. Ia ingin melihat mantan sahabatnya itu.
”Kenapa tidak ada orang mendengarkanmu, wahai sahabatku?” Raja baru saja turun dari kereta. Ia melihat bercak buah busuk di baju sang penyair. ”Apa-apaan itu? Pengawal! Pengawal! Cari orang yang berani melemparkan buah busuk itu pada sahabatku, lalu masukkan ke penjara berisi buah busuk!”
”Tapi Yang Mulia, sebentar lagi Anda harus bertemu raja dari negeri seberang,” jawab penasihat kerajaan. ”Anda butuh pengawal-pengawal ini selama perjalanan.”
”Kalau begitu kau yang harus pergi dan mencari orang yang berani melemparkan buah busuk pada sahabatku.”
”Saya juga harus ikut bersama Anda, Yang Mulia. Tanpa saya, kerajaan ini mungkin hancur.”
”Mungkin. Tapi tanpa aku kerajaan kita pasti hancur. Sekarang cari orang itu!”
Apa-apaan itu? Pengawal! Pengawal! Cari orang yang berani melemparkan buah busuk itu pada sahabatku, lalu masukkan ke penjara berisi buah busuk!
Penasihat raja ditinggalkan di sana. Ia bertugas mencari orang yang melemparkan buah busuk pada sang penyair selama raja menemui raja dari kerajaan seberang. Ia bertanya pada seorang tunawisma yang tertidur di pinggir bundaran, di bawah kanopi sebuah toko kelontong yang bangkrut.
”Bangun! Bangun! Aku adalah penasihat kerajaan. Katakan padaku, siapa yang melempar buah busuk pada penyair gila itu?”
”Bagaimana aku tahu? Aku menghabiskan setengah hariku tertidur di sini. Mau panas atau dingin, mau dilempari buah busuk atau batu kerikil, aku tertidur di sini dan tidak ada yang akan peduli. Aku cukup malas memperhatikan orang lain selama aku dalam kondisi seperti ini.”
Penasihat kerajaan memasuki bar yang selalu penuh di sudut bundaran. Semua orang berpaling begitu ia masuk.
”Aku adalah penasihat kerajaan. Siapa pun yang melemparkan buah busuk pada penyair gila di luar, mengakulah sebelum terlambat! Raja selalu menghargai orang yang siap menanggungjawabi perbuatannya!”
”Siapa orang sinting itu?” Salah seorang pemabuk bertanya pada pemabuk lain.
”Katanya dia penasihat kerajaan.”
”Jadi?”
”Dia mencari orang yang melempar buah busuk pada penyair gila di luar.”
”Apa ada hadiahnya?”
”Entahlah. Katanya, raja yang menyuruhnya.”
Pemilik bar mendatangi penasihat kerajaan. ”Tuan, sepertinya Anda tidak akan menemukan orang yang Anda cari di sini. Semua orang di sini sedang mabuk, mereka takkan ingat apa yang tuan katakan dalam lima menit.”
”Tunggu, Nyonya, akulah orangnya!”
Penasihat kerajaan dan pemilik bar terperanjat. Laki-laki tambun wajah merah padam berjalan sempoyongan ke tengah-tengah mereka. ”Apa kau yang melemparkan buah busuk pada penyair gila di luar?”
”Buah busuk apa? Bukannya kau bilang raja sedang mencari seseorang? Aku sedang menganggur. Begini-begini, aku seorang pekerja keras!”
Penasihat kerajaan langsung keluar dari bar. Ia bingung ingin bertanya pada siapa lagi. Ia sudah bertanya pada penjual roti. Jawabannya, ”Pastinya bukan aku. Kalau yang dilemparkan itu roti busuk baru tanya padaku. Atau tuan ingin memesan roti untuk kerajaan?”
Ia juga bertanya pada sepasang suami istri yang baru saja lewat dari hadapannya. ”Aku tidak tahu! Mengawasi satu orang gila saja sudah cukup menguras tenaga.”
”Tuan, jangan dengarkan dia, aku tidak gila. Aku bekerja di barak kerajaan. Tapi sungguh, kami tidak tahu, tuan.”
Dengan putus asa, penasihat kerajaan bertanya pada gadis kecil penjual korek.
”Gadis kecil, aku adalah penasihat kerajaan. Raja ingin tahu, siapa yang sudah melempar buah busuk pada penyair itu? Apa kau tahu?”
”Apa tuan mau membeli korek yang aku jual?”
”Tidak, aku bertanya apa kau tahu siapa yang melempar buah busuk pada penyair itu.”
”Kalau begitu aku tidak tahu, tuan.”
”Baiklah, berikan satu padaku.”
”Nyalakan korek ini di tempat paling gelap, tuan pasti bisa menemukan orang itu. Terima kasih banyak.”
Gadis kecil penjual korek itu pergi. Penasihat kerajaan menatap sebungkus korek yang ada di tangannya. Ia duduk di pinggir bundaran, menatap ke sang penyair yang masih memanjatkan puisi ke bulan. Ia menyadari, tempat sang penyair berdiri adalah tempat paling gelap di bundaran kota.
***
”Rembulan, biru kekuningan, aku memohon. Kekasihku, putih kemerahan, dia akan mati kedinginan bersamamu. Tanpa diriku.”
Raja menyuruh berhenti kereta kuda. Wajahnya muram. Ia baru saja selesai bertemu dengan raja dari negeri seberang. Ia melihat penasihat kerajaan duduk menonton sang penyair. Pertama raja dari negeri seberang yang tukang pamer, sekarang penasihat yang tidak mengindahkan perintahnya. Raja memacu langkah, menyepak penasihat kerajaan dengan kaki kiri.
”Sedang apa kau? Apa perintahku belum jelas?”
”Yang Mulia, Anda sudah kembali! Oh, saya telah menemukan orangnya.”
”Di mana dia? Jangan bilang kau biarkan orang itu pergi. Orang itu harus digantung!”
”Tidak, Yang Mulia. Dia di sana.”
Penasihat menunjuk ke arah bulan. Raja menganga. ”Beberapa jam aku pergi dan kau sudah gila?”
”Tidak. Saya melakukan sesuai perintah Yang Mulia. Dan aku juga menyadari kalau jawaban saya ini sedikit aneh. Tapi saya melihat buktinya. Mari, Yang Mulia, duduk di sebelah saya dan tunggu bulan melemparkan buah busuk pada sang penyair.”
Lantas raja dan penasihatnya duduk di sana, menunggu rembulan melemparkan buah busuk pada sang penyair. Setengah jam berlalu. Tidak ada yang terjadi. Dari kiri raja, penasihat terus saja menggumamkan, ”Tunggu saja, Yang Mulia, sebentar lagi dia akan melempar.” Di depan raja, penyair masih memanggil-manggil bulan. Ah, ini kali pertama ia merasa bosan mendengar puisi sang penyair. ”Sebentar lagi, Yang Mulia, Anda pasti terkejut ketika melihatnya.”
”Tidak, aku akan serahkan tugas itu padamu. Mulai saat ini kau bertugas menghentikan tindakan bulan. Aku akan cari penasihat lain.”
”Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan melakukan tugas saya dengan baik.”
Raja geleng-geleng. Ia tidak menyangka, penasihatnya yang cerdas akan menjadi gila dalam waktu singkat. Raja berangkat dengan kereta kudanya. Di istana nanti, ia berencana langsung pergi ke kamar tidur. Ia mengenakan piyama bulu, melompat ke kasur, dan menghela panjang. Apa mungkin hari ini hanyalah mimpi? Ia bertanya pada dirinya. Jendela besar di sisi kasur terbuka. Sinar bulan menyusup dari sana. Raja bangkit, menutup jendela. Angin kencang. Buah busuk terbang mengenai wajah raja.
”Apa-apaan ini? Siapa di sana?” Raja meludah, memaki mencari-cari asal buah busuk yang mengenainya. Wajahnya merah, mata mengekar. Tidak ada siapa-siapa di sana. Terlalu jauh bagi orang biasa melemparkan buah busuk sampai ke kamar raja di lantai tiga. Bulan? Tidak mungkin. Bulan tidak punya tangan untuk melemparkan buah busuk.
***
”Rembulan, Kamis malam, kekasihku akan pulang. Kau akan menyesal.”
Orang-orang berhenti mendengar sang penyair. Seorang ibu menganggapnya gila. Seorang anak mengatakan, ia adalah laki-laki sinting. Pemabuk yang baru saja muntah di pinggir bundaran, melirik ke arah sang penyair, meludah. Laki-laki itu pasti mabuk, katanya. Satu-satunya orang yang betah di sana hanya mantan penasihat kerajaan. Duduk di pinggir bundaran, sesekali menghayati kata-kata sang penyair, sesekali menatap bulan yang hilang-kembali dari balik awan.
Baca juga: Pataka Bertabur Bintang
”Kau menutup telingamu, menyembunyikan matamu. Tapi kekasihku selalu mendengar, selalu melihat. Rembulan, Kamis malam, kekasihku akan pulang. Rambutnya sudah cukup panjang.”
Lantas sang penyair meraih sesuatu di udara. Ia memanjat, naik ke langit gelap. Mantan penasihat kerajaan menganga. Ia berdiri, menengadah. Tiba-tiba tawanya pecah. Sang penyair menghilang ke balik awan.
”Sayang sekali, besok aku harus kembali menjadi penasihat kerajaan.”
Medan, 2021
***
Julius Anju lahir di Medan, 29 Juli 1998. Saat ini masih berkuliah di Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan. Alumnus kelas menulis prosa Balai Bahasa Sumatera Utara. Kini aktif menulis sastra bersama Komunitas Lantai Dua (Koldu).