Kutang
Tiga hari ini, setiap melangkah ke belakang rumah, dua kutang itu masih ada di jemuran. Tiga hari ini aku memakai kutang. Tiga hari ini, kutang telah mendatangkan kebahagiaan di hatiku.
Ada sebuah momen mendebarkan yang hampir selalu muncul di setiap pagi. Setidaknya itu yang kami rasakan—anak-anak ibu yang perempuan. Di belakang rumahlah debar itu terasa. Dua kutang digantung pada tali jemuran. Terkadang bertemankan handuk atau beberapa potong pakaian. Terkadang benar-benar hanya dua kutang, seperti sepasang manusia yang berkencan. Warna kutang itu coklat, tapi telah memudar. Kokok ayam telah menjadi pertanda, akan ada yang bahagia, akan ada yang kecewa.
Hampir setiap pagi, kami beradu cepat mengambil dua kutang yang digantung pada tali jemuran. Ibu mempunyai empat orang anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Anak sulung adalah Mas Wawan. Sedangkan aku merupakan anak bungsu. Umurku menyentuh angka sembilan belas tahun. Kakakku yang pertama, dua puluh empat tahun. Kakakku yang kedua, dua puluh dua tahun. Kakakku yang ketiga dua puluh satu tahun. Aku lebih sering kalah ketimbang menang dalam memperebutkan benda yang seakan-akan sebongkah emas itu.
Kekalahan itu bukan karena aku yang tidak bersiasat. Aku sudah berupaya bangun pagi lebih awal, supaya bisa lebih dulu mengambil kutang. Namun kenyataannya upayaku selalu gagal. Cukup sulit bagiku bangun lebih awal dari kakak-kakakku. Mereka selalu bangun mendahuluiku.
Meski sering kalah, tidak pernah membuatku menaruh perasaan benci kepada yang menang, apalagi sampai baku hantam. Namun gejolak sering kurasakan dalam hati. Aku masuk ke dalam dan mengambil handukku di kamar, bila tali jemuran kudapati kosong melompong, atau pada saat aku menuju tali jemuran. Aku tidak langsung melangkah ke kamar mandi, sebab sudah pasti kamar mandi sedang diisi oleh si pemenang.
Aku sudah pernah menyampaikan kekalahanku pada ibu di sebuah hari, beberapa saat setelah aku dan ibu pulang dari pasar, yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Ibu hanya tersenyum saja, setelah aku bercerita, seakan menganggap permasalahanku sebagai hal biasanya yang terkesan lucu.
“Apa Mbakyumu tidak pernah membuat jadwal, siapa yang hari ini mendapatkan giliran memakai kutang?”
Pertanyaan ibu, membuatku tidak habis pikir ketika itu. Bila ada telinga orang lain yang menangkap pertanyaan ibu, mungkin akan merasa konyol dan tertawa terpingkal-pingkal. Mana mungkin benda yang bersifat pribadi, harus digunakan secara bergantian?
“Ibu menyuruhnya begitu?”
Berbicara soal benda yang bersifat pribadi, aku menjadi teringat dengan Mbak Inah, tetangga sebelah rumahku. Mbak Inah sekarang sudah bersuami. Selesai mencuci pakaian, di halaman depanlah pakaian yang basah dijemur. Namun aku tidak pernah melihat pakaian dalam, terpajang di tali jemuran. Pakaian-pakaian yang ada, adalah pakaian luar saja. Kebiasaan yang tidak biasa itu mengundang tanya dalam benakku.
Apa Mbakyumu tidak pernah membuat jadwal, siapa yang hari ini mendapatkan giliran memakai kutang?
“Segala pakaian dalam itu bagi saya tidak lebih dari aib, Dik. Orang lain tidak boleh tahu. Apalagi lawan jenis. Itu mengundang ketertarikan dan penasaran. Maka itu, saya tidak pernah menjemur pakaian dalam di halaman depan. Tentu kamu bisa memahami apa yang saya maksudkan,” ucap Mbak Inah. Saat rasa penasaranku terhadap kebiasaan Mbak Inah timbul, aku baru saja naik ke kelas dua sekolah menengah pertama.
“Lalu di mana Mbak Inah menjemur pakaian dalam, jika tidak di halaman?”
“Di belakang rumah. Di sana tidak terjangkau oleh mata orang-orang karena di kelilingi oleh tembok rumah tetangga.”
Setiap kali aku meminta dibelikan kutang kepada ibu, ia selalu berkata agar aku bersabar dulu, karena ia belum mempunyai uang yang longgar. Meski alasan itu terdengar konyol di telinga, tapi begitulah kenyataannya. Meski kehidupan ekonomi keluarga kami pas-pasan yang mungkin membuat berat mengeluarkan uang untuk sekadar membeli kutang—apalagi semenjak ditinggal ayah untuk selama-lamanya—seharusnya ibu tidak begitu, bersikap terkesan tidak peduli. Seharusnya ibu memperjuangkan, entah bagaimana caranya agar benda pribadi itu ada.
Telah kutempuh cara dengan menabung. Namun halangan selalu ada saja. Aku tidak pernah tahan dengan godaan-godaan. Tabungan belum memenuhi target, aku tergoda beli ini dan itu. Terbersit pula, membuat kutang dengan tangan sendiri. Persoalannya aku tidak paham jahit-menjahit. Meminta bantuan ibu? Ibu juga demikian. Akhirnya hingga saat ini, aku terpaksa tanpa kutang di dada. Ibu tidak kunjung membelikan—terkadang terbit rasa telah dikesampingkan oleh ibu.
Baca juga: https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2020/07/16/tanah-harapan/
Menanggung empat orang anak, bukan hal mudah, apalagi tanpa suami. Meski kami sudah besar, ibu mempunyai prinsip bahwa sebelum menikah, tanggung jawab orang tua terhadap anak masih ada. Mas Wawan sudah bekerja, tapi di luar provinsi, dan pulang tiga atau empat bulan sekali. Dua kakakku masih kuliah, mereka masuk dengan jalur beasiswa prestasi. Aku sendiri hampir setahun ini membantu ibu berjualan ikan di pasar atau jaga rumah, setelah tidak diterima di perguruan tinggi lewat jalur beasiswa.
Hari-hariku benar-benar tanpa kutang di dada. Agar terhindar dari hal-hal yang tidak kuharapkan, saat keluar rumah kukenakan pakaian yang agak tebal, sehingga bagian ujung payudaraku tidak menciptakan relief yang mencolok.
“Bila suatu saat nanti Tuhan memberiku pabrik kutang, aku berjanji akan membagikan secara gratis kepada mereka yang didera kesulitan ekonomi sampai-sampai membeli satu potong kutang pun tak sanggup.”
***
Bila aku dendam pada kakakku dan dendam dapat diukur dengan timbangan, aku tidak bisa membayangkan, sudah berapa berat timbangan dendamku, hanya gara-gara kutang? Aku sudah terbiasa dengan kekalahan itu, dan menganggap seakan-akan itu bukan suatu persaingan. Meski kakak-kakakku egois jika sudah menyangkut kutang, mereka pernah juga mengalah, walau jarang.
Tiga hari ini, setiap melangkah ke belakang rumah, dua kutang itu masih ada di jemuran. Tiga hari ini aku memakai kutang. Tiga hari ini, kutang telah mendatangkan kebahagiaan di hatiku. Ketidakwajaran itu menimbulkan pertanyaan. Mengapa kakak-kakakku tidak mengambil kutang? Tiba-tiba saja di tengah bahagiaku, aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Perasaan telah menjadi pemenang dalam adu cepat meraih kutang pun hilang. Ya. Debar yang biasanya ada, tiga hari ini tidak ada.
Aku jadi tidak enak mengenakan kutang. Kakak-kakakku tidak ada yang mengambil. Bahkan hingga matahari meninggi, satu kutang masih ada di jemuran—satunya kupakai. Saat aku keluar di sore hari membeli bumbu dapur di warung, aku ingat dengan kakak-kakakku yang masih di kampus. Aku tiba-tiba saja merasa menjadi makhluk paling egois di dunia. Aku kepikiran mereka yang tidak memakai kutang, dan mereka sedang berada di tempat para akademisi berada. Aku tidak tenang. Pikiranku berkembang, sekarang kubayangkan mereka tidak pulang. Masing-masing dari mereka diajak pacarnya ke sebuah tempat yang aman, karena tidak tahan melihat bagian tubuh yang penting tidak berbalut kutang. Aku bergidik.
Cepat-cepat kulepas kutang yang kukenakan. Kucuci dan kujemur di tempat biasa. Aku khawatir. Bagaimana bila yang kubayangkan benar-benar terjadi? Tetapi kekhawatiran itu segera sirna, saat aku mendengar suara ketukan pintu. Semakin lega saat tahu mereka pulang bersama.
Hari berikutnya untuk menghilangkan rasa berdosaku, aku sengaja tidak ke belakang rumah. Anehnya, di siang hari, kutang itu masih ada di jemuran. Kenapa mereka tidak mengambilnya? Aku bertanya ke ibu, sepulang ia dari pasar. Kata ibu, mereka sudah membeli untuk diri mereka sendiri, dengan tabungan mereka. Mendengarnya aku sedikit kesal dengan ibu, juga kepada kakak-kakakku, mengapa tidak memberitahu bila membeli kutang? Jika memberitahu, aku tidak perlu repot-repot merasa berdosa.
Jadi, tidak ada lagi persaingan, adu cepat mengambil kutang. Pagi hariku menjadi hambar dan tidak berseni. Kekecewaanku tidak dapat terbalaskan. Debar itu telah hilang. Kakak-kakakku masih rajin, artinya masih bangun lebih awal, meski sudah memiliki kutang. Rutinitas setiap pagi itu telah memberikan pelajaran agar bangun pagi lebih awal.
***
“Bagaimana jika besok kita adu cepat mengambil kutang?” usul kakakku nomor tiga. Kami bertiga baru saja membicarakan soal kutang. Sekarang masing-masing dari kami telah mempunyai kutang. Tiga bulan yang lalu, aku membeli kutang, setelah ibu memberikan kejutan berupa sejumlah uang tepat di hari ulang tahunku.
“Betul. Aku kangen dengan pagi yang unik itu,” ucap kakakku nomor dua.
“Supaya lebih bersemangat, bagaimana jika yang kalah tidak memakai kutang selama seminggu?”
“Agar lebih greget juga, kutang yang diperebutkan hanya satu. Apakah setuju?”
Kami bertiga menyepakati dengan aturan mainnya. Aku berjanji pada diriku, akan mempermalukan kakak-kakakku. Cahaya bulan purnama membasahi rumah. Pukul setengah satu. Tinggal aku sendiri yang terjaga. Aku bertekad tidak tidur malam ini. Antusiasmeku benar-benar meletup-letup. Kemenangan seakan sudah di depan mata.
Aku menjadi pemenangnya. Kutang tidak langsung kuturunkan dari tali jemuran. Aku tahu, saat aku menuju halaman belakang, kakakku nomor tiga sudah bangun dari mimpinya, karena suara ponsel berbunyi—suara lagu kesukaannya. Mungkin ia mengira aku masih terlelap, sehingga ia tidak langsung ke belakang rumah. Atau bisa lupa menyerang kepalanya, bahwa pagi ini ada lomba adu cepat mengambil kutang. Aku memilih menunggu kemunculan kakakku. Aku ingin mengejek mereka. Namun di tengah aku senyum-senyum sendiri, terdengar suara benda berjatuhan. Aku berlari ke arah dapur.
Kakakku nomor tiga terjatuh. Kakakku nomor dua berusaha membangunkannya. Aku segera membantunya. Sekilas mataku menangkap lantai yang basah. Kakakku nomor tiga memegangi sikunya. Melihat mereka—apalagi kakakku nomor tiga, rasa banggaku hilang. Aku tidak tega mengatakan, bahwa aku telah memenangkan adu cepat ambil kutang.
*terilhami kolom Putu Fajar Arcana berjudul “Melunasi Kutang Masa Lalu”, terbit di Kompas.id, 3 Juni 2020.
Baca juga: https://kompas.id/baca/opini/2020/06/03/melunasi-kutang-masa-lalu/
Jejak Imaji, 2020
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bisa dihubungi di IG @risen_ridho.