Warung Lontong Marliah
Marliah merasa berhak atas warung itu karena dialah yang mengurusi ibunya. Dialah satu-satunya anak Nek Ronikem yang belum menikah dan tinggal di rumah itu.
Tidak ada warung sarapan yang lebih ramai di Perbaungan pada pagi hari melebihi ramainya warung lontong Marliah. Orang-orang memadati warung yang cuma berukuran empat kali empat meter itu saban pagi. Ada yang makan di tempat, lebih banyak yang membeli bungkus. Tidak sedikit pembeli berdiri mengantre di dekat steling, mengelilingi si penjual.
”Kak Mar, aku lontong empat bungkus, ya. Pedas bikin. Pakai telor bulat…”
”Bu Mar, aku nasi biasa dua bungkus. Pakai jeroan…”
”Aku nasi uduk sebungkus pakai telur dadar, ya. Kasihkan sambalnya yang banyak…”
”Aku duluan, Mar. Mi gomak, pakai sate kerang…”
Sering Marliah kelimpungan melayani pembeli yang tak sabaran, sampai-sampai ia gagal menandai mana yang datang duluan mana yang belakangan. Untungnya ia dibantu Amah, keponakan dari abangnya. Dia membungkusi, Amah membantu mengunci bungkusan dengan tusuk lidi.
Selain lontong sayur dan mi gomak—menu sarapan yang sudah menjadi tradisi orang-orang di Sumatera Utara—Marliah juga menjual nasi biasa dan nasi gurih. Di warung itu juga tersedia pulut, lupis, dan cenil, yang disajikan dengan kelapa parut dan gula merah cair. Ada pula pisang goreng dan bakwan, yang digoreng secara dadakan oleh Ribut, kakak kandung Marliah yang bersuamikan seorang pengangguran yang pernah minggat bersama perempuan lain selama dua tahun sebelum kembali dalam keadaan terpuruk.
Warung itu berada di halaman rumah, berjarak kira-kira 6 meter dari pintu depan. Marliah tinggal berteriak bila ada persediaan yang habis. Ribut akan berlari-lari keluar membawa apa-apa yang diminta.
Satu lagi yang membantu Marliah adalah Ijal, adik kandung Amah. Jika Amah membantu Marliah melayani pembeli di warung dan Ribut menggoreng pisang dan bakwan, Ijal wira-wiri antara warung dan dapur, mengangkuti piring kotor dan mencucinya.
**
Warung lontong itu sudah buka sejak 40 tahun lalu. Namanya tetap warung lontong Nek Ronikem meski orang-orang kini lebih sering menyebutnya ”warung lontong Marliah”. Marliah merasa berhak atas warung itu karena dialah yang mengurusi ibunya. Dialah satu-satunya anak Nek Ronikem yang belum menikah dan tinggal di rumah itu. Tiga kakak, dua abang, dan seorang adiknya, masing-masing sudah berkeluarga dan tidak tinggal di rumah itu lagi sejak lama. Ketika Nek Ronikem tak sanggup lagi berjualan karena persendian kakinya sakit, Marliah otomatis menggantikan perannya. Karena itu, sewaktu Ribut tiba-tiba datang ke rumah itu lagi setelah 20 tahun berumah tangga, mengadu bahwa suaminya tak punya pekerjaan, sementara dua anaknya masih kuliah, Marliah menerimanya dengan berat hati, dan memperlakukan kakak keduanya yang usianya lebih tua sepuluh tahun darinya itu tak ubahnya pembantu lain yang diberi upah harian.
Nek Ronikem masih hidup, namun ia tidak bisa apa-apa lagi. Kalau jalan harus dituntun. Pakai baju harus dipakaikan. Mengurusinya sering membuat Marliah naik pitam. Meski tubuhnya sudah renta, mulut ibunya itu masih lincah. Nek Ronikem tak henti-henti mengingatkan supaya jangan pakai kertas untuk membungkus. Katanya, selain keramahtamahan, daun pisang itulah yang membuat warung mereka digemari orang. Pernah Marliah curi-curi kesempatan memakai kertas, mengingat harga kertas jauh lebih murah dibanding daun pisang. Namun, pelanggannya pada protes.
”Kak Mar, warung Kakak ini bermartabat karena bungkusnya pakai daun pisang. Luar dalam pula. Di tempat-tempat lain enggak ada yang kayak di sini. Paling-paling cuma lapisan dalamnya. Itu pun daun pisangnya cuma seiprit. Jadi, pertahankanlah pakai daun pisang, Kak Mar,” ujar salah seorang pelanggannya.
Sejak saat itu ia pun tak pernah lagi coba-coba pakai kertas.
**
Dua belas tahun sudah warung lontong Nek Ronikem diambil alih oleh Marliah. Selama dijalankan Marliah, warung itu makin maju. Omzet bertambah. Dulu di era Nek Ronikem, pukul 10 warung sudah tutup. Sekarang, sampai azan Dzuhur pun, masih saja ada orang yang mau membeli. Batin Nek Ronikem, mungkin itu balasan Tuhan yang tidak memberi putrinya itu jodoh. Ya, hingga menginjak usia kepala lima, Marliah belum juga menikah.
Dibandingkan gerai makan berjejaring atau kedai kopi gaya-gayaan di ibu kota provinsi, omzet warung lontong Marliah masih jauh lebih besar. Tak usahlah disebutkan nominalnya, namun sebagai gambaran, penghasilannya per hari setara dengan gaji buruh pabrik di kawasan industri. Itu baru per hari. Bayangkan dalam sebulan ia beroleh berapa.
Nek Ronikem masih hidup, namun ia tidak bisa apa-apa lagi. Kalau jalan harus dituntun. Pakai baju harus dipakaikan. Mengurusinya sering membuat Marliah naik pitam. Meski tubuhnya sudah renta, mulut ibunya itu masih lincah. Nek Ronikem tak henti-henti mengingatkan supaya jangan pakai kertas untuk membungkus.
Tak heran, warung-warung lontong lain mulai bermunculan. Tak cuma di Kampung Staman, tapi juga di desa-desa lain se-Kecamatan Perbaungan maupun di kecamatan lain di Serdangbedagai. Mereka mencoba peruntungan serupa Marliah. Namun, tak ada yang mampu menyaingi warung lontong Marliah, sekalipun mereka mematok harga lebih murah. Bagaimanapun, rasa tak dapat membohongi lidah. Dan, kemasan daun pisang yang dijaga betul dalam tradisi Nek Ronikem, luput dari amatan mereka.
Majunya warung lontong itu pun sudah diteropong oleh kakak dan abang-abang Marliah. Meski sudah berkeluarga dan tak pernah terlibat sama sekali dalam pengelolaan warung, serta tak pernah mau mengurus Nek Ronikem yang sudah tua kecuali bertandang barang sehari-dua hari saat Hari Raya, diam-diam mereka mengincar bagian warisan jika sewaktu-waktu ibu mereka mati, termasuk warung lontong itu. Hal itu sudah diwanti-wanti oleh Marliah. Maka, ia meminta ibunya untuk menandatangani surat wasiat yang menyatakan bahwa warung beserta rumah itu diwariskan untuknya. Tetapi, berkali-kali Marliah meminta, Nek Ronikem tak juga menurutinya.
**
Meski punya tiga pembantu, semua urusan mengolah masakan tetap ditangani sendiri oleh Marliah. Bukannya Amah dan Ijal atau Ribut tak mau membantu. Marliah sendiri melarang mereka. Selepas tutup jualan, Marliah membagi tugas mereka sebatas untuk menyiapkan bahan-bahan untuk jualan esok. Amah mengupas gori dan mencacahnya. Ijal mengupas kelapa dan memarutnya.
Sedangkan Ribut memotong-motong kacang panjang untuk tambahan sayur gori dan merajangi cabai ijo untuk sayur tauco. Kemudian, Amah juga mengupas kentang untuk dibikin perkedel, Ribut membeteti jeroan ayam untuk sate rendang jeroan, Ijal menyiangi kerang rebus untuk sate kerang.
Marliah baru akan mulai mengolah masakan selepas Isya. Mula-mula rendang sate jeroan yang tidak mudah basi. Menyusul setelahnya sate kerang. Kemudian menumbuk kentang yang sudah digoreng, menambahinya dengan udang kering yang sudah dihaluskan, daun seledri, serta bawang goreng, membuatnya menjadi perkedel. Perkedel yang sudah dibentuk, akan digoreng esok pagi sebelum subuh, dengan terlebih dahulu dicemplungkan ke dalam telur kocok.
Pukul 12 malam, Marliah akan tidur sejenak. Ia bangun pukul 3. Lalu ia akan memasak sayur cabai tauco, sayur gori, mi gomak berbumbu dengan rajangan kol dan sawi, sambal teri-kacang, sambal tempe rajang, telur dadar iris untuk nasi uduk, dan memotong-motong mentimun. Lepas itu, dia akan menusuki sate kerang dan sate jeroan yang sudah dimasaknya sebelum tidur.
Amah, Ijal, dan Ribut baru akan datang selepas subuh. Begitu mereka datang, warung lontong Marliah pun mulai buka.
**
Suatu hari, Amah berhenti bekerja. Ijal menyusul dua hari kemudian. Mereka beralasan ingin membuka warung lontong sendiri. Namun itu cuma alasan yang dibuat-buat. Kenyataannya, mereka tak pernah membuka warung. Mereka justru diam-diam bekerja di warung lontong orang lain. Alasan sebenarnya, mereka sudah lama memendam sakit hati pada Marliah. Bertahun-tahun mereka mencoba bertahan, namun pada akhirnya mereka tak kuat lagi.
Apa pasal? Mulut Marliah terlalu lancip. Orang-orang yang kemudian bekerja padanya menggantikan Amah dan Ijal, tahu belaka soal perangai Marliah. Kata-katanya kalau bicara, tajam menusuk hati. Terlambat sedikit, mereka dikatai anjing tak tahu diuntung. Minta libur sehari saja, mereka dikatai lembu pemalas.
Bukan tak wajar jika mereka terlambat datang ataupun minta libur. Sebab, Marliah tak kenal kata libur. Warungnya buka terus seperti hendak naik haji berkali-kali. Padahal sekalipun ia tak pernah ke Mekkah. Tak pula pernah rekreasi sekadar buat melepas penat atau istirahat buat merenung. Kalau ditanya untuk apa uang yang diperolehnya selama bertahun-tahun jualan, dengan berapi-api dia akan menjawab, untuk berobat kalau aku sakit. Begitulah. Dia mengumpulkan uang hanya untuk menatap sakit di masa depan. Betapa menyedihkan.
Sejak Amah dan Ijal pergi, tak terbilang lagi berapa orang pembantu yang sudah datang dan pergi karena tajamnya lidah Marliah. Ada yang bertahan sebulan, ada yang bertahan seminggu, bahkan ada yang cuma bekerja tiga hari. Paling lama cuma sanggup bertahan setahun. Mereka semua tadinya adalah pembeli di warung Marliah. Mereka tergiur ingin bekerja pada Marliah karena selain gajinya lumayan, mereka juga bisa makan lontong gratis tiap hari. Namun, insaflah mereka begitu menjadi karyawan Marliah. Keramahtamahan yang mereka dapatkan saat menjadi pembeli, berubah 180 derajat saat mereka menjadi pekerja di warung lontong itu. Sebagus apa pun kinerja mereka, sepatuh apa pun mereka pada perintah-perintahnya, tetap saja ada kurangnya di mata Marliah.
Ribut sendiri bukannya tak pernah kena maki. Dialah justru yang paling sering dikata-katai hewan oleh adiknya itu. Selain karena kerjanya lamban, juga lantaran ia suka mengutil sembako—catat, mengutil di sini dilihat dari sudut pandang Marliah. Saban hari, diam-diam Ribut memasukkan telur, cabai, bawang merah, bawang putih, bahkan sabun cuci piring, ke dalam tas sandang yang selalu ia bawa dari rumahnya. Semua itu dilakukannya supaya gaji harian yang ia terima dari Marliah cukup buat menafkahi suami dan dua anaknya.
Ribut sendiri tak menganggap perbuatannya itu sebagai mengutil, apalagi mencuri, namun entah mengapa ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Aksinya itu berhasil luput dari tangkapan mata Marliah selama bertahun-tahun. Namun suatu hari, setelah Amah dan Ijal tak lagi di rumah itu, ia terciduk saat sedang memasukkan empat siung bawang putih ke dalam tasnya. Marliah merampas tasnya dan memeriksa isinya. Segera setelah isi tas itu dipergoki, beragam nama hewan pun meluncur dari mulut Marliah untuk memakinya.
**
Suatu hari, untuk kesekian kalinya, Ribut dimaki dan dibentak-bentak Marliah karena ketahuan mengutil minyak goreng. Yang bikin geger, peristiwa itu berlangsung di warung saat orang-orang ramai membeli sarapan.
”Kau, kan, sudah kugaji setiap hari. Kenapa nyolong saja kerja kau? Demi lakik kau yang pengangguran itu kau jadi pencuri?”
Seperti yang sudah-sudah, nama-nama hewan menyertai makian-makian Marliah pagi itu. Tak tahan terus-menerus dimaki, Ribut pun memberanikan diri melawan, mengeluarkan sakit hati yang dalam tahun-tahun terakhir dipendamnya.
Baca juga : Di Ruang Tamu, Hanya Aku dan Van Houtten
”Kau yang anjing! Rakus kau! Mau kau kuasai warung ini? Aku juga anak mamak. Aku juga punya hak di sini!”
”Hak apa?! Hak kau ada di suami kau! Ambil sana sama suami kau!”
Mendengar pertengkaran hebat anaknya di warung, Nek Ronikem, dengan langkah tertatih-tatih, keluar dari rumah menuju warung.
”Kelewatan kau jadi orang, Marliah! Ribut itu kakakmu! Warung ini enggak ada kalau enggak ada aku! Jangan sok kali kau jadi orang!”
Terpukul karena ibunya lebih membela kakaknya, Marliah meradang kesurupan. Teringat ia bagaimana dulu ibunya, bertahun-tahun lampau, tidak merestui hubungannya dengan kekasihnya, hingga ia tak lagi berminat menjalin hubungan asmara, menjadikannya gadis perawan tua. Diantuk-antukkannya kepalanya sendiri ke kaca steling. Para pembeli terperangah.
(*)
Abul Muamar, lahir di Perbaungan, 6 November 1988. Alumnus pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada. Menulis kumpulan cerpen bertajuk Pacar Baru Angelina Jolie’ (Gorga, 2019)