Figur Djoko Pekik Bicara
“Melukis itu bicara kepada orang lain, bicara kepada siapa saja, bicara kepada publik,” ujar Djoko Pekik, seraya mengungkap keresahan akan banyaknya pameran lukisan yang tidak hendak berbicara apa-apa.
Esensi melukis itu bicara. Bisa bicara soal kebaikan, bicara keadilan, sampai bisa bicara tentang revolusi yang sangat-sangatlah belum selesai. Itulah pendapat Djoko Pekik (85), maestro pelukis yang berfalsafah Jawa sluman slumun slamet dalam membalut bicara melalui lukisan.
Sluman slumun slamet ini seperti kiasan bisa bebas bergerak di mana saja. Ada hal terpenting yakni menghargai keselamatan atau hidup. Dengan selamat atau tetap hidup, bisa memberi manfaat sebaik-baiknya bagi orang banyak.
Di hari Kamis (3/3/2022) pagi menjelang siang itu Djoko Pekik sudah menanti Kompas di kediamannya, di Bantul, Yogyakarta. Ia duduk di serambi depan pintu rumah, lalu melambaikan tangan. Djoko Pekik terlihat gembira. Ia terlihat begitu antusias.
Ia berada di lantai dua. Ia meminta salah satu cucunya untuk memandu turun ke ruang lukisan di lantai satu. Djoko Pekik berjalan tertatih, tetapi raut mukanya penuh semangat. Ketika nyaris menghabiskan anak tangga paling bawah, Djoko Pekik menyinggung seniman Srihadi Soedarsono (1931-2022) yang sudah berpulang pekan lalu.
Seraya menghabiskan sisa anak tangga, Djoko Pekik terus bercerita tentang orang-orang yang begitu menyukai lukisan yang dibuat orang-orang berusia senja seperti dirinya. Akan tetapi, mereka tidak mau merasakan betapa tidak mudah untuk melukis dan menjalani masa-masa tua seperti dirinya.
Djoko Pekik segera mempersilakan duduk. Sesekali ia mengusap kuncir rambutnya yang dikepang kecil di bagian belakang. Djoko Pekik menyimak takzim sebuah pertanyaan awal yang kemudian menumbuhkan pernyataannya tentang melukis itu sama halnya dengan bicara.
“Melukis itu bicara kepada orang lain, bicara kepada siapa saja, bicara kepada publik,” ujar Djoko Pekik, seraya mengungkap keresahan akan banyaknya pameran lukisan yang tidak hendak berbicara apa-apa.
Djoko Pekik tidak lama lagi hendak memamerkan 25 lukisan terbaru selama masa pandemi Covid 19 di Bentara Budaya Yogyakarta. Sekaligus ia hendak meluncurkan buku terbarunya yang diberi sampul lukisan berjudul, Keretaku Tak Berhenti Lama.
Djoko Pekik menuturkan pilihan lukisannya itu. Kereta dijalankan masinis yang juga seorang buruh. Suatu Ketika masinis menjumpai buruh-buruh lain yang hendak pulang, tetapi kesulitan mendapat angkutan. Masinis menghentikan kereta supaya buruh-buruh itu bisa menumpang, tetapi kereta tidak bisa berhenti lama.
“Itulah solidaritas. Lewat lukisan ini saya bicara soal solidaritas,” tutur Djoko Pekik, yang juga lantas berbicara panjang lebar tentang lima sila di dalam Pancasila, jika diperas menjadi satu nilai yaitu gotong-royong.
Di dalam gotong-royong dibangun solidaritas. Djoko Pekik mengingatkan, gotong-royong atau solidaritas jika tidak dipupuk dan terus dipertahankan maka akan hilang.
Pandemi
Djoko Pekik tidak menginginkan gotong-royong atau solidaritas bangsa memudar. Dari sebanyak 25 lukisan terbaru yang dikerjakan selama masa pandemi, Djoko Pekik ingin bicara tentang dua hal, satu di antaranya tentang solidaritas.
“Waktu itu beberapa bulan setelah pandemi Covid 19, dengan mobil salah satu anak mengantar saya berkeliling kota Yogya. Sewaktu di Jalan Sudirman, saya melihat ada orang kaya dengan mobil pikap membagikan banyak sembako kepada masyarakat,” ujar Djoko Pekik, seraya mengimbuhkan, solidaritas bangsa ini sesungguhnya masih kuat.
Peristiwa itu direkam dan dijadikan sebuah lukisan besar berjudul, "Corona". Ia melukis sebuah mobil bertuliskan “Corona” dengan bak terbuka mengangkut tumpukan kemasan sembako yang dinantikan orang banyak. Orang-orang pun mengantre dengan rapi. Orang banyak itu mengenakan ikat kepala merah putih.
Djoko Pekik menebar gairah optimistik. Solidaritas masih memiliki nyawa di Tanah Air. Tema berikutnya juga tidak jauh-jauh dari semangat itu, meski sedikit terasa sebagai utopia.
“Ini lukisan pantai Parangtritis dengan jalan tol lingkar selatan,” ujar Djoko Pekik, seraya menunjukkan lukisan bentang alam pesisir dengan horison di bagian atas berupa garis pantai.
Djoko Pekik melukis bebukitan. Di situ ia menonjolkan bentuk jalan dan ia menyebutnya sebagai Jalan Tol Lintas Selatan Jawa. Djoko Pekik melalui lukisan ini ingin berbicara tentang pentingnya membuat akses yang baik berupa jalan tol di daerah pesisir selatan Pulau Jawa. Hal ini tentu akan berdampak baik bagi perekonomian masyarakat.
“Pantai selatan Jawa sangat indah. Bagus sekali, jika dibuka jalan tol untuk menjadikan tempat-tempat wisata berkembang di pantai selatan,” kata Djoko Pekik.
Djoko Pekik lantas bertutur tentang riwayat pantai Parangtritis di Yogyakarta di kala belum ada jembatan Kali Opak. Kala itu masyarakat sungguh merasa sulit untuk menjangkau Parangtritis. Kemudian pemerintah membangun jembatan dan jalan aspal bagus menuju pantai Parangtritis. Sekarang Parangtritis memberi dampak ekonomi masyarakat sebagai tujuan wisata menarik.
“Ketika itu listrik juga belum ada, sebelum jembatan dibangun. Di sana banyak gua alam yang digunakan untuk bertapa. Suasana alamnya sangat mendukung,” kenang Djoko Pekik.
Apakah Djoko Pekik pernah ikut bertapa di sana? Dengan pertanyaan ini, Djoko Pekik ternyata menyimak dengan baik. Ia menjawab dengan penuh kesabaran, lantas bercerita tentang keluarga dan peristiwa di masa lalu.
Djoko Pekik dengan isteri, delapan anaknya (empat laki-laki dan empat perempuan), serta 19 cucu, kesemuanya memeluk agama Katolik. Suatu ketika Djoko Pekik beserta isteri dan anak-anaknya menghadiri suatu acara peresmian di Gereja Kemetiran, Yogyakarta.
Ia duduk di depan orang yang ternyata seorang tukang cukur. Selepas acara itu, Djoko Pekik mendatangi orang tersebut dan bercukur. Perbincangan di antara mereka kembali berkait tentang peristiwa di tempat ibadah. Tukang cukur menuturkan, datang beribadah ke gereja untuk berdoa supaya bisa menghadapi kesulitan hidup. Lantas ia bertanya hal sama kepada Djoko Pekik.
“Sejak dulu, sejak di Sanggar Bumi Tarung, ketika dihadapkan pada kesulitan hidup, maka kami harus benar-benar memusatkan pikiran, berkonsentrasi agar bisa keluar dari kesulitan itu. Saya tidak pernah ingin bertapa atau datang ke rumah ibadah,” ujar Djoko Pekik.
Celeng
Djoko Pekik lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Januari 1937. Di masa itu Purwodadi sebagai kawasan berhutan lebat, sehingga di masa kecil hingga remaja Djoko Pekik kerap menjumpai masyarakatnya berburu celeng di hutan.
Lukisan tentang celeng kemudian pernah melambungkan popularitas Djoko Pekik. Ketika Djoko Pekik menginjak dewasa, ia menempuh studi seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta antara tahun 1956–1961. Lembaga ini cikal bakal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Djoko Pekik pada 1996 pernah menghadiri undangan Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk merencanakan suatu pameran lukisan. Sri Sultan waktu itu membebaskan apa pun tema lukisan, dan sepenuhnya bertanggung jawab atas karya-karya seniman.
“Waktu itu saya menampilkan lukisan celeng hitam besar dengan enam susunya. Saya memberi judul, "Susu Raja Celeng,” ujar Djoko Pekik.
Ketika pameran dibuka, Menteri Penerangan Harmoko hadir. Harmoko mengungkapkan, mengapa “celeng” bisa masuk Keraton Yogyakarta. Djoko Pekik pun ditanya. Ia menjelaskan dengan baik kepada Harmoko.
Djoko Pekik menerangkan, celeng banyak ditemui di tanah kelahirannya di Purwodadi. Djoko Pekik menyinggung pula metafora celeng itu simbol kerakusan dan keserakahan. Celeng seperti tak kenyang-kenyang memakan apa saja.
Dengan lukisan "Susu Raja Celeng" itu, Djoko Pekik menyampaikan, apakah rajanya mau minum susu raja celeng dan menjadi seperti raja celeng itu. Tentu tidak, bukan?
Lukisan Djoko Pekik tentang celeng terus berkembang. Hingga suatu ketika, Djoko Pekik menampilkan satu lukisan tentang celeng berjudul, "Berburu Celeng". Lukisan ini ditampilkan dalam satu hari pameran, 17 Agustus 1998, di Bentara Budaya Yogyakarta.
Lukisan satu-satunya di pameran itu lantas dibeli seorang kolektor dengan harga fantastis, Rp 1 miliar. Ini mengguncang dan segera menaikkan pamor Djoko Pekik.
“Biarlah, banyak orang menafsir celeng itu sebagai simbol Presiden Suharto yang lengser pada 1998. Tetapi, saya tidak ingin menyampaikan hal seperti itu. Saya tetap melukis celeng seperti yang pernah saya lihat di Purwodadi,” ujar Djoko Pekik.
Djoko Pekik menuturkan pula nostalgia sebagai seniman sekaligus demonstran di sekitar tahun 1963, sewaktu tinggal di Gang Kartini, Gunung Sahari, Jakarta. Ia mengisahkan kenangan demonstrasi dan juga keikutsertaan dalam suatu pameran lukisan bertemakan, Ganyang Malaysia, sebelum 1965 di Jakarta.
Ia menampilkan lukisan yang bertema angin barat berembus sangat kuat hingga mengeringkan Laut Jawa sampai ikan-ikannya mati. Ini sebuah metafora tentang dunia Barat yang hendak dilawan Presiden Sukarno waktu itu sangatlah kuat, sedangkan rakyat sendiri banyak yang mati kelaparan.
Djoko Pekik kemudian juga membeberkan lukisan-lukisan yang ada di ruang itu. Termasuk lukisan berjudul "Sirkus September", berukuran paling besar. Djoko Pekik melalui lukisan itu bicara soal tragedi 1965 adalah seperti peristiwa seperti sirkus, peristiwa adu domba sesama anak bangsa.
Djoko Pekik tidak meratapi masa lalu. Djoko Pekik bicara lantang tentang kebangsaan, tentang kemanusiaan, tentang harapan masa depan yang lebih baik.
Djoko Pekik
Lahir: Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Januari 1937
Pendidikan: Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1956–1961.
Organisasi: Sanggar Bumi Tarung