Supardi mendirikan wadah kreativitas bagi anak-anak di kampungnya, Desa Taman Sari, Lombok Barat. Sanggar Bale Ade dirintisnya sejak 2013.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·6 menit baca
Supardi (35) merintis Sanggar Bale Ade di Dusun Medas Bedugul, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat pada 2013. Hingga sekarang, ia konsisten menjadikan Sanggar Bale Ade sebagai wadah bagi anak-anak desa dan siapa pun untuk mengasah kreativitas di bidang seni dan literasi. Saat ditemui di Sanggar Bale Ade, Jumat (16/9/2022), Supardi menceritakan, Sanggar Bale Ade awalnya bernama Sanggar Kampung Kertas. ”Saat awal merintis sanggar, fasilitas kurang. Jadi kalau ketemu artikel bagus di internet, bahan bacaan anak, termasuk kutipan, saya cetak. Lalu dibuatkan tempat dan digantung atau ditempel di pagar bambu di sanggar,” tutur Supardi.
Nama Bale Ade baru digunakan pada 2017. Perubahan nama untuk menghindari kesalahpahaman yang menganggap nama Kampung Kertas sebagai kampung wisata dengan berbagai karya dari kertas.
Supardi merintis Bale Ade sembilan tahun yang lalu saat baru pulang dari Nusa Tenggara Timur seusai mengikuti program Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (PSP3). Dia bersemangat membuat kegiatan untuk menumbuhkan minat literasi di kalangan anak-anak.
”Saat itu, saya melihat gap antara fasilitas pendidikan di kota dan desa, terutama untuk kegiatan di luar sekolah. Contohnya tempat les bahasa Inggris. Di kampung saya, bahkan di Desa Taman Sari, bisa dibilang tidak ada,” kata Supardi.
Alasan lain, kata Supardi, penduduk desa semakin padat. Situasi ini membuat tempat bermain anak-anak semakin berkurang. Maka, ia sejak awal merancang Sanggar Bale Ade jadi tempat berkumpul dan bermain bersama untuk anak-anak di kampung. ”Kalau bermain sendiri di rumah, saya khawatir mereka tumbuh menjadi anak-anak individualis,” ujarnya.
Bermodal uang saku dari program PSP3, ia memulai kegiatan sanggar dengan sederhana. Dana dipakai untuk membeli perlengkapan mengajar seperti bahan bacaan, papan tulis, dan spidol. Kegiatan dipusatkan di rumah Supardi dengan memanfaatkan ruangan kosong. Ia memilih memberi les bahasa Inggris gratis. Selain itu, ia juga membuka layanan perpustakaan.
Untuk memulai kegiatan itu, Supardi berkeliling ke rumah-rumah warga untuk mengajak anak-anak ikut belajar di sanggarnya. ”Saya menjadi bagian dari mereka. Ikut bermain, lalu satu per satu mengajak mereka belajar bareng. Dari satu dua orang, kemudian bertambah. Apalagi anak-anak ini kan biasanya saling mengajak,” tambah Supardi.
Sepanjang 2013-2014, ia menggerakkan sanggarnya sendirian. Saat itu, dia masih bekerja di perkebunan kapas di Sumbawa. Setiap minggu, dia pulang ke Lombok untuk menggelar kegiatan sanggar. Pada 2015, mulai banyak sukarelawan yang terlibat. Jumlahnya terus bertambah. Mereka terdiri dari siswa SMA dan warga dari luar kampung.
”Setelah jadi Bale Ade, lebih banyak kolaborasi dengan komunitas, baik di Lombok maupun luar Lombok, misalnya komunitas literasi. Kami juga berkolaborasi dengan mahasiswa perguruan tinggi di NTB yang datang ke sini sebagai sukarelawan,” kata Supardi.
Seiring bertambahnya orang yang terlibat, kegiatan di Bale Ade juga kian banyak. Kegiatan baru itu, antara lain, belajar gratis matematika dan membuat prakarya mulai hiasan dinding, celengan, hingga sablon pada Rabu Kreatif.
Tiga bulan sekali, digelar kegiatan Panggung Kita yang terdiri dari pentas monolog, teatrikal puisi, dan menari. Kegiatan Panggung Kita dibuat untuk mengubah cara pandang anak-anak di kampungnya tentang panggung. ”Kami ingin mereka melihat panggung bukan hanya untuk orang terampil saja, tetapi siapa pun bisa ikut tampil, termasuk mereka (anak-anak kampung). Awalnya mereka takut dan malu-malu, sekarang mereka sudah berani tampil.”
Kegiatan lainnya, Ransel Pustaka setiap satu kali seminggu. Kegiatan berlangsung di kawasan Bukit Cacing yang juga masih di Desa Taman Sari. Lewat Ransel Pustaka, buku-buku yang didapatkan dari para donatur dibawa untuk dibaca sekitar 25 anak-anak di Bukit Cacing.
Jaringan
Jaringan menjadi modal besar dalam menjalankan Sanggar Bale Ade. Jaringan itu, menurut Supardi, telah ia bangun sejak aktif di organisasi kampus. ”Organisasi kampus mengajarkan cara berkomunikasi dengan masyarakat, komunitas, hingga terbentuk jaringan seperti sekarang. Sekarang mereka ada di mana-mana, berbagai profesi, tetapi ternyata secara sukarela mau ikut terlibat,” kata Supardi.
Kolaborasi dengan banyak pihak juga dilakukan untuk menjalankan beragam kegiatan. Kolaborasi itu memungkinan kegiatan di Bale Ade tetap berjalan. Saat Supardi yang sehari-hari sibuk sebagai teknisi AC tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka anggota komunitas lain yang mengisi.
”Agar tetap berjalan, kami banyak berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lain. Apalagi sifatnya sukarela. Sukarelawan ada yang datang dan pergi,” kata Supardi.Pada saat tertentu, saat ada kegiataan di sanggar, justru sukarelawannya tidak ada. Tetapi, Supardi tidak ingin kekosongan sukarelawan membuat kegiatan Sanggar Ade terhenti. ”Saya sering menjalankan Ransel Pustaka sendiri. Tidak harus menunggu ada tim untuk jalan,” kata Supardi.
Meski sulit, Supardi berusaha menjaga sanggar konsisten menggelar acara. Konsistensi itu yang juga membuat kegiatan sanggar tetap berjalan saat gempa bumi Lombok pada 2018. Gempa bumi itu menghancurkan rumah dan juga bangunan sanggar.
”Kegiatan di Bale Ade kami hentikan karena bangunan hancur. Tetapi kami pindah lokasi ke area pengungsian. Di sana, kami tetap menggelar kegiatan sebagai trauma healing bagi anak-anak, mulai dari bermain, melukis, menyablon, dan kegiatan-kegiatan yang melibatkan fisik,” tutur Supriadi.
Kehadiran sanggar membawa banyak perubahan bagi anak-anak di kampung Supardi. Anak-anak, yang tadinya pendiam atau takut pada orang baru, pelan-pelan menjadi percaya diri. Mereka bahkan berani tampil di depan banyak orang. Rasa percaya diri yang mereka peroleh di sanggar lantas dibawa ke sekolah.
”Mereka senang bertemu orang baru. Pola pikir mereka berkembang. Misalnya saat melihat banyak mahasiswa yang datang dan terlibat di sanggar, anak-anak jadi bertekad untuk kuliah,” kata Supardi.
Supardi mengakui bahwa banyak kendala yang dihadapi, terutama bagaimana menyediakan bacaan untuk anak-anak. Peralatan yang dimiliki sanggar juga terbatas. Supardi tidak jarang merogoh kantong sendiri untuk membiaya sanggar.
”Tidak apa-apa mengeluarkan uang sendiri. Saya juga senang melihat anak-anak bisa berkumpul bersama. Itu juga sudah merupakan penghargaan yang luar biasa,” kata laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai teknisi AC. Ia biasa menyisihkan sebagian upah sebagai teknisi untuk kegiatan sanggar.
Meski tidak masalah mengeluarkan uang sendiri, Supardi berharap, ke depan bisa mencari sumber pendanaan sendiri untuk Sanggar Bale Ade. Misalnya usaha produk-produk kerajinan atau lainnya yang selama ini dipelajari di Bale Ade.
Sejalan dengan itu, ia ingin program yang ada terus berjalan dan berkembang. Misalnya anak-anak yang suka menari, mereka punya banyak gurunya. Juga semakin banyak kegiatan prakarya seperti hiasan dinding, pengolahan limbah termasuk kayu, juga les-les musik.
Supardi tidak akan pernah puas. Ia akan terus mengembangkan Sanggar Bale Ade.
Supardi
Lahir: Medas Bedugul, 14 Desember 1986
Pendidikan terakhir: S-1 Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguaran dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram