Bahtera Arwah Farokh Semyonovich
Semua manusia yang tadi berdoa kini terbakar dan menjerit-jerit menjadi abu. Abu doa-doa. Doa mengirimkan mereka ke neraka.
Malam sebelumnya, ada mufakat gencatan senjata dari kedua belah pihak. Satu peleton serta seorang kapten sedang mengadakan Liturgi Suci di dalam tenda bersama seorang pendeta Athos. Kereta pedati mendekat, dikekang oleh seorang remaja Kumyk berusia 15 tahun. Bocah itu kehilangan kedua orang tua dan abangnya di suatu pertempuran di Gunib, sebuah aul di Dagestan. Kepalanya terngiang oleh ucapan imamnya, “‘kau akan bertemu ayah, ibumu dan abangmu di surga jika kau berjihad di jalan Allah.’” Dan bagi bocah yang lukanya masih basah, rasa gamang itu begitu menambatkan cucuran darahnya.
Bocah dengan pedati itu lalu menyalakan sumbu dengan korek api, berpacu ke arah tenda tentara yang sedang mengadakan liturgi. Pedati dengan karung berisi bubuk mesiu itu meletus ketika kuda menubruk tenda. Jeritan Tuhan Maha Besar dari mulutnya memecah langit. Ledakan besar mengiringi. Semua manusia yang tadi berdoa kini terbakar dan menjerit-jerit menjadi abu. Abu doa-doa. Doa mengirimkan mereka ke neraka. Pihak Rusia pun murka dengan berita ini. Perang kembali berkecamuk di barat.
Di Volgograd terdapat kejadian serupa, hanya kali ini pelakunya terdiri dari lima orang yang datang dengan pedati di pasar yang terletak di ujung Sovetskaya Ul dan Komsomolskaya Ul. Pagi itu orang-orang berhuru-hara seperti biasa, mengangkut bahan pangan mulai dari semangka Astrakhan hingga ikan-ikan Sungai Volga. Seketika pedati yang mencongklang sempoyongan itu menghambur di pasar hingga beberapa orang jatuh terluka-luka.
Menyimak serentetan peristiwa itu, Bapa Ilya Zossimov tampak menahan rasa takutnya dalam mengutarakan apa yang ingin diucapkan,
“Sudah tiga bulan ini aku menjadi pendeta tentara di kamp negeri kita. Baru kali ini aku menyaksikan kebiadaban perang yang kawan-kawanku kutuk itu. Harmoni macam apa yang negara kita dambakan? Kau pasti sudah tahu bahwa Rusia menang perang dan berhasil merebut Dagestan. Tetapi bagi Tsar, hal ini tidaklah cukup. Aku menguping pembicaraan Letnan Kolonel Kalinsky, yang kau begitu kenal di Rhyzkovo, mereka ingin... Mereka ingin memberantas orang-orang Adyghe ... Sirkasia, utamanya yang Muslim.”
Dunia terasa begitu senyap bagi Farokh, alias Fyodor Semyonovich, nama lahirnya, nama yang selalu ia gunakan sebelum ia memeluk Tuhan istrinya. Ia merasakan hantaman keras pada kalbunya seperti guntur menerpa langit. Istrinya adalah pribumi Adyghe Muslim yang sedang mengandung empat bulan. Apa nasib istri dan anaknya jika Tsar berkehendak? Ia bahkan bisa merobek langit Kaukasus jika ia berkehendak demikian.
Besok, lanjut Bapa Zossimov, semua warga desa akan dibawa paksa ke Sochi, di mana besok di sebuah lembah bernama Qbaada pasukan Cossacks dan Rusia akan berpesta pora sembari menganugerahkan medali kepada para prajurit yang berjasa. Di Qbaada ini semenjak tanggal 21 kemarin pasukan Adyghe mengangkat bendera putih. Mereka akan binasa di lembah Qbaada, pikirnya muram. Lembah itu akan menjadi mangkuk penampung abu dan onggokan tubuh para pengungsi. Pemerintahan Ukraina, dibantu oleh para petinggi keturunan Tatar, menjajikan para pengungsi kapal-kapal dan perahu yang akan berlayar ke Kerajaan Ottoman. Tetapi ia begitu yakin, begitu pula Bapa Zossimov, perahu-perahu itu akan menjadi bahtera arwah. Mereka akan terkatung-katung di laut tanpa nahkoda, mati garing, bersimbah luka, terkuras luah. Pemerintahan Tsar membeli kapal-kapal itu untuk dijadikan peti mati orang-orang Adyghe.
“Ada sebuah katedral di Stavropol, tempat bersemayam seorang pendeta agung bernama Khropotsky. Nama katedral itu adalah St. Nevsky. Cobalah berbicara padanya, Fyodor Semyonovich,” usul Bapa Zossimov putus asa. Farokh keberatan dengan usul itu sebab ia tidak lagi memijak panti umat dan berdoa di depan ikon karena memeluk Tuhan baru, Tuhan istrinya yang selalu bersemayam di balik gumpalan awan-awan dan tak pernah menjelma menjadi daging. Namun mungkin karena batas yang lebur di dalam dirinya, ia bisa mewakili dua dunia yang kontras dan membuat Khropotsky menaruh hati.
Ia berangkat berkuda ke Stavropol subuh itu, mengenakan seragam serdadu Tsar yang berhasil diselundupkan oleh Bapa Zossimov dari kamp di Makhachkala.
**
Lelaki tua itu menggosokkan kain flanel pada salib berbahan kuningan. Sesudah memastikan semua relung diskos telah tersusun dan tabernakel perak di belakang altar sudah dikunci, pelan-pelan ia beringsut ke panti umat, tenggelam merenung di hadapan ikonostasis dengan gemilang emas. Lalu ia kembali memandang ke diakonikon di mana jubah, relik dan buku-buku liturgi disimpan. Jam dinding di pastoforion menunjukkan waktu pukul dua. Tampak terdengar langkah bergegas dari panti umat yang kosong, diselingi suara nafas berat, bau badan dan perat kuda yang menyengat. Langkah itu terhenti di depan ikonostasis khidmat yang menjulang tinggi, dilapisi emas dan berlukis warna-warni. Lelaki tua itu, berjanggut panjang dan lebat kelabu, mengintip dan muncul dari balik ikonostasis, lengkap dengan Kamilavka hitam tersemat di kepala, kudung hitam panjang dan kalung salib pektoral berwarna emas terbentang leluasa. Di sakunya juga terdapat chotki bersimpul dengan manik-manik kayu.
Farokh menerangkan maksud kehadirannya. Ia ingin Bapa Khropotsky menyuguhkan rubel untuk membantunya membeli perahu-perahu dan kapal kayu demi melayari umat Magomed yang kini berada di ambang maut. Demi memberi suapan rubel kepada tentara yang diperintahkan untuk mencabut nyawa mereka.
“Kau datang mengemis untuk memberontak kepada Tsar-ku, seperti seorang pendeta Berdsk beberapa hari lalu. Sesungguhnya apa yang kau cari? Surga tampak berbau amis di matamu yang membara.”
Orang-orang itu bukanlah umat kita, katanya. Mereka berdoa kepada Tuhan yang tak pernah menjelma menjadi daging dan darah. Mereka memang sudah menuju tungku neraka sejak menyusu dari payudara seorang ibu yang berdoa di masjid. Dan tungku ini ditebus oleh para serdadu kita yang haus akan darah orang-orang yang tersesat. Hari penghakiman akan dimulai di Qbaada dan Laut Hitam. Kiamat orang-orang Adyghe. Sembari memperuncing tekadnya, ia menyahut dengan lantang, “orang-orang itu adalah saudaraku. Saudara seiman, begitu juga dengan istriku.”
Kerlingan api tampak membara di mata Khropotsky. Amarah memuncak hingga ke ujung topi Kamivlaka-nya, “kau tak pantas dilahirkan di tanah air ini.” Pengkhianat keindahan emas-emas yang bergelimang di sekitarnya. Pengkhianat abu-abu saudara yang tergelepar di medan perang, rumah masa kecilnya. Kini satu-satunya tempat di bumi yang ia namai rumah adalah Chokh di Dagestan dan dekapan istrinya. Fitnah keji itu kian garang berseteru dari mulut yang rimbun oleh janggut kelabu. Tetapi sejatinya ia berdalih: lelaki waras mana yang sudi menanggung makian kejam pemuka moral dan bersyukur atas kematian orang-orang tak bersalah? Orang-orang ini suci dan tak ikut berperang. Yang bergelimang dosa adalah serdadu dan Tsar yang ingin memindah batas petak tanah kerajaannya memperebutkan gunung-gemunung ini, ketidakhinggaan dan sunyi yang riuh ini.
Akhirnya, toh nafsu yang memburu mengalahkan akal sehat. Perasaan terbakar dengan sikap Khropotsky yang merasa di atas angin karena ingin menendang laknat dari rumah Tuhan menggelapkan matanya. Jarum jam dinding menunjuk menit kesepuluh. Di Katedral Nevsky yang dingin, senyumnya berbalasan dengan seringai mata pisau tajam yang ia raba di saku. Di antara mereka telah terjadi kesepakatan dan saling mengerti. Dengan satu ayunan cepat, leher Khropotsky tercarik, menggenangkan teramat banyak darah bahkan sebelum ia sempat melenguh.
Ia menjarah diskos dan cawan-cawan emas, tabernakel perak, serta kalung salib emas pektoral yang ditarik dari dada jasad dengan bercak darah amat kentara. Salib itu besar dan berkilauan, cukup besar jika dibayangkan, bagaimana sampai bisa tubuh Lelaki yang terpasak di kayu salib itu mengejar-ngejarnya tiap malam-malam pelarian, sebelum terungku baja menghabiskan lagi usianya selama bertahun-tahun atas perbuatannya menghabisi seorang pendeta.
Digunakannya kain flanel untuk mengelap salib dan tangannya. Ia bergegas lari sembari membawa bungkusan berisi harta benda dari atas prestol dan diakonikon. Membawa sisa barang yang ia miliki, Farokh melarikan diri dari pintu belakang, persis tatkala dari dalam pastoforion terdengar suara langkah. Emas-emas dan perak itu dijualnya kepada para pedagang barang-barang antik yang bersimbah bahagia. Mereka membayarnya mahal. Di tangan yang bebercak dan berbau anyir itu kini terkumpul lembaran-lembaran terkutuk sejumlah dua ratus ribu rubel.
**
Dari lembaran-lembaran rubel itu lahir kapal-kapal dan perahu yang diselundupkan oleh para serdadu, yang juga disuapi oleh rubel Katedral Nevsky. Berita naasnya nasib Khropotsky yang agung mulai merebak seperti lebah membawa serbuk sari ke seluruh kamp di Dagestan. Orang-orang yakin bahwa seorang umat Magomed menjarah dan mengotori altar mereka dengan darah. Selang beberapa tahun nama jasad itu akan disucikan dan diangkat sebagai martir. Simbol kemenangan Tuhan Rusia.
Dari atas lembah merangsek segerombol tentara berseragam. Kerumunan orang meloncat turun dari pedati berkuda. Sejurus sesudah mereka meletupkan peluru kepada pengungsi berperut kosong yang jatuh ketika mengangkut kotak berat berisi selongsong, seorang ibu hamil yang meratapi jasad suaminya dengan mata terbuka diseret ke tengah lembah. Seorang serdadu merobek rahimnya dan membiarkannya terbenam dalam kolam darahnya sendiri, lalu melontarkan janin segar kepada anjing-anjing yang berliur. Kerumunan serdadu dengan medali tersemat berjalan angkuh dengan tangan mengacung-acungkan suluh pelita. Agak kentara di antara kerumunan manusia tadi, Farokh melihat nanar mata Bapa Zossimov yang tertunduk sedih. Hatinya terkoyak oleh pemandangan itu. Bahtera-bahtera arwah yang siap berlayar sudah bersandar di Pantai Plyazh.
Baca juga : Kado Pernikahan yang Sesungguhnya
Demikianlah sejak malam itu, angin buritan mengempaskan layar kapal kehidupan mereka ke arah Laut Hitam. Seperti membawa arwah sampar, kapal kehidupan mereka ditolak bersandar di pelabuhan manapun. Dari satu pantai ke pantai lain di antero Krimea, sampai akhirnya diperosokkan ramai-ramai ke Laut Baltik. Kapal kehidupan mereka terasa berlayar lebih jauh daripada rentang tujuh samudera. Tambah luas lautan dan langit yang mereka arungi di bawah awasan mata bedil dan laras panjang yang dapat meletus sewaktu-waktu, semakin mereka dibawa pada kesadaran tentang Tuhan yang ternyata semakin tak berbelas kasih. Diakah Allah, Maha Esa, Maha Pengasih? Semua tidak mereka kenali lagi. Ia menghilang di sebalik gumpalan awan, berpaling meninggalkan umatNya yang menghiba-hiba pertolongan.
Tetapi kapal-kapal Farokh terkatung dengan mulus ke garis pantai Ottoman, ke kota Istanbul, seakan para malaikat melayarinya. Kapal-kapal itu berhasil mengangkut arwah-arwah sejumlah ratusan. Di bibir Pantai Plyazh, tidak jauh dari kota Sochi dan lembah Qbaada, bunyi raung ombak yang menghempas pasir berbalapan dengan denyut jantungnya yang turut menderaskan keringat dingin. Lututnya ngilu. Ia keluarkan salib emas itu dari balik blusnya, masih ada bercak merah seakan Anak Tuhan yang menderita itu memang mengucurkan darah. Salib yang mengerikan! Api dari suluh-suluh pelita para serdadu di lembah terlihat meliuk perlahan dari kejauhan sambil ia tersedu-sedu mengingat apa yang telah dilalui. Ia terhenyak. Matanya memberontak pada langit senja. Hatinya berteriak dengan nada getir pahit, “Tuhan...” air mata merembes, menitik pada ukiran Tubuh terluka di salib itu,
“Apakah aku adalah seorang pembunuh?”
Surabaya, 26.01.2021
***
Sarita Rahel Diang Kameluh ini lahir di Surabaya, pada tanggal 10 April 1998. Menempuh pendidikan di jurusan Teknobiomedik di FH Aachen, Jerman. Beberapa karyanya tersiar di media daring dan cetak.