Lelaku Teater Pak Genthong
Sesempit apa pun, menurut Genthong, ruang berkesenian yang tersedia saat ini mesti dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Anak muda itu jatuh cinta pada teater setelah dua kali menonton pentas WS Rendra dan bertemu dengannya awal 1960-an. Saat itu, ia ingin sekali bilang kepada Rendra, ”Saya ingin ikut main teater.” Namun, ia tidak punya keberanian mengatakannya. Kalau pada akhirnya ia berenang juga di dunia teater, menurut dia, itu karena ”suratan”.
Anak muda itu adalah Genthong Hariono Seloali yang di dunia teater dikenal sebagai aktor, penulis naskah, sutradara, dan guru yang menunjukkan arah bagi anak-anak muda yang ingin menyelami teater. Ia kini berusia 77 tahun dan telah menghabiskan lebih dari dua pertiga hidupnya untuk teater. Dunia yang ia jalani secara sungguh-sungguh sebagai sebuah lelaku dengan segala konsekuensinya, termasuk kemiskinan.
Hingga kini, Genthong masih aktif menulis naskah dan menggelar pentas. Pentas terakhirnya berupa monolog Kau Bakar Shinta Isterimu, Aku di Yogyakarta pada 19 Januari 2020, dua-tiga bulan sebelum pagebluk Covid-19 mengubah hidup manusia di seluruh dunia. Sebuah pentas yang berbicara soal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Ia menyebut pentas monolog yang dimainkan oleh Loubna Dzakiah itu sebagai pentas keluarga lantaran ia melibatkan istri dan anak-anaknya. Istrinya, Riana Diah Sitharesmi, koreografer tari, menginterpretasi Dewi Shinta. Anak tertuanya, Aryo Wisanggeni, membacakan puisi dan adiknya, Oriz Antasena, memainkan gitar klasik. Genthong juga tampil membacakan puisi.
Kami bertemu di beranda rumahnya yang sederhana di kawasan Sedayu, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (27/3/2022). Dari situ, kami bisa melirik entah ruang keluarga, entah ruang tamu yang sesak oleh buku-buku dan kertas yang ditumpuk seadanya saja. Di ruangan yang kekurangan cahaya itu, pemikiran Genthong menyala, menghasilkan naskah-naskah drama dan puisi-puisi.
”Saya sedang menulis naskah terbaru, tapi belum selesai juga. Ya... karena situasinya berubah, jadi pikirannya berubah,” ujar Genthong yang secara fisik masih tampak segar. Pikirannya mengalir jernih dari masa lalu ke masa kini dan sebaliknya.
Apakah naskah itu terhambat oleh pagebluk? ”Ah, tidak juga. Saya memang pernah kena Covid-19, tapi buat seniman situasi pagebluk justru memperkaya pengalaman batin. Saya mengikuti apa yang terjadi di rumah sakit, bagaimana dokter bekerja, bagaimana orang mengharapkan panjang umur, dan bagaimana keputusasaan keluarga (pasien).”
Namun, kata Genthong, semakin tua ia merasa semakin reflektif. Setiap menulis naskah, misalnya, ia terlebih dahulu berpikir panjang tentang apakah naskah itu ada manfaatnya untuk kemanusiaan. Kalau tidak ada, untuk apa? ”Dulu waktu muda, saya lihat satu situasi kecil bisa jadi adegan yang dahsyat. Tinggal dikasih maknanya. Sekarang terbalik. Maknanya duluan. Mikirin adegan, bentuk, pola dialog itu terlalu mudah untuk orang yang sudah punya pengalaman,” ujarnya.
Jalan hidup
Genthong memang sudah kenyang makan asam-garam di dunia teater. Ia mulai jatuh cinta pada drama saat kelas 2 atau 3 SMP ketika menonton pementasan Rendra bersama Studi Club Drama Jogja di Yogyakarta tahun 1958/1959. Ia masih ingat drama (saat itu istilah teater belum dipakai) yang dipentaskan berjudul Paraguay Tercinta.
Buat remaja zaman itu yang kekurangan tontonan ”seni modern”, menonton drama Rendra sangat mengesankan. Sampai-sampai muncul keinginan di hatinya untuk ikut main drama. Tidak heran, begitu Rendra pentas lagi di Yogyakarta pada 1961, ia bertekad untuk menemuinya. ”Buat saya, melihat seniman ’seni modern’, saat itu terasa lebih istimewa daripada bertemu wali kota atau bupati,” kenangnya.
Dan, keinginannya terwujud. Rendra beserta kru menemuinya di sela-sela latihan untuk pementasan Oedipus Rex. Melihat wujud Rendra, sang seniman hebat itu, Genthong sampai bergetar. Senang campur takut. Sebenarnya, ia ingin mengatakan kepada Rendra, ”Saya ingin ikut main drama.” Namun, ia tidak punya keberanian. Sampai akhirnya, Rendra pergi ke Amerika.
Lulus SMP tahun 1962/2963, Genthong meneruskan pendidikan ke Jurusan Lukis dan Patung Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Hasratnya untuk terjun ke dunia drama berkobar lagi ketika Sunarto HM, seorang mahasiswa Fakultas Sastra UGM, mengajaknya mendirikan Teater Idaman pada 1963. Lantaran ada ”bau-bau” SSRI-nya, Genthong didapuk sebagai ketua. ”Otomatis aku juga yang diserahi melatih teman-teman bermain drama. Lha nonton orang latihan drama saja belum pernah, melihat latihan Rendra hanya sekelebatan saja.”
Jadilah Genthong pelatih teater tanpa pengetahuan teater, nol ilmu nol pengalaman. Bekalnya hanya pengalaman dua kali nonton pentas Rendra. Ia mencoba menggali pengetahuan teater dari buku Richard Boleslavsky. Isinya terkait enam pelajaran pertama bagi calon aktor yang mengulas kesalahan aktor. Saat itu, mencari buku, apalagi buku teater, susahnya minta ampun. Ia juga menggali seni peran lewat film-film drama.
Saat mempersiapkan pementasan Teater Idaman, Genthong justru didapuk teman-temannya untuk jadi aktor utama sekaligus sutradara. Padahal, ia belum pernah main drama. ”Waktu di atas panggung, saya masih bertanya-tanya, apakah ini yang disebut drama?”
Yang membuat takjub, pentas itu sukses dan penontonnya berjubel. Setelah pentas, ia langsung dikenali para seniman sastra dan teater. Becermin dari momen itu, Genthong berpikir bahwa takdirlah yang membawanya ke dunia teater. ”Baru sekarang saya yakin, itulah jalan hidup saya berdasarkan suratan,” tutur Genthong yang menempatkan Rendra sebagai guru dalam bayangan.
Setelah pentas itu, Darmanto Jatman dari Teater Kristen mengajak Genthong main Professor Tarrane karya Arthur Adamov. Di situlah ia melihat bagaimana Darmanto latihan drama. Sejak saat itu, ia tampil di banyak pentas dengan berbagai grup teater. Lantas, ia mulai menulis naskah drama. Karya pertamanya, Copet-copetatau Kurungan Ayam. Selain dengan Darmanto, ia bekerja sama—dan saling memengaruhi—dengan banyak seniman teater, seperti Jasso Winarto dan Umbu Landu Paranggi.
Pendidik teater
Rupanya, Genthong juga ”ditakdirkan” sebagai pendidik teater. Peran yang ia emban sejak pertama ia mainkan secara dadakan pada 1963 di Teater Idaman terulang ketika ia diminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi DIY untuk melatih teater anak-anak SMA pada 1990. Ia gembleng anak-anak dari berbagai SMA itu dengan disiplin teater selama berhari-hari di luar sekolah sambil kemping. Setelah selesai, mereka dikembalikan ke sekolah masing-masing untuk menyiapkan pementasan. Semua proses itu ia monitor.
”Orientasinya teater serius, bukan teater ecek-ecek. Yang saya tekankan kesungguhan,” ujar Genthong yang sempat berkelana lewat jalur darat ke sejumlah negara tahun 1966 dan sampai di Muenchen, Jerman, tahun 1978.
Hingga enam tahun kemudian, program itu melibatkan ratusan siswa dari 67 sekolah di seluruh DIY dan menghasilkan lima pentas. Dari situ muncul bakat-bakat menonjol di bidang teater, seperti Gunawan Maryanto Cindil, Hanung Bramantyo, Nining Yocasta, Loubna Dzakiah, Kusen Alipah Hadi, dan Susi Ivvaty. Meski begitu, sebagian dari mereka akhirnya menempuh jalan hidup lain di luar teater.
Genthong sama sekali tidak kecewa dengan pilihan hidup mereka. Sejak awal, ia memang berpandangan, kegiatan teater tidak untuk mencetak aktor, tetapi untuk lebih memanusiakan manusia. Teater membuat manusia mengenali problematika hidup dan kejiwaannya. ”Saya cuma berharap mereka tahu seni, menghargai seni, lebih terbuka pikirannya, tidak ngawur melihat seni kalau nanti mereka jadi pejabat, misalnya. Kalau ada yang punya bakat dan mau jadi aktor, saya bantu. Asalkan sungguh-sungguh.”
Kesungguhan menjadi harga mati bagi orang-orang yang benar-benar ingin menjadi aktor. Tanpa kesungguhan, menurut Genthong, mereka hanya akan menjadi setengah aktor atau bahkan tidak menjadi apa-apa.
Berakhir
Genthong tumbuh dan berkembang di dunia teater pada era ketika berkesenian dianggap sebagai pilihan hidup. Ia menyebutnya sebagai lelaku. Oleh karena itu, berkesenian harus dijalani secara total. ”Kita harus merasakan dan meresapi gelap-terang dan manis-pahitnya kehidupan. Dari situ kita bisa menghidupkan rasa seni.”
Sebagaimana seniman teater di eranya, kehidupan Genthong dan kawan-kawan berputar di markas grup teater. ”Setiap hari makan-minum, latihan, buang air, segalanya di komunitas. Semua dijalani bersama,” ujar Genthong yang mendirikan Teater Tikar tahun 1978.
Namun, katanya, dari dulu sebenarnya hanya sedikit orang yang mau menjalani kehidupan seperti itu karena ada konsekuensinya, yakni menyeret mereka ke dalam kemiskinan. ”Saya itu hidup 50-an tahun di teater, duit saya mestinya bisa jadi rumah, mobil. Tetapi semuanya habis untuk teater. Enggak punya duit sudah biasa saja, ha-ha-ha.”
Menurut Genthong, era teater sebagai lelaku yang ideal itu sudah lama berakhir. ”Teater lelaku yang berusaha mencari aktor yang bagus, permainan yang luar biasa, itu masa lalu. Sekarang yang mau menikmati juga siapa?”
Genthong menyadari benar bahwa zaman telah berubah. Dan, perubahannya kelewat kencang. Iklim berubah. Es di kutub mencair. Pandemi muncul tanpa diduga-duga. Ini semua mengganggu proses kita bermanusia. Belum lagi revolusi teknologi digital yang membuat kita tergagap-gagap mengikutinya. ”Bayangkan HP sekecil ini bisa untuk apa saja. Hanya untuk buang air tidak bisa. Orang menonton teater pun lewat Youtube. Itu kan produk akhir. Dulu kita berjuang membangun perabadan dan kebudayaan. Setelah tinggi, enggak ada gunanya karena ada kebudayaan baru berbasis digital. Rontok semua jadi online,” tuturnya.
Zaman yang berubah itu bukan untuk ditangisi, tetapi diterima saja. Dan, bukan berarti kita tidak bisa bergerak. ”Kalau tidak melakukan sesuatu itu pun melawan takdir. Makanya saya sekarang tetap edan, nulis puisi dan pentas meski untuk nothing. Kita pentas setelah itu dilupakan, pentas lagi lalu dilupakan karena terlalu banyak informasi berseliweran di jagat digital.”
Sesempit apa pun, kata Genthong, ruang berkesenian yang tersedia mesti dimanfaatkan. Para seniman pada akhirnya harus juga mempelajari medium digital. ”Kalau tidak jadi online sekarang mau jadi apaan? Sekarang masih ada generasi penonton yang mau datang dan menonton teater (secara langsung). Tapi sepuluh tahun ke depan, mereka habis juga. Perlu ada penonton-penonton baru yang dilahirkan lagi. Dan mereka mediumnya sudah online.”
”Teater yang bisa bertahan, teater yang bisa beradaptasi dengan teknologi dan kualitas penonton yang baru, kualitas interest, pengalaman, dan pengetahuan mereka. Zaman dulu drama 3,5 jam ditungguin penonton sampai habis. Sekarang paling lama 2 jam. Itu saja sudah susah (gaet penontonnya).”
Ia senang sekali mendengar munculnya kelompok-kelompok teater dari komunitas. ”Ïtu bagus. Sekarang teater seperti itu saja, yang muncul dari komunitas, pentas di komunitas, penontonnya komunitas, ukurannya pun seperti itu,” tegasnya.
Genthong Hariono Seloali
Lahir: Wates, DIY, 8 Januari 1945
Pendidikan:
- Sekolah Seni Rupa Indonesia
- Akademie der bildenden Kunste Muenchen, Jerman
Pementasan antara lain:
- Bersama Teater Kristen: Professor Tarranne (1965), Bodas De Sangre dan Perkawinan Berdarah (1967), Perang Troya Tidak Akan Meletus (1968)
- Bersama Studi Arena Katolik: Hamlet (1968)
Bersama Teater Tikar: Sebuah Jalan ke Kutub dan Ributnya Pondok Sunyi (1978)
- Kau Bakar Shinta Isterimu, Aku (2020)
Karya: setumpuk naskah drama, novel, dan puisi