Pasar Janji
Setelah 4 minggu sejak percakapan pedagang janji dan opung pedagang, banyak lapak pasar yang beralih menjual janji.
Jika biasanya pedagang menjual segala benda yang dibutuhkan dan menguntungkan, dia tidak. Jika pedagang bangun subuh, pulang malam, dan tidur larut, dia tidak. Hanya satu hal yang membuat dia terlihat sama seperti pedagang lainnya. Moment ketika mereka menawarkan dan merayu pembeli yang melirik-lirik lewat depan lapak. Meski dagangannya beda, tidak ada orang yang terganggu, tidak ada yang protes, dan peduli. Dia pun tidak menjelaskan.
Satu-satunya hal yang meresahkan pedagang lainnya ialah, dia tipe laki-laki rupawan dengan lidah berbisa, dan suara yang nyaring terdengar.
Percaya atau tidak, di pasar kecil yang tidak tercatat lokasinya rupawan jadi kunci utama proses transaksi. Keberuntungan terlahir dengan gen rupawan itu 1:10, karenanya tidak ada yang berani mengusiknya. Seperti jati ukiran Jepara.
“Janji janji 1 bungkus 100.000.” Laki-laki itu berteriak sambil membenarkan letak topinya. Kakinya terangkat satu dan tangan kirinya memegang satu bungkus nasi. Tidak ada hukum attitude di sini. Apapun yang dikenakan, bagaimanapun tingkahnya lapaknya selalu digandrungi pembeli wanita.
Setengah jam berlalu, perlahan keramaian mereda, hingga benar-benar tidak ada pembeli meski setiap lapak masih terjaga. Sepi yang membuat tempat ini tidak layak kalau dinamai pasar. Mungkin sedang tanggal tua, atau memang tidak ada yang menarik lagi di sini. Sampai-sampai, suara jangkrik yang biasanya samar, hari ini terdengar lebih jelas. Seolah mereka muncul dan ingin menggantikan manusia yang belanja dan menjaga suasana tetap ramai. Bintang yang baik.
Pedagang yang katanya rupawan itu, membuang nasi bungkusnya lalu mencuci tangan. Ia meregangkan badan sebentar, melihat ke kanan dan kiri. Kelakuannya selalu aneh. Teori dagangnya berbalikan, tapi punya pembeli terbanyak. Wajahnya seperti pengelaris.
Saat semua menurunkan harga agar dapat pelanggan, dia melakukan sebaliknya. Tidak peduli suasana sepi, atau kosong pembeli label harga tetap naik.
Janji Kosong, 1 bungkus 200.000
Pemilik lapak lain yang melihat tulisan itu, berkomentar. Mungkin itu jadi suara pertama yang memecah keasyikan melamun pelapak lain. Ia menarik perhatian, dan membuat yang lain penasaran ingin melihat.
“Kenapa harganya malah kau naikkan? Kita tidak punya pengunjung, nanti dagangan kau enggak laku.”
Lelaki rupawan itu menggeser kursinya ke arah depan untuk memperpendek jaraknya dengan si penanya.
“Daganganku selalu laku Opung. Opung tidak usah khawatir, orang-orang selalu suka barang mahal.”
“Tapi tidak ada pembeli yang datang, kenapa masih kau naikkan juga?”
“Iya, tapi masih banyak orang di sini. Siapa saja bisa jadi pembeli. Toh barang ini enggak akan basi sebelum terjual.”
Pedagang yang dipanggil opung itu menutup kipasnya secepat kerutan di dahinya muncul. Ia sudah siap ingin berteriak, tapi melihat sekitar dan berusaha menahan suaranya.
“Hei apa maksudmu, kau masih muda sudah jadi ahli bohong, haa?”
“Tidak opung. Kalau opung mau, aku bisa ajarkan gimana caranya jual bungkusan-bungkusan ini.”
Kipas dibentangkan lagi.
“Tidak usah, aku sudah senang dengan daganganku sendiri.”
***
“Berapa harganya bang?”
“Dua ratus ribu. Kalo buat mbaknya nego sedikit enggak papa.” Kalimat khas pedagang yang biasanya ampuh, kalau diucapkan dari mulut yang tepat.
Wanita pembeli itu masih memilah mana bungkusan paling baik. Aturan berbelanja di lapak itu, pembeli hanya boleh melihat bungkus luar dan menanyakan harga. Semua pembeli sudah tahu aturan itu dan tidak pernah protes. Anehnya, tidak ada juga yang memberikan review buruk.
“Aku ambil yang ini aja mas. Dua ya.” Nona pembeli itu menunjuk bungkusan yang ia pilih. Transaksi selesai tanpa ada tawar menawar.
Si pedagang kembali duduk di sudut paling depan lapaknya, dan melihat ke arah opung yang ada di seberang. Opung pedagang itu tidak menunjukkan ekspresi sinis atau terganggu. Wajahnya tidak iri, atau membenci. Meski suaranya keras, semua pelapak tahu, opung pedagang berhati yang sangat mahal jika dijual.
Pedagang janji itu sudah bersiap untuk obrolan apapun yang muncul. Ia sangat ingin menjelaskan pada opung pedagang, kalau penjualannya menguntungkan. Keyakinannya akan ditanya soal pemasukan sangat besar, sebab tadi sebelum uang itu dimasukkan dalam kantongnya, ia melihat opung pedagang mengamati dari balik kibasan kipas.
Pedagang janji bersiap menjelaskan, dan sudah hafal di luar kepala teks janji-janji lain kalau dibutuhkan.
“Pembelimu wanita semua?” Pertanyaan pertama muncul.
“Tidak juga, kebetulan wanita tadi suka barang mahal.”
“Kau tidak menjelaskan isi daganganmu?”
“Tidak opung. Dia sudah paham aturan mainnya.”
Hening.. Opung tidak menjawab lagi, ia malah sibuk berkipas-kipas ria di lapak kecilnya yang sepi pembeli.
“Opung mau lihat-lihat daganganku? Khusus untuk opung, aku enggak akan jual semahal ini. Aturan mainnya juga nanti kujelaskan.” Tawaran si pedagang janji membuat wajah opung menoleh ke arahnya, mengamati lekat, dan membuat opung berhenti mengipasi wajah.
“Tidak nak. Aku ini opungmu. Bukan wanita muda yang suka barang mahal.”
***
Setelah 4 minggu sejak percakapan pedagang janji dan opung pedagang, banyak lapak pasar yang beralih menjual janji. Tidak ada syarat khusus, pedagang hanya dilarang menjelaskan sistem kerja ke orang yang tidak serius berusaha. Setiap pedagang janji punya ritme pembeli yang sama persis setiap minggunya. Bisa ditandai. Para pembeli akan muncul tepat pukul 14.00 sampai pukul 16.00. Selalu wanita usia 20 – 30an. Secara visual para pembeli memiliki gaya dan kebutuhan yang hampir mirip-mirip.
Di suatu sore, seorang pedagang janji bermain ke lapak tempat opung pedagang. Ia bercerita segala perubahan yang ia dapat setelah beralih jadi penjajah janji. Opung mendengarkan dengan sangat baik, dan tidak berkomentar apapun. Pedagang itu mengeluarkan ponsel, dan menunjukkan foto anak-anaknya. Opung tersenyum tulus, sambil mengipasi wajah.
“Kelihatan kali keluarga kau bahagia. Pembelimu jadi banyak, karena anak kau bisa senyum terus di rumahmu sana.”
“Tidak opung, anakku senyum terus karena pembeliku yang banyak. Opung tertukar-tukar omongannya.”
“Ya maklum sajalah. Opungmu ini sudah tua.”
***
Sepuluh menit sebelum lapak tutup.
Pedagang janji berjalan mondar mandir di depan lapaknya. Tidak ada yang mempedulikan, semua sibuk dengan lapaknya sendiri. Lapak pedagang janji sudah beres dikemas sejak satu jam lalu. Tapi ia masih belum pulang, dan terus mondar mandir.
“Sudah capek mataku lihat kau mondar mandir. Kalau mau pergi pergi saja kau sana. Ngapain kau ganggu mata tuaku ini. Cari masalah kau ya?”
Pedagang janji berlari cepat ke arah lapak opung. Wajahnya tidak gelisah. Ia justru sumringah. Opung bisa melihat jelas ada senyum di wajah pedagang itu karena mendengar makiannya.
“Pintar kau ya! Sengaja kau buat opung tua ini marah. Hebat benar anak muda satu ini, kau bikin mataku capek, senang kau lihat aku kesal gini? Haa?” Opung pedagang menggerakkan kipasnya kencang-kencang. Emosinya sudah tersulut karena si pedagang janji senyum sumringah.
“Opung kenapa enggak pernah tanya aku dagang apa? Atau kenapa aku punya banyak pembeli?”
Opung menghentikan aktivitasnya, menarik satu kursi untuk diberikan pada pedagang janji itu.
“Kenapa kau tanya? Sudah bosan kau nunggu aku penasaran?”
“Aku cuman pengen cerita opung.”
Pedagang janji membeberkan segalanya. Bagi opung yang usianya sudah mendekati angka 70, gejolak muda bukan hal asing lagi. Ada banyak cerita muda yang ia dengar. Kalau orang-orang di pasar ini mayoritas sudah menjual janji, opung masih bertahan menjual telinga. Benar sekali. Opung menjadi tempat orang-orang bercerita segala hal. Tidak banyak pembeli yang mau mampir ke lapaknya. Semuanya lebih tertarik pada para pedagang janji.
Cerita pedagang janji itu diakhiri pernyataan penyesalan karena tidak bisa memberi bantuan pada opung, dan menyesali opung yang tidak mau mengikuti jejaknya.
“Hei nak, usiamu berapa sekarang?”
“22 opung”
Opung mengambilkan dua buah lilin angka 5 dan 2 dari dalam rak di tokonya.
“Nanti kalau usiamu 52 dan kau jadi penjual telinga, kau tiup lilin ini di tempatmu.”
Pedagang janji itu bingung mendengar pernyataan opung, tapi opung melanjutkan lagi.
“Butuh waktu puluhan tahun tapi semoga 30 tahun cukup untukmu.”
Opung menyuruh pemuda itu berdiri, dan menarik kursinya masuk. Ia menyelesaikan sisa pekerjaannya. Sebelum pemuda itu pergi, opung kembali berkomentar.
“Dua bulan lagi, pembelimu akan datang sendiri dan bercerita isi daganganmu ke lapak ini. Makanya sering kuingatkan, jangan kau patok tinggi tinggi hargamu. Jangan kau bohongi pembelimu. Selaris apapun daganganu, kau bahkan belum punya pelanggan.”
Selesai berkomentar, opung meninggalkan si pedagang janji sendirian. Pedagang janji diam menimbang-nimbang ucapan opung.
“Jadi selama ini dia sudah tahu. Apa semua orang akan bijak saat tua?”
Bukan cuma hati, opung memiliki organ yang mahal jika dijual.
***
Windi Meilita, lahir di Muaro Jambi, 1997. Saat ini berdomisili di Yogyakarta. Masih belum menemukan hal yang disebut “hobi”, karena segalanya menyenangkan kalau dilakukan bersama orang yang tepat.