Membaca Musim
Januari adalah musim banyak penumpang menunggang angin. Hawa dingin, butir-butir air, dan flu.
Desember adalah musimnya kekasih saling bertemu. Tanah kerontang bertemu hujan—menumbuhkan benih-benih dan bebijian yang telah sekian musim terbaring dalam penantian. Musim ini ibarat alarm tanpa bunyi bagi penduduk desamu. Kau mulai menyebar benih padi ke lahan pinihan. Lalu menunggu hari demi hari hingga menjadi minggu, menjadi harapan.
Bahwa kecukupan airnya harus dijaga agar bibit tidak kuntet. Bahwa setelah tunas-tunasnya menghijau, harus dilindungi dengan pestisida agar tak dimakan sundep. Bibit yang telanjur dimangsa sundep biasanya akan mati sebelum panen atau tidak menghasilkan padi sama sekali. Bahwa kemudian masih harus dilindungi lagi dengan pagar plastik agar tak disambangi tikus atau hewan-hewan nyasar lainnya.
Namun, setiap kali melihat salah satu pintu kamar dalam rumahmu yang selalu terkunci itu, kau selalu merasa bahwa seberapa keras dan tekunnya semua usaha tadi, masih selalu kalah dengan suratan takdir.
”Kau tak punya nasab yang kotor kan?”
Istrimu spontan mengerutkan kening, ”Maksudmu apa to, Pak?”
”Kadangkala, bibit juga membawa pengaruh,” kau kurangi intonasi suara.
”Bapak simbokku orang baik-baik. Simbah-simbahku juga orang baik-baik semua. Jangan menuduh-nuduh kayak gitu. Lha nasab Bapak sendiri?”
”Ooh, ya sudah,” ujarmu pelan. ”Aku enggak menuduhmu. Aku hanya ingin tahu, bahwa nasab kita orang baik-baik semua.”
”Apa itu penting?” tanya istrimu lagi, dengan suara yang sedikit bergetar. Mulai mengerti arah pembicaraan.
”Lantas kita harus bagaimana, Pak? Begundalnya yang mana saja kita enggak tahu. Apa kita harus memilih? Apa bibit-bibit yang seperti itu ada yang pantas dipilih? Atau, apa kau tega anakmu memilih sendiri bibit-bibit macam begitu?” tangis perempuan itu pun pecah.
Kau hanya diam. Posisi kalian sama.
* * *
Januari adalah musim banyak penumpang menunggang angin. Hawa dingin, butir-butir air, dan flu.
”Setiap Bodo Cino pasti hujan, Le. Wong memang musimnya tandur .” Itulah ujaran yang paling kau ingat sebagai penanda memindah bibit ke sawah.
Emakmu suka menyebutnya Bodo Cino, lantaran diapit dua hari raya agama yang banyak dianut warga peranakan. Natal dan Imlek. Dan yang terakhir itu baru terasa keramaiannya setelah masa Presiden Gus Dur.
”Kalau telat, musim keduanya yang nanti bisa payah. Panennya akan jatuh saat musim suta manut ing bapa . Tanah lumpur mulai nelangsa. Hanya bagus untuk tanaman pala,” ujar emakmu lagi.
Dan setiap teringat suara-suara itu, ingatanmu juga akan lari ke pintu kamar yang selalu terkunci itu.
”Kita masukkan ke pesantren saja ya, Pak. Biar bisa kayak Zuwed, anaknya Maemunah yang hafal Qur’an itu.”
Kau mengangguk setuju saat itu. Kau menganggap bahwa benih juga harus dipersiapkan sebaik mungkin agar hasil panennya memuaskan. Panen apa? Apa yang bisa dipanen dari anak perempuan?
Kau tahu bahwa anak perempuan hanya serupa dagangan perhiasan. Sang pembelilah yang kemudian akan membuatnya lebih berkilau atau menjadi buram. Ia akan menjadi jalan nasab yang baik-baik, atau hanya sekadar menjadi ibu yang bisa melahirkan anak.
Meski kemudian ternyata ada hal yang terlewat olehmu.
”Katanya dia enggak pulang ke asrama, Pak. Lha aku ya bingung waktu dapat kabar kayak gitu dari Maemunah. Aku ya lantas tanya langsung ke Zuwed—katanya memang belum pulang tiga hari ke asrama.”
”Lha lantas ke mana, wong nyatanya enggak ada di rumah?” dadamu langsung terasa panas.
”Apa jangan-jangan dia digarap lagi oleh anak kemarin itu?”
”Dibuli?” meniru bahasa pengasuh pesantren yang ia pasrahi kemarin. Panas itu mulai mendidih saat teringat kejadian sepuluh hari lalu. Anakmu minggat dari pesantren, dan pulang ke rumah. Sambil tersedu, ia pun mengadukan perlakuan teman-temannya—yang diprovokatori satu tokoh utama.
”Pondok itu kan ya tempatnya ngaji, kok ya ada yang kelakuannya kayak gitu juga…”
”Apa kita perlu marah-marah lagi ke pondok, Pak?”
”Enggak usah! Percuma saja. Kita turuti saja keinginannya kemarin—pindah ke sekolah lain. Sekarang kita cari ke mana anak itu pergi.”
Lalu, kau menemukan anak perempuanmu itu di rumah salah seorang temannya. Dalam keadaan sudah membatu—tak mau kembali lagi ke pondok. Angan-anganmu pun turut pudar. Meski kau mendapatkan sebuah pencerahan lagi; bibit manusia ternyata juga sama dengan bibit tanaman. Mereka sama-sama memiliki sulur-sulur yang otomatis mencari batang untuk bisa sandar menjalar.
* * *
Setelah hawa dinginnya musim kedelapan mendorong kucing-kucing jantan melampiaskan hasratnya terhadap lawan jenis, musim kesembilan mulai memberikan hawa yang nyaman kepada jangkrik dan tonggeret untuk bersuara tiap jelang tenggelamnya cahaya. Kemudian hadirlah musim kesepuluh ketika banyak hewan hamil dan burung-burung menjaga telurnya.
Kau mencatat, perjalanan musim itu masih runtut, meski belakangan hujan menjadi sedikit aneh tabiatnya—kadang datang telat, kadang pergi terlalu cepat, dan tak merata sama di semua tempat. Dan, perasaan yang mengganjal itu semakin terasa saat kau memandangi pintu kamar yang selalu terkunci itu.
”Ini salah kita juga, Pak. Mengapa kita memasukkannya ke sekolah itu hingga ketemu teman-teman yang bejat itu,” istrimu merasa putus asa.
”Guru-gurunya juga salah!” kamu bangkit.
”Para orang tua mereka juga salah!” kamu berlari.
”Apa yang jual pil setan itu sudah ketangkap, Pak?” sela istrimu. Yang langsung menarikmu paksa lagi ke hadapannya.
”Anak kita juga salah,” ujarmu, namun tak keluar dari mulut. Hanya gigimu yang gemeretuk. Kamu merasa telah kerampokan.
Seharusnya kamu bisa mencegah para perampok itu andai tanding muka lawan muka. Contohlah saja tikus-tikus itu, yang terang-terangan siang malam mulai mengincar hasil panenmu. Kau buat pagar kawat beraliran listrik untuk melindunginya. Tak segan pula memburu penghuni tiap lubang di galengan, walau tak jarang bertemu ular.
Tapi ini perampoknya adalah anak-anak ingusan yang kau pun bahkan bisa membunuh mereka dengan gampang. Yang sebelumnya tak pernah kau perkirakan.
”Kami tidak melakukan apa-apa, Pak. Sumpah! Waktu itu kami hanya ingin tahu rasanya.” Pengakuan tiga anak bandel itu di depan pengadilan sekolah.
”Lalu mengapa kau ajak-ajak anakku?!” bentakmu. Menggetarkan siapa pun yang mendengarnya. Memancing reaksi orang tua mereka.
”Kami tidak mengajaknya, Pak. Sumpah! Dewi sendiri yang waktu itu minta…,” terdengar gemetar.
”Jangan bohong!” bentakmu lagi.
”Sumpah, Pak, sumpah…”
”Lalu siapa yang melakukannya?!” tanganmu sudah terangkat dan hampir mendapatkan sasarannya. Namun tertahan kesigapan Kepala Sekolah yang sedari tadi selalu dalam posisi jaga.
”Melakukan apa, Pak?” terdengar lugu.
Ada yang langsung meledak, ”Dewi hamil! Kau pikir diundang ke sini mau dapat penghargaan?!”
”Bukan aku, Pak…”
”Bukan aku, Pak…”
”Bukan aku, Pak. Sumpah…,” saling kompak mengelak. Seperti anak kambing yang kehilangan induk.
”Lalu kenapa pesta itu bisa ada di rumahmu?!” menatap tajam salah seorang anak yang sedari tadi tak pernah menatap balik. Hanya dia yang orang tuanya tak datang.
Saran-saran pun kemudian diujarkan kepadamu. Dimulai kata sabar, lalu kembali menginterogasi Dewi dengan lebih halus lagi, sampai tes DNA janin untuk mencari siapa bapaknya yang sebenarnya.
”Harus menunggu sampai kotoran itu lahir?!” bentakmu, menanggapi saran yang terakhir itu tadi.
”Pak, mbok ngomongnya jangan kayak gitu,” suara istrimu. Menyusuli suara-suara istigfar dalam ruangan itu.
Pak Kepala Sekolah kembali berusaha menenangkanmu. Samar-samar suara para guru yang menguping di ruang sebelah juga ikut berhenti.
* * *
Dhesta dalah musim burung-burung menyuapi bayi-bayinya. Musim panen atas empat bulan usahamu mengatur besaran air, memupuk dan menyemprot hama, hingga membaca warna-warna daun.
Kamu merasa was-was ketika wereng tiba-tiba sudah menyerbu dari arat barat. Menyebar dengan cepat hanya dalam hitungan jam. Seperti maut yang seolah beranak-pinak dengan cepat. Padahal, tanaman itu telah kalian rawat dan jaga sedemikian telatennya.
”Hanya tinggal panen. Jangan sampai terlambat, lalu menyesal. Besok, biar aku belikan obatnya,” gumammu di hadapan istri, yang sebenarnya sama-sama tahu tentang tabiat hama wereng.
”Tapi tabungan kita sedang menipis, Pak. Bagaimana kalau langsung kita jual saja.”
”Pasti akan langsung ditebas dengan harga murah,” potongmu.
Baca juga: Masakan Ibu dan Bumbu-bumbu di Halaman Rumah
Istrimu terdiam. Mengiyakan. Sudah hampir dua puluh tahun dia menjadi pendampingmu. Turut belajar bersama dalam membaca musim. Hingga memahami tiap jengkal risiko sebagai petani.
”Obatnya sudah habis, tapi werengnya masih ndak pergi-pergi. Entah, apa obatnya dipalsu oleh tokonya,” keluhmu lagi. ”Padahal sudah tua-tua…”
”Kalau dipalsu, apa dia berani menghadapi banyak orang, Pak? Bisa-bisa nanti enggak mau beli ke tokonya lagi kan?”
”Masak, werengnya tambah ampuh?” tanyamu, yang lebih mirip pertanyaan kepada diri sendiri. Belakangan kau memang merasa kesulitan membaca musim.
Istrimu diam. Pun ketika akhirnya kau memutuskan untuk memanennya lebih awal, seberapa pun hasilnya.
Hatimu mulai terhibur saat mendapati derai gabah yang mengalir dari mesin pemotong padi. Jerih payahmu itu…
”Alhamdulillah… meskipun hasilnya lebih sedikit dari biasanya…”
Istrimu tiba-tiba termangu.
”Pak, aku ingin omong…”
Kau menatapnya serius. Tabiat perempuan itu sudah kau hafal.
”Pak, kita mau saja dan ikhlas menerima hasil panen ini. Kenapa kita tidak bisa ikhlas menerima bagaimanapun kondisi anak kita?”
Kau langsung tertegun. Kembali teringat pintu kamar yang selalu terkunci itu.
”Besok, kita turuti nasihatnya Pak RT saja ya, Pak. Kita kirim dia ke RSJ. Ndak usah dengarkan omongan orang-orang,” kedua matanya berkaca-kaca. ”Siapa tahu masih bisa tertolong.”
Kau langsung menangis. Seperti anak kecil yang ketakutan lantaran kesulitan menjawab pertanyaan gurunya.*
Demak, 2020
Nur Hadi dengan nama pena Adi Zam-Zam. Lahir di Jepara, Jawa Tengah, 1 Januari 1982. Karya cerpen dan puisinya sudah dimuat di banyak media massa. Bersama kawan-kawan, saat ini sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan Akademi Menulis Jepara.