Sang Pengelana dan Teka-teki Semesta
Akhirnya, Sang Pengelana memutuskan untuk mencari jawaban. Ia memulai perjalanan ke arah timur untuk menemui raja dari segala raja.
Aku memiliki kunci, tapi tidak memiliki gembok. Aku mempunyai ruang, tapi tidak dengan ruangan. Kau bisa masuk, tapi kau tak bisa keluar. Apakah aku?
Dia berada dalam setiap makhluk penghuni jagat raya; manusia, tumbuhan, hewan, bahkan sosok tanpa nyawa sekali pun. Keberadaannya adalah dimensi dari apa yang terlukis pada kanvas angkasa, tergurat di pertiwi atau yang tergantung di antaranya.
Katanya dia adalah sosok paling penting pada perputaran poros dunia karena ialah pembentuk; siang dan malam, bulan dan tahun. Dia bisa menjadi badai yang menghilangkan segalanya, tapi bisa juga menjadi petunjuk jalan apa yang paling penting dalam hidup ini. Kabar burung mengatakan ia lebih dalam dari sekadar ukuran, lebih banyak dari partikel pembentuk sebuah planet. Banyak orang menginginkannya untuk digenggam, tapi lebih banyak lagi yang melepaskannya di dalam sebuah pelepasan paling buruk pada jurnal kesia-siaan gerak tahunan. Dia menjadi masalah karena orang-orang pikir mereka memilikinya. Dia berada di dalam lumbung ada dan tiada. Makhluk hidup dan makhluk tak hidup sering berkelana secara liar di dalamnya, maka dari itu lahirlah julukan untuknya: Sang Pengelana.
Sebutan tersebut juga hadir sesuai dengan catatan kegiatan hariannya. Sang Pengelana hidup untuk mencari jawaban. Dalam perjalanannya ia selalu membawa dua barang; jam pasir dan sebuah arloji tua. Dia berputar pada labirin misteri pencarian tentang apa makna di balik buku kehidupan, tersesat di dalam penundaan, terjerumus pada lubang kehampaan dan lenyap di balik lembah-lembah ketakutan akan mimpi. Sang Pengelana pergi dari ujung dunia yang satu ke satunya lagi, menisik tali-temali jawaban dari pertanyaan yang belum terungkap. Kebanyakan ia mendapatkan jawabannya, tapi setiap satu pertanyaan terjawab maka akan tumbuh pertanyaan yang baru. Begitulah kehidupan Sang Pengelana, beranjak dari satu persoalan menuju persoalan lain.
Suatu hari Sang Pengelana sedang mengamati sepasang burung merpati kasmaran di atas sebuah ranting pohon. Kedua binatang itu sangat memesona, bulu mereka putih bersih tanpa noda, kedua bola matanya segelap mutiara hitam. Namun, kecantikan itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja merpati yang jantan oleng, dia terjatuh dan menghantam tanah. Sang Pengelana mendekati burung itu, ternyata sudah mati. Lalu tak sampai lima menit kemudian merpati yang betina juga ikut jatuh di sampingnya, menyusul pasangannya pergi meninggalkan dunia fana. Sayang sekali, mereka begitu cantik untuk menjadi kematian. Sang Pengelana yang terpaku di tempat bertanya-tanya, kenapa pemandangan indah tersebut direngut darinya dengan cara yang begitu buruk?
Akhirnya, Sang Pengelana memutuskan untuk mencari jawaban. Ia memulai perjalanan ke arah timur untuk menemui raja dari segala raja. Ia yakin, si penguasa jagat raya bisa memberikan jawabannya. Sang Pengelana melalui gurun pasir selama dua puluh empat jam hingga akhirnya tiba di pinggir teluk. Hari hendak melepas senja saat Sang Pengelana menemukan pencariannya, Matahari. Sisa-sisa kemilau warna jingga sudah meredup menjadi pertanda bahwa sedikit lagi ia akan segera pulang ke barat. ”Tunggu, tunggu! Jangan pergi dulu!” seru sang Pengelana.
Keagungan Matahari berkali lipat lebih memesona dibandingkan dua burung merpati yang tempo hari ia temui. Cahayanya berpendar bagai jubah. Matahari menoleh, ”Kau tahu sekeras apa pun aku ingin berhenti, aku tidak akan pernah bisa melawan. Apa yang kau butuhkan dariku?”
”Aku perlu bantuanmu untuk menjawab pertanyaanku, ’kenapa hal-hal yang indah sering kali direngut dengan cara yang begitu buruk dari kita?’” ungkap Sang Pengelana.
”Apa yang berawal dari keabadian hingga berakhir pada sebuah ruang semu,” balas Matahari.
”Kau tidak menjawab pertanyaanku,” ucap Sang Pengelana.
Suatu hari Sang Pengelana sedang mengamati sepasang burung merpati kasmaran di atas sebuah ranting pohon. Kedua binatang itu sangat memesona, bulu mereka putih bersih tanpa noda, kedua bola matanya segelap mutiara hitam. Namun, kecantikan itu tidak bertahan lama karena tiba-tiba saja merpati yang jantan oleng, dia terjatuh dan menghantam tanah.
Dia tertawa, ”Aku telah memberikan tanggapan. Itulah jawabannya, dirimu sendiri.” Matahari yang agung mengibarkan sasmita kebanggaannya dan dengan itu ia berpulang ke barat, lembayung ungu tua terhapus dari garis langit, menghilang di tengah kegelapan biru violet. Petang dipangkas oleh malam setelah seharian dililit oleh pita emas.
Sang Pengelana tak mengerti jawaban Matahari, maka ia berkelana kembali. Ia menyusuri pinggiran teluk hingga masuk ke dalam hutan-hutan berdaun setajam jarum jam, mendaki terus ke atas sampai mencapai dataran yang cukup tinggi. Tak lama kemudian ia bertemu dengan putra-putri angkasa, Bintang. Dia memang tidak sebesar dan seterang Matahari, tapi Bintang memiliki daya pikat tersendiri yang tak kalah elok. Cahayanya berpendar-pendar, mengambang ceria di langit bersih tanpa awan. Bintang melihat kehadiran Sang Pengelana lalu menyapanya, ”Hai kamu! Kenapa wajahmu tampak begitu murung?”
”Siapakah yang menjadi awal setiap akhir dan akhir dari setiap tempat?” tanya Sang Pengelana langsung.
Bintang terkikik, ”Pertanyaan konyol!”
”Kenapa? Kau tidak tahu jawabannya?” tukas Sang Pengelana.
”Tentu saja aku tahu!” ujar Bintang dengan lantang.
”Lantas mengapa kau tidak mau memberitahukannya kepadaku?”
”Karena jawabannya ada di dalam dirimu sendiri. Kau adalah jawaban dari segala pertanyaan,” ujar Bintang.
Jawaban itu sama tak dapat dimengertinya seperti jawaban Matahari, Sang Pengelana menjadi jengkel, apa sulitnya sih langsung memberikan jawaban yang sudah mereka ketahui tanpa embel-embel teka-teki? Ia memutuskan untuk melanjutkan perjalannya, Sang Pengelana naik dan terus naik hingga tiba pada jalan buntu. Ia telah mencapai ujung tebing. Di bawahnya gulungan ombak berkejaran, menghasilkan harmoni bagai genta ketika menabrak badan tebing. Laut menyanyikan lagu marinir. Di antara pemetaan formasi bintang-bintang, ia bertemu dengan Bulan. Sang Pengelana selalu terpukau pada rembulan yang memiliki keanggunan tanpa batas.
Baca juga: Warung Lontong Marliah
”Selamat malam Sang Pengelana, ada gerangan apa yang membuatmu tampak begitu frustrasi?” sapa Bulan ramah, membaca raut wajahnya.
”Rembulan bantulah aku dengan menjawab pertanyaan ini, ’siapakah aku?’”
Bulan tidak mentertawakannya seperti Matahari dan Bintang, melainkan ia berkata, ”Kau adalah; kemarin, esok dan hari-hari harapan setelah hari ini. Kau lah si pemeluk masa silam sekaligus penyongsong masa depan.”
Sang Pengelana masih tak paham. ”Jadi, apa solusi untuk jawaban atas pertanyaanku?”
”Biarkan saja lewat, tapi jangan sampai menyesal,” kata Bulan sambil tersenyum.
Tak kunjung mendapatkan kejelasan akhirnya Sang Pengelana memutuskan untuk mencari jawaban di tempat lain. Dia kembali menuruni tebing, menelusuri gurun pasir dan hutan berdaun tajam, berkelana di antara darat, laut serta udara. Dia terus mencari dan mencari, tapi ia tidak pernah menemukannya. Sampai suatu hari saat jam pasir bagian atas menjadi kosong dan jarum jam berhenti pada satu titik, Sang Pengelana sadar bahwa memang dirinya sendirilah jawabannya karena dia adalah waktu.
****