Singgih Arif Kusnadi, Merawat Kesenian Rakyat di Lereng Merbabu
Dalam usia yang relatif muda, Singgih Arif Kusnadi (33) ditunjuk memimpin padepokan kesenian rakyat di lereng Gunung Merbabu, Magelang. Singgih pun bertekad mengabdikan diri untuk merawat dan memajukan kesenian rakyat.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
Dalam usia yang relatif muda, Singgih Arif Kusnadi (33) ditunjuk memimpin padepokan kesenian rakyat di desanya yang berlokasi di lereng Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Meski menghadapi sejumlah tantangan, Singgih bertekad mengabdikan diri untuk merawat dan memajukan kesenian rakyat melalui sejumlah inovasi.
Sejak kecil, Singgih yang berasal dari Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, sudah akrab dengan kesenian, terutama tari. Saat masih kanak-kanak, Singgih dan teman-temannya kerap memainkan Tari Barongan yang dikenal luas di wilayah Magelang.
Mereka yang memainkan Tari Barongan biasanya memakai kostum barong yang terdiri dari topeng kayu serta selubung yang menutupi bagian kepala hingga tubuh. Namun, karena tidak punya uang untuk membeli kostum, Singgih dan teman-teman sebayanya saat itu memakai karung plastik bekas wadah beras.
Meski dengan peralatan seadanya, mereka tetap menari dengan sepenuh hati. Bahkan, tak jarang, Singgih dan teman-temannya berpura-pura kesurupan agar pertunjukan mereka serupa dengan Tari Barongan sungguhan. Apa yang dilakukan anak-anak itu ternyata mendapat dukungan dari para orangtua.
"Waktu itu, kami kalau menari berisiknya minta ampun. Biasanya orang tua itu kan marah kalau anaknya main-main sampai berisik begitu, tapi di desa saya tidak. Para orang tua malah menikmati dan mendukung apa yang kami lakukan," ujar Singgih, Jumat (14/10/2022).
Sejumlah warga desa Banyusidi, yang mayoritas bekerja sebagai petani tembakau, kemudian patungan untuk membelikan kostum barong untuk Singgih dan anak-anak lainnya. Sejak saat itu, gairah berkesenian warga ddi desa tersebut meningkat. Selain anak-anak, orang-orang dewasa juga ikut belajar Tari Barongan.
Suatu ketika, anak-anak di Desa Banyusidi mendapat undangan untuk tampil menari dalam sebuah acara. Agar bisa tampil maksimal, warga desa tersebut lalu berpatungan untuk mendatangkan pelatih tari bagi anak-anak mereka.
Anak-anak itu kemudian belajar Tari Soreng yang merupakan tarian khas di wilayah lereng Gunung Merbabu. Selain itu, orang-orang dewasa juga ikut belajar sehingga hampir semua warga Desa Banyusidi bisa menampilkan Tari Soreng.
Setelah itu, sejumlah warga Desa Banyusidi mengusulkan pembentukan padepokan kesenian di desa tersebut. Lalu, berdasarkan kesepakatan masyarakat, dibentuklah Padepokan Wargo Budoyo pada 28 April 2000. Nama padepokan tersebut mengambil nama dari padepokan seni yang pernah ada di Desa Banyusidi pada tahun 1970-an tapi kemudian vakum.
Ketika Padepokan Wargo Budoyo terbentuk, Singgih baru berusia 11 tahun. Dia lalu aktif berkesenian sebagai penari di padepokan itu hingga menyelesaikan pendidikan di bangku SMA. Selepas lulus SMA, Singgih melanjutkan pendidikan di Program Studi Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah. Di tengah perjalanan studinya, Singgih memutuskan untuk berhenti kuliah, lalu bekerja di bagian desain grafis di sebuah hotel di Kota Magelang.
Di balik layar
Selama kuliah dan bekerja, Singgih tidak aktif menjadi penari di Padepokan Wargo Budoyo. Meski begitu, dia tetap membantu jalannya padepokan. Saat itu, Singgih lebih banyak berperan di balik layar dengan membantu publikasi, promosi, dokumentasi, hingga mengurus tamu dan mengatur keuangan padepokan.
Singgih menuturkan, waktu itu, dirinya juga kadang diajak berdiskusi oleh Ketua Padepokan Wargo Budoyo, Riyadi, mengenai pengelolaan padepokan tersebut. Di bawah kepemimpinan Riyadi yang juga merupakan paman Singgih, berbagai acara kesenian digelar di Desa Banyusidi.
Pada awal pandemi Covid-19 atau sekitar pertengahan tahun 2020, Singgih memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai desiner grafis. Oleh Riyadi, Singgih lalu diminta berguru dengan seniman senior Magelang, Sutanto Mendut. Dari Sutanto, Singgih banyak belajar tentang manajemen pertunjukan dan kesenian rakyat.
"Bersama Pak Sutanto, saya pernah terlibat dalam penyelenggaraan puluhan pertunjukan virtual. Selain itu, saya juga pernah membantu dalam acara Festival Lima Gunung di tahun 2020," tutur Singgih yang lahir pada 15 Maret 1989.
Pada pertengahan tahun 2021, Riyadi berpulang. Singgih lantas ditunjuk untuk menggantikan Riyadi sebagai Ketua Padepokan Wargo Budoyo. Berbekal ilmu dan pengalaman yang didapatkan dari sejumlah orang, Singgih mencoba mengelola padepokan yang memiliki anggota puluhan orang tersebut.
Saat memimpin Padepokan Wargo Budoyo, Singgih membuka pintu lebar-lebar untuk berkolaborasi dengan kelompok seni lain. Apalagi, seiring dengan mengendurnya pembatasan aktivitas karena kasus Covid-19 yang melandai, permintaan untuk tampil dalam sejumlah acara kembali berdatangan. Untuk memenuhi permintaan itu, seringkali dibutuhkan penari dan pemusik dalam jumlah banyak.
Guna menutupi kekurangan, Singgih membuka lebar kesempatan bagi para penari maupun pemusik dari desa lain di Magelang untuk ikut tampil. Sebaliknya, jika ada kelompok kesenian dari daerah lain yang membutuhkan tambahan penari atau pemusik, Singgih siap mengerahkan anggotanya.
"Saya selalu menanamkan kepada teman-teman di padepokan bahwa seni itu saling mengisi, saling menguatkan. Bukan hanya persoalan indahnya tarian atau bagusnya musik saja, seni juga bisa menjadi jembatan yang menyatukan rasa, batin, dan kasih," tutur Singgih.
Manfaatkan teknologi
Selama memimpin Padepokan Wargo Budoyo, Singgih mengaku mengalami sejumlah tantangan. Salah satunya adalah terjadinya perbedaan pendapat dan konflik di antara para anggota. Namun, Singgih justru merasa senang dengan hadirnya konflik itu. Sebab, baginya, setiap konflik bisa menjadi pembelajaran untuk lebih menguatkan padepokan.
Oleh karena itu, Singgih pun membiasakan para seniman di padepokan tersebut untuk berani mengungkapkan pendapat masing-masing. Dia juga sebisa mungkin membagi peran para anggota padepokan sehingga tidak ada yang merasa tidak diakui eksistensinya.
Saya selalu menanamkan kepada teman-teman di padepokan bahwa seni itu saling mengisi, saling menguatkan (Singgih Arif Kusnadi)
Selain itu, Singgih juga berinovasi dengan memanfaatkan teknologi dalam aktivitas Padepokan Wargo Budoyo. Langkah pertamanya adalah membuat kanal Youtube yang diharapkan bisa menjadi perpustakaan atau tempat para seniman memajang dan menyimpan karya-karyanya. “Kalau sewaktu-waktu ada orang yang ingin tahu karya kami, mereka tinggal menonton Youtube,” kata Singgih.
Selain itu, Singgih juga mencoba merambah ke dunia podcast. Dalam podcast yang diberi judul Guneman Tanpo Leren tersebut, Singgih berbincang dengan para pegiat seni kerakyatan senior di Magelang. Melalui podcast tersebut, dia berharap, para seniman muda bisa mendapatkan pembelajaran.
Ke depan, Singgih juga bermimpi ingin membuat museum kesenian rakyat. Di dalam museum itu akan dipajang koleksi-koleksi kesenian rakyat milik Desa Banyusidi beserta arsip-arsip tentang kiprah Padepokan Wargo Budoyo.
Singgih Arif Kusnadi
Lahir: Magelang, 15 Maret 1989
Istri: Emi Chunaifah
Anak: 2 orang
Pendidikan terakhir:
SMA Negeri Candimulyo, Magelang
Pernah kuliah di Program Studi Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta