Tanah Harapan
Anak-anak nenek memang tak sampai mengemis untuk bisa makan, atau lebih buruk lagi, tapi anak-anak tertua harus bekerja di perkebunan tebu untuk menghasilkan sedikit uang untuk membiayai sekolah mereka.
Sebenarnya, mendiang nenekku pernah berpesan untuk tidak menyentuh sehamparan lahan bersemak-belukar itu selama masih ada tanah lain yang bisa kugarap. Tanah sangar, tak jelas asal-usulnya. Tapi sebulan lalu bapak kembali menjual sepetak sawahnya untuk biaya persalinan kakakku dan melunasi sisa utang ibu. Seorang sepupu ibu nyusuki sawah itu dengan harga di bawah pasaran.
Hidup yang getir itulah yang membuatku nekad mengusik tanah harapan itu, yaitu seperdelapan hektar tanah tak bertuan di seberang kali yang selama ini hanya berisi semak-semak, tanaman senggani, alamanda yang merajalela, kembang telang dan barangkali sarang ular. Konon sejak zaman Belanda, tak jelas siapa pemilik tanah itu. Tapi orang-orang desa percaya kakekku punya hak atasnya. Bukan hak sepenuhnya, sebab ia harus berbagi dengan saudara tirinya yang salah satu keturunannya membeli sawah ibu.
Tapi bagaimana keputusan membagi tanah itu tetap menjadi misteri hingga kini. Moksa bersama jasad kakek.
Aku tak pernah mengenal sosok kakek. Tidak juga seorang pun dari cucu-cucunya. Ia bagai dongeng bagi kami, seperti tokoh fiksi layaknya Bandung Bondowoso atau Prabu Angling Dharma. Cerita tentang seorang lelaki Jawa berwajah rupawan, berperawakan lencir kuning dan piawai membawakan tari karonsih juga kami terima sepotong-potong. Tak pernah ada jahitan cerita yang utuh. Tapi kami menikmatinya meski keyakinan kami akan sosoknya perlahan-lahan luntur seiring dewasanya usia kami.
Satu cerita mengenai kakekku yang membuatku tertarik adalah bahwa selain piawai menari, kakek juga pandai menaklukkan hati perempuan. Tidak ada perempuan yang tak kepincut pada karisma Suroso Purwodisastro.
”Satu desa ini tak kurang sepuluh perempuan yang pernah jadi gundik mbah kakungmu. Istri sirinya sendiri ada tiga,” kata ibu.
Aku heran kenapa ibu begitu mudah bercerita tentang tabiat buruk ayahnya di depan kami, anak-anaknya. Bukankah cerita semacam itu adalah aib? Seingatku mendiang nenek tak sembarangan membuka kisah yang satu itu. Memang pernah ia berpesan padaku untuk setia pada satu wanita saja dan menghargai pernikahan. Samar-samar kuingat juga nenek pernah menggumam, ”Panase geni ora kaya panase ati. Hati yang cemburu lebih panas dari api.”
Namun, di saat-saat tertentu dalam hidupku, dongeng bahwa kakek begitu beruntung berurusan dengan perempuan membuatku sedikit optimistis. Bagaimanapun juga ada darah Arjuna mengalir dalam tubuhku. Soal hingga kepala tiga aku belum bertemu jodoh, itu hanya perkara waktu. Aku yakin, pada saat yang tepat arwah kakekku akan menitis padaku.
Meskipun begitu, aku kerap bertanya-tanya prinsip hidup yang bagaimana yang sebenarnya dianut kakekku. Semua orang di desa ini percaya bahwa ia seorang komunis dan untuk alasan itulah mereka menghilangkannya hingga kini. Tapi, bukankah orang-orang komunis sangat anti terhadap poligami?
”Ya begitulah, Mas. Hidup ini memang penuh paradoks,” komentar seorang sepupu yang belajar di perguruan tinggi tanpa menjelaskan apa maksudnya.
Aku bengong sendiri memikirkan arti paradoks.
***
Hutan kecil penuh semak tak berguna itu kini sudah bersih. Seperti kepala berambut gimbal yang sudah digunduli. Tanah di baliknya ternyata cukup gembur. Hanya perlu diolah sedemikian rupa dan ditaburi pupuk kandang, ia akan siap ditanami.
Aku memandang puas tanah kosong itu sembari menjaga api pada tumpukan semak yang masih setengah kering. Hujan hari-hari ini melembabkannya. Tapi baguslah, air dari langit akan menyegarkan tanahku dan tanamanku kelak akan mudah tumbuh.
Ya begitulah, Mas. Hidup ini memang penuh paradoks
Untuk sampai di tanah ini aku harus melewati tanah pekuburan dan menyeberangi kali. Terbentang bersama hamparan sawah orang-orang desa. Aku memandang jauh pada sawah hijau subur itu. Konon, kakek pernah jadi pemilik atas sawah-sawah itu, juga kebun jati di kejauhan sana. Suroso adalah seniman kampung paling kaya di desa pada masanya.
Tapi setelah kakekku hilang, moksa tak berjejak, sawah-sawah itu mulai dikuasai oleh saudara-saudaranya yang licik. Mereka menyisakan beberapa untuk nenek yang kemudian menjualnya seiris demi seiris untuk menambal kebutuhan hidupnya bersama kedelapan anak yang compang-camping setelah kehilangan nakhoda. Hidup begitu berubah seratus delapan puluh derajat. Anak-anak nenek memang tak sampai mengemis untuk bisa makan, atau lebih buruk lagi, tapi anak-anak tertua harus bekerja di perkebunan tebu untuk menghasilkan sedikit uang untuk membiayai sekolah mereka.
Seorang bulikku harus ngenger pada pakdenya di Surabaya demi menempuh pendidikan di sekolah pendidikan guru. Keluarga itu memperlakukannya seperti babu alih-alih anak saudara.
Di pemakaman umum yang sering kulewati itulah terbaring nenek dan leluhurku dari garis ibu. Aku hafal betul di mana nisan buyut, canggah, hingga leluhur lima generasi ke atas. Boleh jadi akulah keturunan yang paling sering berkunjung ke makam leluhur. Bukan karena aku secara sadar melestarikan tradisi nyekar ke makam leluhur. Itu lebih karena aku tak punya banyak kesibukan dan pemakaman adalah tempat paling tenang untuk menepi.
Di tanah kosong di samping kuburan nenek itu seharusnya jasad kakek terbaring.
Bukan hal mudah untuk akhirnya dapat menaklukkan tanah ini. Bahkan dari awal aku meminta izin pada orangtuaku dan para tetua di keluarga besar kami.
”Belum jelas siapa yang lebih berhak atas tanah itu, Yok. Lebih baik tidak,” salah seorang bulikku memberi saran.
”Carilah jalan lain untuk mencari rezeki, Le,” adik lelaki ibu yang paling tua juga turut menasihati.
Mereka berdua adalah orang-orang yang dianggap ’tetua’ dalam keluarga kami dan berhak dimintai saran mengenai keputusan-keputusan serius meski anak tertua adalah ibuku. Itu karena semua menganggap mereka lebih berwibawa dengan pekerjaan sebagai pegawai negeri, abdi negara. Di antara kedelapan anak kakek-nenekku mereka berdualah yang dianggap sukses dan hidup layak.
Sebenarnya ada satu saudara ibu lagi yang kehidupannya cukup mapan dan sering dijadikan sandaran bagi kami, tapi ia tinggal jauh di Pulau Sumatera.
Aku sudah bosan dengan nasihat bijak yang keluar dari mulut mereka berdua. Hanya deretan kata-kata mutiara yang mereka berikan, lain tidak. Bahkan bantuan kecil untuk keluargaku yang sekarat disebut piutang. Untuk membiayai misiku menanam melon golden di tanah ini pun tak sepeser pun mereka berkenan menyumbang. Aku harus berutang pada koperasi desa dengan bunga mencekik.
Saran bapak untuk meminta izin Paklik Kethik, sepupu ibu yang membeli sawah kami, juga tak kuhiraukan. Buat apa pamit pada keluarga kaya yang sombong itu. Aku tak hendak berbasa-basi lagi. Toh, siapa yang peduli dengan tanah itu selama ini? Tanah itu terlantar dan terabaikan sekian lama.
***
Ini adalah kali kedua aku memanen melon golden di kebun kecilku. Tak sia-sia kerja kerasku selama ini. Tak sia-sia orang pemerintah itu mengadakan pelatihan bagi orang-orang desa pengangguran macam aku. Dari hasil penjualan panen pertama, aku bisa mencicil utangku di koperasi dan memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari. Sebagian kusisihkan untuk tabungan.
Bagaimanapun, aku ingin punya masa depan yang cerah. Dengan tabungan itu, aku berencana memugar dapur rumah kami yang atapnya sudah bocor di mana-mana. Aku juga akan melamar Kinasih, gadis yang belakangan ini dekat denganku. Kinasih adalah putri Pak Lurah yang sehari-hari mengajar di SD ujung jalan. Masih ada hubungan kerabat denganku.
Aku adalah lelaki yang ketiban ndaru tatkala tahu bahwa Kinasih memilihku alih-alih Bagus, anak Paklik Kethik. Aku tak habis pikir kenapa gadis itu justru menolak pemuda mapan yang baru pulang dari negara jiran sebagai TKI. Ah, ini pasti karena darah Arjuna kakekku. Aku tersenyum memandangi bayanganku di cermin kecil bekas spion sepeda motor.
Kali ini aku mengajak Fahri untuk memanen melonku. Ia adalah bocah sepuluh tahun sepupuku yang tinggal di rumah depan. Hanya tersisa sepetak rumah joglo itu sebagai satu-satunya aset yang mampu dipertahankan nenek. Bagian belakang ditempati oleh ibuku dan anak-anaknya. Bagian depan adalah hak Paklik Bangun, anak bungsu Nenek. Anak-anak yang lain berpencar mencari penghidupan masing-masing.
Matahari begitu cerah pagi ini. Secerah harapanku mengumpulkan lembar demi lembar hasil penjualan melonku nanti. Aku tak menjualnya kepada tengkulak kali ini karena ternyata harganya terlalu rendah. Aku sudah membangun relasi dengan beberapa kios buah di pasar dekat stasiun Barat. Ke sanalah aku akan mengangkut melonku dengan gerobak sewaan.
Kulihat Fahri bersemangat memilih melon yang sudah menguning dan wangi untuk dipetik. Aku memang menjanjikannya upah untuk kerjanya membantuku. Anak itu tak sering mendapat uang jajan berlebih dari orangtuanya. Aku tersenyum mengingat berkah yang dihasilkan dari kebunku.
Tapi baru seperempat gerobak kami terisi, perhatian kami teralihkan oleh suara deru sepeda motor yang meraung-raung dari seberang sungai. Seorang laki-laki berseragam loreng mengendari sepeda motor melintasi kuburan. Temannya yang juga berseragam loreng membonceng di belakang.
Setelah usaha menyeberang jembatan bambu, dua tentara itu berhenti di kebunku. Mereka turun dari motor Gl Pro, keluaran ’97 tampaknya.
”Anda yang bernama Tantram Jiwo alias Yoyok?”
”Betul.”
”Mulai hari ini Anda ditahan karena menggarap tanah negara tanpa izin.”
***
Keterangan:
sangar: angker
nyusuki: membeli
lencir kuning: tinggi semampai, ramping
tari karonsih: sakloron tansah asih, tari asmara Panji Asmoro Bangun dan Sekartaji
ngenger: menumpang hidup
ketiban ndaru: beruntung, mendapat rejeki nomplok
Linggar Rimbawati, sehari-hari mengajar di Unit Pengembangan Bahasa UIN-STS Jambi. Sedang menekuni fiksi dan puisi. Beberapa cerpennya dimuat di media masa, seperti Tribun Jabar dan Difalitera. Dapat disapa di @linggarrimba (IG), Linggar Rimbawati P (FB), dan linggarrimba@yahoo.com atau linggarwati47@gmail.com.