Ajaran Tasawuf Karjono
Teman-teman, hidup itu tak serumit yang kalian bayangkan. Tak sesuram yang kalian takutkan.
Dua hari yang lalu, di aula yang masih menyimpan sisa-sisa aroma tempias hujan, Karjono kembali diminta untuk memberikan pengayaan pada santri kelas akhir. Sudah menjadi sistem di pesantren ini, ujian semester kelas akhir tidak dibarengkan dengan ujian semester kelas lain. Ada pola didik yang menarik. Sebagian dari mereka diberi tugas untuk menjadi pengawas ujian adik kelasnya, sisanya dikumpulkan, terpusat di aula. Besoknya gantian, yang kemarin mengawas ujian, hari ini kumpul di aula, yang kemarin kumpul di aula, hari ini jadi pengawas. Semuanya sama-sama merasakan. Meskipun kedudukan mereka masih sebagai peserta didik, di pesantren ini mereka juga dididik untuk menjadi pendidik.
Hari itu matahari tak begitu terik. Angin pagi membawa rasa yang beda. Masih terasa lembab dan menyejukkan.
”Hari ini aku akan berbicara bukan sebagai guru, tetapi sebagai sahabat,” kata Karjono mengawali pembicaraannya. Seperti biasa, setelah semua perangkat pembelajarannya sudah siap, ia pasti berdiri mendekati santri-santrinya.
”Tahun lalu, dua tahun yang lalu, dan tahun-tahun sebelumnya aku juga berdiri di sini. Berbicara di hadapan sahabat-sahabatku yang saat ini sudah menyebar ke segala penjuru kehidupan. Mereka ada yang di Bandung, Jakarta, Solo, Purwakarta, Jogjakarta, Semarang, Surabaya, Malang dan kota-kota tujuan kuliah lainnya. Bermacam-macam pula, ada yang mengambil psikologi, dokter, sastra Inggris, sastra Indonesia, fisika, matematika, tarbiyah, filsafat, seni rupa dan seabrek disiplin pendidikan lainnya.
Tak jarang ketika aku mengingat mereka mendung langit dadaku. Ada sesuatu yang dingin mengalir dari kedua bola mataku. Napas terasa sesak menahan isak. Dada berdebar tak karuan. Tak jarang pula ketika aku dilanda rindu yang dahsyat seperti itu kerap aku tengadahkan tangan, berbisik pada Tuhan semoga cita-cita mereka dikabulkan.”
”Amiin…” Sontak aula bergemuruh. Sebagian dari mereka ada yang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sebagai tanda tawaduk atas segala doa.
Karjono menarik napas dalam-dalam dan pelan. Sebentar ia memejamkan mata kuat-kuat, seperti menahan sesuatu supaya tak keluar. Ia melangkah pelan dengan sesekali menatap wajah anak-anak muda yang kelak juga dirindukannya, menjadi kisah untuk adik-adik kelas berikutnya.
”Teman-teman, hidup itu tak serumit yang kalian bayangkan. Tak sesuram yang kalian takutkan. Tak sedikit di antara kalian yang menemuiku di kantor. Kadang bergerombol, lima sampai tujuh orang. Ada pula yang diam-diam berbisik, ’Ustaz, kapan ada waktu kosong? Aku mau cerita.’ Tanyanya seperti menyimpan rahasia yang siapa pun tak boleh mengetahuinya,” ungkap Karjono dengan sedikit menirukan gaya rengekan santrinya yang berbisik itu.
”Sebagai anak yang terlahir dari rahim buruh tani aku tak percaya mendengar rengekan mereka. Semua permasalahannya sama. Semuanya merasa rumit dan bingung di antara banyak pilihan. ’Ustaz, kalau kami kuliah mengambil jurusan ini masa depannya bagaimana? Apa pekerjaannya nanti? Bisakah bersaing dengan pekerjaan lainnya?’ Begitulah rata-rata.” Karjono diam sejenak, kemudian berdiri tepat di depan barisan duduk santriwati.
”Siapa di antara kalian yang saat ini memiliki ketakutan yang sama seperti kegelisahan teman kita yang aku cerita tadi?” tanya Karjono pada segerombolan anak-anak putri.
”Ana, Ustaz…” Kompak. Banyak yang mengangkat tangan. Sebagian yang lain menunduk, menyembunyikan muka di sela-sela punggung teman-temannya.
”Yang putra, siapa di antara kalian yang gelisah seperti teman-teman kita itu?” tanya Karjono agak menaikkan volume suara, menatap ke arah putra. Sama, ada yang angkat tangan, ada yang menundukkan kepala.
”Hahaha, cemen!” Timpal Karjono meledek. “Anak buruh tani yang berdiri di depan kalian ini saja tak pernah takut dengan masa depan. Tak pernah ragu atas pilihan. Sekali dia punya komitmen, akan dia hajar sampai takluk dalam genggaman. Sekali ia menentukan tujuan, pantang surut ke belakang. Pikirannya sederhana, maju yang belum tentu kalah dan ada kemungkinan untuk menang, atau berdiam diri yang sudah pasti kalah dan tertinggal. Lebih baik dia mati dalam proses perjuangan dari pada mati karena diam meratapi ketakutan-ketakutan. Dia anak buruh tani, bukan anak orang punya seperti kalian. Dia anak buruh tani yang lahir di kampung, bukan di kota dengan gemerlap kemewahan. Kalau dia saja tak takut terhadap apapun, mengapa kalian cengeng dalam menentukan pilihan yang sebenarnya pilihan tersebut ada di dalam diri kalian masing-masing?” Karjono meledak-ledak. Suaranya menggelegar. Fasilitas sound system di aula yang ia gunakan menghantam telinga santri-santrinya. Menelusup di sela-sela pembuluh darah, mencipta debar di dada, memporak-porandakan rasa ragu yang membelenggu siapa pun yang mendengarnya.
Ia merogoh saku baju, menghunus spidol warna hijau sembari melangkah mendekati papan tulis. Sepintas terlihat ia menggambar sesuatu. Tak beraturan, tapi terbaca gambar apa itu. Satu gambar berbentuk anatomi tubuh manusia, di samping kanannya gambar simbol suatu cahaya.
”Perhatikan gambar ini, teman-teman,” pinta Karjono. Santri-santrinya terlihat begitu antusias. Semuanya menatap penasaran.
”Ini Karjono,” katanya mengeja sambil menuliskan nama Karjono di bawah gambar anatomi manusia, ”dan ini aku.” Imbuhnya sambil menuliskan kata ”aku” di bawah gambar cahaya.
”Sebelumnya aku mau bertanya, siapa yang berbicara di depan kalian ini?” tanya Karjono sebelum menjelaskan lebih lanjut apa maksud dari gambar tersebut.
”Ustaz Karjono…” Kompak. Semua meneriakkan nama yang sama.
”Pantas saja jika kalian was-was dan takut menghadapi sesuatu. Pantas saja kalian cengeng dan gemar mencipta alasan untuk menutupi kelemahan. Apabila pandangan kalian masih bersifat materialistik seperti itu, sampai kapanpun kalian tak akan sampai pada hakikat keberanian.” Karjono tersenyum, ia menghentikan pembicaraan sejenak, memberikan kesempatan pada santri-santrinya untuk mengernyitkan dahi. Bagi Karjono kernyit dahi adalah tanda keseriusan seseorang.
”Teman-teman, ini ajaran hakikat. Ini inti dari segala ajaran. Akarnya pertumbuhan iman. Muaranya segala tujuan. Di dalam diri kita itu ada ’aku’. Zat yang suci yang dititipkan Tuhan pada setiap manusia. ’Aku’ sifatnya sama. Berangkat dari tempat yang sama dengan tujuan yang sama dan kembali ke rumah yang sama. Kalian pernah mendengar ungkapan bahwa semua manusia itu fitrah? Atau ungkapan bahwa manusia itu berasal dari sesuatu yang fitrah?”
Tak perlu menunggu lama pertanyaan Karjono disambut dengan anggukan kepala. Tak satu pun ia dapati santri-santrinya mengantuk, apalagi acuh terhadap apa yang dibicarakannya. Masing-masing fokus yang sesekali mengernyitkan dahi sambil menuliskan sesuatu.
”Masmuka, Akhi?” tanya Karjono pada santriwan yang duduk di bangku paling depan.
”Thoib, Ustaz.”
”Afwan, taqaddam, Akhi,” Karjono memintanya untuk ke depan. Setelah mencium punggung tangan Karjono, santri tersebut dipersilakan berdiri di sampingnya.
”Perhatikan saudara kita yang satu ini. Nama Thoib yang diberikan orang tuannya pada dirinya adalah tanda pengenal, tanda pembeda supaya tidak tertukar dengan “aku” yang lainnya. Sama halnya dengan batu nisan.”
”Hahahaha…” Semuanya terperanjat kaget. Terbahak-bahak meski tak sadar dan tak tahu apa yang ditertawakannya.
”Loh iya, nama Thoib pada dirinya tak ubahnya batu nisan.” Tegas Karjono sambil merangkul pundak Thoib. Memeluknya akrab layaknya sahabat. Tak lama kemudian Karjono melepasnya dan kembali menjelaskan.
”Fungsi batu nisan itu hanya sebagai tanda supaya keluarga tak salah makam ketika berziarah. Batu nisan itu sebagai pembeda mana makam orang salih mana makam orang yang mashur kezalimannya. Batu nisan itu sebagai petunjuk bahwa di situ ada yang di kubur. Sama halnya dengan nama kalian. Nama-nama itu diberikan oleh orang tua kita supaya beliau bisa membedakan mana anaknya mana yang bukan anaknya. Nama tersebut adalah labeling yang ditempelkan pada diri kita. Makanya ada Thoib, ada Karjono, ada Kaprawi, Karimén, Warsani, Darsini, dan lain sebagainya.” Sebut Karjono sekenanya. Ia random begitu saja nama santri-santrinya.
”Nama-nama tersebut hanya sekadar pembeda antara diri yang satu dengan diri yang lainnya. Pada hakikatnya kita itu sama. Terlahir dari fitrah yang sama. Terlahir dalam keadaan suci. Pertanyaannya kemudian, kalau memang sama-sama terlahir dalam keadaan suci, mengapa ada orang baik dan orang buruk? Mengapa tidak baik semuanya? Mengapa ada orang salih dan ada yang fasad? Siapa yang menentukan predikat itu?”
Karjono berhenti bicara. Ia memberikan kesempatan sejenak kepada santri-santrinya untuk menarik napas pelan. Ia tak langsung melanjutkan pembicaraan. Memang, ajaran ini cukup berat bagi yang imannya masih di bawah. Mereka yang akal dan hatinya belum menyatu akan sedikit payah menangkap ajaran ini. Karjono sadar betul akan hal itu. Oleh karena itulah ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan dengan tersenyum.
”Teman-teman, coba kembali perhatikan gambar di depan.” Pinta Karjono setelah mempersilakan salah satu santrinya yang berdiri tadi untuk kembali duduk. “Gambar Karjono itu adalah Karjono yang kalian lihat secara fisik. Orang yang berdiri di depan kalian ini. Orang yang menggambar tadi. Pertanyaannya, siapakah yang menggerakkannya untuk melakukan semua itu?”
”Aku.” Teriak salah satu santriwan yang duduk di tengah-tengah.
”Yeah, betul. ’Aku’-lah yang mengerakkan Karjono. Di dalam tubuhku yang Karjono ini ada ’aku’ yang suci. Ia tidak akan terpengaruh oleh apapun. Kesuciannya terjaga sampai Karjono tiada. Ia hanya bisa memengaruhi Karjono untuk melakukan sesuatu. Ia tak bisa dipengaruhi oleh apapun. Ia tetap fokus pada tugas yang diamanahkan Tuhan padanya, yaitu rahmatan lil ’ȃlamïn. Lantas, mengapa ada Karjono yang rusak lengkap dengan sifat buruknya?
Kerusakan Karjono tersebut bukan tersebab ’aku’ yang ada di dalam diri Karjono. Karjono menjadi rusak, bejat, tidak bermoral, goblok, dan sebagainya karena ia terpengaruh oleh bisikan iblis. Iblislah satu-satunya musuh ’aku’ di muka bumi ini. Karjono yang dimiliki ’aku’ akan beralih fungsi menjadi milik iblis jika Karjono tidak lagi mendengar suara ’aku’. Mereka saling berebut. Saling berbisik. ’Aku’ membisikkan kebaikan, iblis membisikkan kemungkaran. Tergantung Karjononya, mau menerima bisikan yang mana. Mau mendengarkan yang mana.
Jika kalian melihat orang yang perangainya buruk, sungguh yang buruk itu bukanlah ’aku’ yang terdapat di dalam diri orang tersebut, tetapi orang tersebutlah yang buruk. Ia menjadi buruk karena tidak mau mendengarkan bisikan dari ’aku’. Ia selalu mengabulkan semua bisikan-bisikan iblis, sehingga suara ’aku’ menjadi jauh, bahkan menjadi tak tedengar sama sekali. Misalnya, malas belajar padahal ujian sudah di depan mata. Malas berjuang padahal ia sadar selama dua belas tahun duduk di bangku sekolah sekali pun tak pernah mendapatkan peringkat kelas atau bintang pelajar. Meremehkan teman-temannya yang mendapatkan penghargaan tingkat kabupaten, provinsi, nasional, bahkan internasional, padahal dia sendiri tingkat kecamatan pun belum pernah merasakan. Ia sombong karena merasa semua kebaikan itu biasa-biasa saja. Dan seabrek perangai buruk lainnya. Semua itu adalah bisikan iblis.
’Aku’ pada hakikatnya dekat dengan Allah. Siapa pun yang antara dirinya secara fisik menyatu dengan ’aku’ yang ada di dalam tubuhnya pasti akan sensitif hatinya. Ia akan mudah menangis, bukan karena cengeng, tetapi karena selalu terketuk hatinya. Menangis itu soal perasaan yang terdalam, bukan permukaan, sedangkan ’aku’ sendiri tempatnya dekat dengan hati, ada di dalam kalbu. Seseorang yang menyatu dengan ’aku’-nya masing-masing, tak perlu ada tabkir untuk menunaikan salat. Sekali ia mendengar azan, ia selalu bergegas menuju masjid. Bahkan, jika penyatuannya dengan ’aku’ sampai pada hakikat penyatuan yang sesungguhnya, maka setiap napasnya adalah salat. Setiap langkahnya adalah salat. Setiap kedip matanya adalah salat. Haram segala macam makhluk atau apapun yang diciptakan Tuhan menyakitinya.
Bukankah kalian pernah mendegar kisah ditemukannya jenazah yang masih utuh anggota tubuhnya. Bahkan ada yang kain kafanya masih bersih layaknya jenazah yang baru dimakamkan kemarin sore? Sungguh itulah salah satu tanda penyatuan yang hakiki antara diri sang jenazah dengan ’aku’ yang ada di dalamnya. Sampai-sampai, ketika tiba yaumul hisab, tubuh jenazah tersebut akan menjadi saksi atas amal ibadah ’aku’ selama di muka bumi.
Jadi, yang dihisab nanti bukanlah Karjono yang kalian lihat secara fisik ini, tapi ’aku’ yang ada di dalam diri Karjono. Tubuh Karjono yang berdiri di depan kalian ini hanyalah media perhitungan, hanya perantara, saksi atas segala tingkah dan laku. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya akan bersaksi atas apa yang dilakukannya selama hidup. Jika kalian mengetahui hakikat ajaran ini, maka sedetik pun kalian takkan ada kesempatan untuk berbuat maksiat, apalagi berdua-duaan di dalam kelas bersama lawan jenis yang belum halal, surat-suratan yang menghantarkan pikiran untuk saling meghayal melakukan hal-hal yang diharamkan. ’Aku’ di dalam diri kalian selalu bersaksi akan itu. Ia selalu ada di mana pun kalian berada. Ia selalu terjaga meskipun kalian sudah memejamkan mata. Ia abadi selama-lamanya. Bahkan, ketika kalian sudah terkubur secara jasad, ia juga tetap ada. Ia akan kembali ke sisi Allah yang mengutusnya. Ia ada, tapi tiada dalam adanya. Ia tak nampak, tapi nyata.”
Karjono menarik napas pelan seraya beristigfar. Sekelebat ia menatap banyak dari santri-santrinya yang meneteskan air mata. Ia pun tak tahan melihat itu. Satu sisi ia merasa haru melihat anak-anak semuda itu sudah memiliki kesempatan untuk mendengarkan hakikat ajaran ini, sisi lain ia takut ada iblis yang turut mengikuti setiap kata yang ia ucapkan. Karjono menyeka air matanya. Ia memilih duduk di kursi guru. Ia jauhkan pengeras suara dari mulutnya, khawatir sesenggukannya terdengar oleh santri-santrinya.
”Teman-temanku, kekhawatiran kalian yang aku ceritakan di awal bukanlah kekhawatiran yang hakiki. Sungguh, jika kalian dekat dengan ’aku’ yang ada dalam diri kalian, aku yakin tak ada keraguan dalam segala pilihan. Termasuk memilih kelanjutan studi dan sebagainya itu. Sungguh ’aku’ itu dekat dengan Allah. Segala yang diingkan pasti dikabulkan. Jika kalian ingin selamat, ingin dikabulkan semua cita-cita kalian, dimudahkan segala urusan kalian, ingin terbuka lebar pintu rahmat dan hidayah Tuhan, maka dekatikah ’aku’ yang ada dalam diri kalian. Sudah terlalu lama kalian menjauhinya. Sudah terlalu jauh kalian meninggalkannya. Sapa ia. Ucapkan salam. Berbicaralah dengannya. Maka kalian akan terhantar pada hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Apa yang kalian lihat selama ini hanyalah fana. Hanya sementara. Hanya tipu daya. Tutuplah mata kalian, bila kalian melihat kebaikan dengan mata tertutup sungguh itulah sebaik-baiknya penglihatan. Karjono adalah fana. Thoib adalah fana, Kaprawi adalah fana, dan kita semua adalah fana. Yang ada dan akan dimintai pertanggung jawaban adalah “aku” yang tinggal di dalam diri kita. Mobil, rumah, kantor, istri, anak, dan semuanya adalah fana. Yang hakiki adalah ’aku’. Semua yang ada di sekitar kita adalah cobaan dan ujian. Jangan terbuai. Kembalilah pada diri sendiri. Kembalilah pada hati nurani. Kembali menyatu dengan fitrah kita sebagi rasul di muka bumi ini. Temuilah ’aku’ yang ada di dalam diri kalian. Insya Allah sedikit pun tak akan ada keraguan atas segala tindakan. Insya Allah.”
Baca juga: Juragan Sapi
Kali ini Karjono benar-benar tak mampu menahan isaknya. Suaranya yang mulai serak menahan tangis tak bisa lagi ia tutup-tutupi. Ia sudahi pembicaraannya dengan salam yang gemetar. Dalam hati Karjono kembali berdoa, persis seperti doa yang ia haturkan untuk sanrti-santrinya yang pernah mendengar pembicaraannya seperti ini, di tempat ini, tahun lalu dan tahun-tahun yang lalu: Semoga Allah mengabulkan semua cita-citanya. Semoga Allah menjadikan mereka orang-orang yang selalu dinanti kehadirannya. Semoga mereka menjadi generasi yang sabar, tawakkal, dan bermanfaat segala amal perbutannya.
Air. Air. Air mengalir di pipi Karjono.
***
Ahmad Moehdor al-Farisi, Penulis tinggal di Tangerang, Banten. Mengajar di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ’Izza.