Sebagai seniman, Ong Hari Wahyu (64) leluasa menjelajahi berbagai medium seni. Dia tak hanya menjadi perupa yang menghasilkan karya personal, tetapi juga membuat kover buku serta terlibat dalam produksi film dan teater.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
Sebagai seniman, Ong Hari Wahyu (64) leluasa menjelajahi berbagai medium seni. Dia tak hanya menjadi perupa yang menghasilkan karya personal, tetapi juga berkreasi membuat kover buku serta terlibat dalam produksi film dan teater. Semua peran itu dilakoninya dengan filosofi bahwa seni harus bersifat organik sehingga terus hidup dan berkembang.
Lahir dan besar di Madiun, Jawa Timur, Ong Hari Wahyu tertarik dengan seni rupa sejak kanak-kanak. Saat belajar di sekolah dasar, Ong sudah sering mengikuti lomba menggambar. ”Sejak kecil, saya sudah senang menggambar,” katanya saat ditemui di rumahnya di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (19/9/2022).
Setelah lulus SMA, Ong kemudian belajar di jurusan seni grafis Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI, Yogyakarta, pada tahun 1980. Di lembaga yang kemudian berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itulah Ong menimba beragam ilmu mengenai seni rupa. Saat kuliah, Ong sudah nyambi bekerja dengan menggambar iklan produk komersial.
Namun, sesudah beberapa tahun kuliah, Ong akhirnya drop out atau putus kuliah. Meski begitu, prosesnya sebagai seniman terus berlanjut. Saat itu, selain memproduksi karya seni, Ong juga bekerja di percetakan serta terlibat dalam penerbitan beberapa majalah yang dikelola mahasiswa di Yogyakarta.
Waktu itu, Ong juga bekerja di penerbitan buku Shalahudin Press. Di penerbit itulah Ong mulai membuat gambar untuk kover buku. Aktivitas memproduksi kover buku itu terus berlanjut hingga munculnya banyak penerbit buku di Yogyakarta pada akhir dekade 1990-an hingga tahun 2000-an.
Menurut Ong, pada masa tersebut, hampir tiap hari ada perwakilan penerbit buku yang datang ke rumahnya untuk minta dibuatkan kover buku. ”Tahun 2000-an itu ramai-ramainya penerbit buku di Yogyakarta. Waktu itu, saya bisa bikin kover untuk lima judul buku dalam sehari. Kadang saya juga bikin logo penerbitnya sekalian,” tutur lelaki yang memiliki nama asli Hari Wahyu Widodo itu.
Salah satu pengalaman berkesan dialami Ong setelah membuat kover untuk buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Suatu waktu, Pramoedya bersama keluarganya berkunjung ke rumah Ong di Bantul. Dalam pertemuan itu, Pramoedya memuji kover yang dibuat Ong untuk novel Gadis Pantai. ”Beliau bilang, kover Gadis Pantai itu sangat pas dengan cerita yang ditulisnya,” kata Ong.
Hingga sekarang, Ong telah memproduksi lebih dari 1.000 kover buku. Bagi Ong, kover buku bukanlah sekadar pelengkap atau penghias buku, tetapi juga bisa menjadi karya seni yang berdiri sendiri.
”Kover, yang dulunya hanya sebagai sampul atau penghias, sekarang menjadi karya seni rupa yang berdiri sendiri. Makanya, kalau tahun 2000-an itu boleh dibilang saya pameran karya tiap hari karena karya saya, kan, setiap hari dipajang di toko-toko buku,” ujar seniman yang mendapat nama julukan ”Ong” sejak kecil itu.
Tahun 2000-an itu ramai-ramainya penerbit buku di Yogyakarta. Waktu itu saya bisa bikin kover untuk lima judul buku dalam sehari.
Pergaulan
Selain membuat kover buku, Ong terlibat sebagai art director atau penata artistik dalam produksi film dan pentas teater. Keterlibatan Ong dalam dunia film dan teater itu tak lepas dari pergaulannya dengan para seniman dari dua bidang tersebut. Di dunia teater, dia kerap berinteraksi dengan Emha Ainun Nadjib dan Butet Kartaredjasa. Ong kemudian banyak terlibat dalam pementasan Teater Gandrik serta seri pertunjukan ”Indonesia Kita”.
Di dunia film, mengacu data di situs filmindonesia.or.id, Ong terlibat dalam sejumlah produksi film karya sutradara Garin Nugroho, misalnya Daun di Atas Bantal (1998), Soegija (2012), Aach... Aku Jatuh Cinta (2015), Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Nyai (2016), Setan Jawa (2016), Mooncake Story (2017), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2018).
Selain itu, Ong juga terlibat dalam produksi film Drupadi (2008) karya Riri Riza, Habibie & Ainun (2012) karya Faozan Rizal, Habibie & Ainun 3 (2019) karya Hanung Bramantyo, Taufiq: Lelaki yang Menantang Badai (2019) karya Ismail Basbeth, serta Losmen Bu Broto (2021) karya Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono.
Ong menuturkan, dalam hal tata artistik film dan teater, dirinya banyak belajar dari Roedjito yang pernah menjadi penata artistik untuk sejumlah kelompok teater besar di Indonesia, misalnya Bengkel Teater pimpinan Rendra, Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya, Teater Kecil pimpinan Arifin C Noer, dan Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno.
Menurut Ong, Roedjito terlibat dalam produksi film Daun di Atas Bantal sehingga dirinya bisa belajar banyak kepada sang maestro. Dari Roedjito pula, Ong mengaku belajar bahwa seni harus terus hidup dan berkembang.
”Pak Roedjito sering bilang, orang itu jangan berhenti berpikir. Kita mungkin sudah memikirkan satu ide, tapi ketika dieksekusi pasti berkembang karena melihat interaksi dengan benda atau orang lain. Jadi, sesuatu itu harus terus berkembang, jangan mandek,” ucap Ong.
Ide tentang kesenian yang harus terus hidup dan berkembang itu kemudian dirumuskan oleh Ong dalam konsep seni organik. Gagasan mengenai seni organik itulah yang menjadi landasan kreativitas Ong saat berkarya dalam beragam bidang.
Selain organik, Ong juga beranggapan bahwa seni harus ditujukan untuk orang lain, bukan untuk sang seniman sendiri. Keyakinan ini pula yang tampaknya membuat Ong menginisiasi sejumlah aktivitas seni di sekitar tempat tinggalnya di Kampung Nitiprayan, Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Bantul.
Dalam penyelenggaraan acara-acara kesenian di kampung itu, Ong bahkan tak segan mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Berkat aktivitas kesenian itu, Kampung Nitiprayan pun dikenal sebagai kampung seni. Apalagi, setelah Ong tinggal di Nitiprayan pada 1990, banyak seniman di Yogyakarta yang ikut-ikutan tinggal di kampung tersebut.
Selain itu, Ong bersama beberapa pihak juga menginisiasi acara Pasar Kangen Jogja yang menampilkan kuliner-kuliner Nusantara tempo dulu. Acara yang digelar sejak 2007 itu tidak hanya untuk berjualan, tetapi bertujuan melestarikan kuliner jadul.
”Pasar Kangen itu bukan sekadar berjualan, tapi ada ideologi di baliknya. Acara itu untuk memamerkan makanan lama supaya tidak hilang. Ketika makanan lama itu hilang, kita kehilangan kebudayaan,” kata Ong.
Sebagai seniman, Ong mengaku sangat menikmati proses berkesenian yang bersifat komunal atau melibatkan banyak orang. Sebab, dalam proses berkesenian semacam itu, sebuah gagasan bisa dielaborasi bersama-sama.
Meski begitu, Ong masih terus berkarya secara personal dan berharap bisa menggelar pameran tunggal kembali. Apalagi, dalam proses panjangnya berkesenian, Ong mengaku baru menggelar pameran tunggal sebanyak tiga kali. Pameran tunggal terakhirnya digelar tahun 2014 di Bentara Budaya Yogyakarta.
Atas kiprahnya di beberapa bidang seni tersebut, Ong mendapat Penghargaan Bentara Budaya. Penghargaan tersebut diberikan pada Senin (26/9/2022), bertepatan dengan Ulang Tahun Ke-40 Bentara Budaya.
Ong Hari Wahyu
Tempat, tanggal lahir: Madiun, 22 Desember 1958
Pendidikan: Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI, Yogyakarta
Aktivitas: Perupa serta Penata Artistik Film dan Pentas Teater
Penghargaan: Penghargaan Bentara Budaya Tahun 2022