Berurusan dengan redaktur surat kabar pernah dialami Seno Gumira Ajidarma sampai-sampai tulisan yang sudah rampung empat bab batal dimuat. Ia juga kerap terbentur idealisme sineas-sineas yang hendak mengangkat karyanya.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·6 menit baca
Seno Gumira Ajidarma (63) kembali menyodorkan karya realisnya lewat Marti & Sandra. Ia menyuguhkan alur campuran dari sudut pandang bocah perempuan dengan pusaran kegetirannya. Novelis itu malah kian giat saat pandemi dengan sejumlah buku yang tengah disiapkannya untuk dirilis.
Seno bertutur santai lewat panggilan video, Kamis (28/4/2022). Ia masih menyampaikan kuliah hingga dua kali sehari dari rumahnya di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten. “Di rumah terus. Setiap ngajar maksimal 90 menit. Kalau dua jam, teler,” kayanya sambil tersenyum.
Pergumulan dengan tut-tuts kibor sudah menjadi hidupnya. Cerita bersambung Marti & Sandra termasuk rilisan Seno di tengah pandemi yang tengah ditayangkan harian Kompas. “Inspirasi cerita kali ini agak lucu. Jadi, saya baca cerita yang kreditnya atas nama Hitchcock,” ucapnya.
Ia merujuk Alfred Hitchcock, sutradara legendaris asal Inggris. Hitchcockian, demikian gaya tuturan tersebut. Seno membaca cerita berjudul “Nona Finch” tentang anak yang selalu dianggap berbohong. Kisah itu ia baca di majalah Hai, tahun 1991.
“Anak itu melihat mayat. Nah, dalam pelajaran bercerita di kelas, anaknya ngomongin itu tapi semua orang bilang bohong. Padahal, jujur,” ucapnya. Cerita itu demikian membetot perhatian hingga Seno tergerak untuk menulis kisah yang mirip berjudul “Pelajaran Mengarang”, tahun 1992.
“Saya nulis, beda. Jadinya anak yang enggak bisa bercerita karena konflik antara kenyataan dan keterusterangan. Pengertian bahagianya berbeda. Anak-anak seperti itu ada,” katanya. Cerpen yang dimuat harian Kompas itu dialihwahanakan pula menjadi skenario, tahun 1997.
Seno menyunting lagi platform berkisah menjadi prosa hingga menyajikan runutan yang pekat dengan rentetan adegan. Kegamangan Sandra yang diminta mengarang berkelindan dengan bayangan kamar semrawut, lelaki bergonta-ganti mengencani ibunya, hingga cercaan bagai diiris sembilu.
Tak Terduga
Tak heran, Marti & Sandra tervisualisasikan serupa sinematik lewat pergantian set hingga kadang begitu cepat macam jump cut. Begitu pun dengan teknik-teknik seperti zoom, close-up, atau long shot. Seno mengaku terkejut saat cerbung itu rampung.
“Paling ajaib, saya sendiri enggak menduga. Saya sempat mikir, apa boleh begini? Kayak enggak etis tapi kok, bisa atau pantas, ya,” ujarnya. Ia lantas menyadari kesahihan cerbungnya mengingat media yang berlainan. Beda dengan spektrum sebelumnya yang ditampilkan lewat tontonan bertajuk “Ibuku Seorang P”.
Perbedaan paling kentara dibandingkan cerpen dan skenarionya, Seno membubuhkan plot twist atau akhir yang tak terduga. “Permainannya, ya, twist (pemutaran). Itu kuncinya. Buntutnya saya tambahkan. Penting itu karena seru,” katanya sambil tersenyum.
Deskripsi visual beralih menjadi literer naratif. Lazimnya beberapa buku Seno, kelas menengah disoroti dengan segala hedonisme, hipokrit, dan materlialisme. Sesekali, ia masih sedikit nakal dengan sedikit repih-repih sensualitas, eksotisme, atau stimulan lain.
Keremangan klab, cumbu rayu, hingga akuarium manusia-manusia malang diuraikan dengan lincah. Kehidupan malam dicantumkan menari-nari dengan liar namun juga jujur. Cerita tersebut juga menyisipkan Marti, ibu Sandra yang meneguhkan martabat di antara dunia hitamnya.
Ia berharap cinta bakal sedikit meredakan luka batin ketimbang memilih harta benda meski ujungnya ditolak juga mentah-mentah. “Kujual tubuh tapi tidak hatiku. Nah, kira-kira begitu. Jadi bukan membungkuk-bungkuk. Punya sikap juga. Buat Marti, hati tetap penting,” ucap Seno.
Seno bak memiliki mata kamera. Keluwesan itu turut disajikan dalam Matinya Seorang Penari Telanjang, cerpen yang juga dibuat skenario. Ia merangkai ketegangan perempuan yang diburu sepasang begundal sembari menggelitik penasaran dan keingintahuan pembaca untuk menduga-duga otak pembunuhannya.
Ia ikut mengetengahkan perspektif yang sama lewat Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Potongan-potongan imaji Sophie yang sedang mandi sambil bernyanyi dengan suara serak-serak basah dan sabun yang berselancar di tubuh berkelebatan di antara kegelisahan dialog antara hansip dan Pak RT.
Dalam tatanan kemasyarakatan paling simpel, cerpen tiu menyiratkan penindasan terhadap minoritas yang gamblang. Demikian pula dengan cerita-cerita dalam buku Atas Nama Malam yang mengisahkan bartender. Ia diselubungi kesuraman namun ditilik dari pandangan pendengar, curahan hatinya jelas menarik.
Seno memang teramat akrab dengan kehidupan selepas senja. Kesusastraan penulis yang kerap menyebut dirinya wartawan itu dituangkan lewat pengamatan. Saat belum lama menikah, ia sempat kuliah seraya menjajal dunia hiburan malam demi menyambung hidup.
“Artinya, saya menghayati, peduli, dan terinspirasi. Malam jadi simbolis. Enggak cuma gelap tapi punya makna, di mana benar atau salah tak terlalu jelas batasnya,” katanya. Seno juga menulis beberapa buku berlatar wayang berlanggam surealsime yang ia nikmati seluruh prosesnya.
Apa Salahnya
Seno kerap terbentur dengan idealisme sineas-sineas yang hendak mengangkat kreasinya ke layar lebar. Kata pelacur pada judul skenario misalnya, diganti. “Waktu ketemu, saya dikasih tahu soal pelacurnya itu. Apa salahnya? Di kamus ada kok. Dalam lagu ‘Hitam Kelam’, Bimbo juga menyanyikannya,” ucapnya.
Suatu waktu, Seno berkonsultasi dengan feminis mengenai kata pelacur yang disematkan pada judul. Ternyata, bukan persoalan. “Katanya, alah, hanya judul. Itu cuma kata, kan. Tabrak saja. Jadinya, ya, saya pakai. Nah, itu menarik,” katanya.
Berurusan dengan redaktur surat kabar saja pernah ia alami sampai-sampai tulisannya yang sudah rampung empat bab batal dimuat. “Tahun 2003, kalau dimuat saya bikin bersambung biarpun harus lari-lari. Kata pemred, ada pelacurnya. Ya, sudah berhenti. Saya kasih cerita lain, Negeri Senja,” ucapnya.
Kini, ia berniat menuntaskan bagian-bagian yang belum ditayangkan menjadi novel berjudul Pelacur dalam Perahu. Seno diajak temannya membuat penerbitan. “Lagi pandemi, saya mau sikat. Saya enggak mudik. Lah, kerjaan begini banyak. Malah, saya enggak keluar rumah,” ujarnya.
Seno tak terpenjara. Ia justru sering bertanya-tanya saat harus bepergian ke beberapa kampus untuk mengajar namun ingin mengetik. “Kapan saya bisa bangun tidur tapi enggak pergi? Saya bisa baca semua buku yang sudah dibeli atau menulis apa pun kalau jadi tahanan rumah,” katanya sambil tertawa.
Ia umpamanya, bertekad menyelesaikan buku Nagabumi yang ketiga dan keempat dengan tebal masing-masing sekitar 1.000 halaman. “Buat semua penulis saya rasa seperti itu. Waktunya jadi banyak. Terus terang, saya sebelumnya enggak punya waktu. Minta ampun,” katanya.
Seno Gumira Ajidarma
Lahir: Boston, U.S.A 19 Juni 1958
Pendidikan :
- S3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Program Studi Ilmu Susastra (2005)
- S2 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Program Studi Ilmu Filsafat (2001)
- S1 Fakultas Film dan Televisi IKJ, Program Studi Skenario (1994)
- D3 Departemen Sinematografi LPKJ, Jurusan Penyutradaraan (1980)
- SMA Santo Thomas Yogyakarta (1976-1977), SMA BOPKRI I (1975)
- SMP Negeri V Yogyakarta (1973)
- SD Teladan Ungaran Yogyakarta (1970)
Pekerjaan antara lain:
- Rektor Institut Kesenian Jakarta (2016 – 2020)
- Wartawan PanaJournal.com (2014-sekarang)
- Pengajar Fakultas Film dan Televisi IKJ (1995-sekarang)
- Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2005-sekarang)
- Pengajar Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (2009–sekarang)
Penghargaan:
- Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2008, 2010, 2021
- Anugerah Seni 2013 dari Pemerintah RI
- Khatulistiwa Award untuk Prosa tahun 2004 dan 2005
- South East Asia (SEA) Write Award 1997 (Thailand).