Samidjan, Mencintai Lingkungan lewat Wayang Limbah
Dengan wayang limbah plastik, Samidjan di masa tuanya mencipta bayang-bayang kehidupan agar kita peduli terhadap limbah plastik.
Ketelatenan Samidjan (69) membuat wayang dari sampah plastik mengantarkan dirinya meraih berbagai penghargaan. Saat disarankan untuk mematenkan karyanya, Samidjan menolak dengan harapan lebih banyak orang mengolah limbah plastik untuk menjadi wayang atau benda lain yang lebih berguna.
Tidaklah salah jika anugerah Kalpataru Kebersihan Kota Yogyakarta diberikan kepada Samidjan pada 2018. Meski Samidjan masih merasa sangsi, karena rumahnya sendiri tidak pernah bersih. Di situ penuh limbah plastik berserak.
”Biarpun rumah saya tidak bersih, saya menerima Kalpataru Kebersihan. Ini sebenarnya tidak sesuai, kan? Itu karena saya selalu membawa pulang limbah plastik dari mana saja, termasuk dari Kali Buntung yang ada di dekat rumah,” ujar Samidjan, Sabtu (24/9/2022), di rumahnya, Kampung Karangwaru Lor, Tegalrejo, Yogyakarta, DI Yogyakarta.
Samidjan juga menolak tawaran ketika diusulkan maju sebagai kandidat penerima anugerah Kalpataru di tingkat nasional. Baginya, itu sudah berbeda dengan tujuan hidupnya.
Di tingkat DIY pada tahun yang sama, 2018, Samidjan diberi anugerah pemenang III untuk seleksi Kalpataru kategori Perintis Lingkungan. Akan tetapi, sekali lagi, perolehan penghargaan bukan tujuan hidup Samidjan. Ia mengolah limbah plastik bukan semata demi mengejar penghargaan.
Ada keresahan selalu mengendap di dalam benaknya. Wayang sebagai warisan berharga harus terus dihidupi. Limbah plastik di tanah harus dikurangi.
Pernah suatu ketika ada tetangga membongkar atap rumahnya yang terbuat dari lembaran plastik. Atap bekas itu dibuang di lingkungan sekitarnya. Samidjan memungut dan membawanya pulang.
Limbah atap rumah itu segera dibuat menjadi aneka wayang. Suatu ketika tetangga yang membuang bekas atapnya itu melihat wayang-wayang Samidjan. Ia tertarik dan bersedia membelinya.
Samidjan kemudian menyampaikan bahwa wayang-wayang itu terbuat dari bekas atap si tetangga yang dibongkar dan dibuang. Tetangganya pun makin kagum dengan wayang-wayang Samidjan, lalu mengoleksinya.
Samidjan berusaha mendekatkan wayang dengan kehidupan sehari-hari warga. Selain estetik, wayang sarat makna dan kisah. Akan tetapi, Samidjan resah. Sekarang ini kegemaran warga terhadap wayang kian meredup. Samidjan berusaha mengobati keresahannya.
Tidak hanya dengan wayang klasik, Samidjan ternyata juga menghidupi wayang secara kontekstual. Ia belum lama ini membuat wayang transjender untuk suatu pementasan di pondok pesantren waria di Kotagede, Yogyakarta. Lalu, wayang ketoprak dengan tokoh-tokoh Kerajaan Mataram Islam.
Wayang pangan dengan tokoh Dewi Sri dan kehidupan narasi dunia fabel juga dibuatnya. Wayang ramah disabilitas pun direngkuhnya. Wayang ramah disabilitas, salah satunya, digunakan untuk memudahkan penyandang gangguan netra.
Samidjan mencantumkan nama-nama karakter wayang dengan huruf braille. Ia dibantu menuliskan huruf braille oleh salah seorang anak asuhnya yang juga menyandang gangguan netra sejak lahir.
Samidjan punya keteguhan menghidupi warisan wayang. Ia berupaya keras menarik minat warga. Baginya, wayang bukan suatu kekunoan. Wayang memiliki sifat terbuka dan kekinian. Wayang masih memberi peluang untuk dikembangkan ke mana saja sesuai konteks zaman.
Kekuatan dongeng
Sekarang ini mungkin mulai jarang orangtua menyampaikan dongeng pengantar tidur bagi anak-anaknya. Samidjan beruntung. Di kala masih kecil, ia selalu didongengi ibunya sebagai pengantar tidur.
Hampir selalu kisah di dalam dongeng itu tentang wayang klasik purwa. Keluarga Samidjan memang erat dengan wayang. Ada seorang paman dari keluarga ibu Samidjan yang menjadi seorang dalang wayang kulit.
”Ibu mendongeng sampai saya tertidur. Dongeng tentang wayang itu membuat imajinasi saya seperti menghadapi pakeliran wayang sesungguhnya,” ujar Samidjan yang memiliki tiga anak tersebut.
Dari dongeng ibunya, tokoh wayang purwa yang paling menancap di pikirannya adalah Gatotkaca. Ibunya bercerita tentang karakter Gatotkaca yang memiliki otot kawat, balung (tulang) besi. Selain kuat, Gatotkaca juga bisa terbang.
”Kisah itu membuat saya seolah-olah seperti Gatotkaca. Saya sering berimajinasi menjadi Gatotkaca yang kuat dan bisa terbang,” kata Samidjan dengan penuh semangat dan mata berbinar.
Kesuburan rasa cinta Samidjan terhadap wayang dipupuk sejak dini. Samidjan betul-betul meresapi wayang. Ia lahir dan tumbuh hingga remaja di Semanu, Gunungkidul, DIY. Di waktu tertentu, setiap kali ada pergelaran wayang kulit di sekitar tempat tinggalnya selalu dilihatnya.
Di masa kecil, Samidjan senang pula membentuk tokoh-tokoh wayang kesukaan dengan bahan sekenanya. Samidjan membentuk wayang dari daun kluwih yang lebar atau bisa dari lembaran apa saja. Kemudian digapitnya dengan bilah bambu dan menjadi wayang yang siap dimainkan.
Ia teringat saat kelas III SD pernah membuat wayang dari kertas karton bekas bungkus susu. Sekolahnya saat itu mendapat bantuan susu dari organisasi di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Samidjan memunguti bungkus-bungkus susu yang terbuat dari kertas karton itu, lalu dibentuknya menjadi wayang.
”Saya senang sekali ketika ada teman-teman meminta saya untuk membuatkan wayang dari kertas karton itu,” ujar Samidjan, yang menamatkan sekolah dasarnya pada 1965.
Dari SD, ia tidak melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Salah satu kendalanya adalah tidak ada SMP yang mudah dijangkau dari rumah. Masa-masa itu, jumlah SD di kampungnya pun masih terbatas.
Samidjan mengingat, dari 27 dusun di satu kelurahan atau desanya, hanya ada satu SD. Kalau mau melanjutkan ke jenjang SMP, ia harus menempuh jarak berkilo-kilometer, minimal ke kota kecamatan terdekat. Setelah lulus SD, Samidjan menganggur.
Berselang empat tahun kemudian, Samidjan memutuskan pergi ke Kota Yogyakarta untuk mencari pekerjaan. Di usia sekitar 16 tahun itu, Samidjan berhasil memperoleh pekerjaan di sebuah toko emas di Kota Yogyakarta.
Samidjan berbekal keterampilan membentuk wayang. Ia kemudian dipercaya untuk bekerja merancang aneka perhiasan di toko emas tadi. Mulai dari merancang hiasan peniti, bros, tusuk konde, cincin, dan pendok (selubung warangka) keris.
Samidjan menekuni pekerjaannya itu sampai sekarang, meskipun sudah sekitar 10 tahun terakhir memasuki masa pensiun. Sesekali saja Samidjan masih diminta membuat rancangan untuk perhiasan emas. Membuat wayang limbah kini melengkapi kesibukan sehari-hari Samidjan.
Limbah menambah
Soal pilihan istilah wayang limbah, Samidjan bermain rima kata. Limbah kependekan dari kata welinge simbah (bahasa Jawa: pesan kakek/leluhur). Limbah menambah pendapatan, asalkan limbah yang dianggap sudah tidak lagi bermanfaat itu ditambahi suatu nilai yang bisa membuatnya lebih berharga.
”Ini yang saya kenang semenjak saya kecil. Simbah saya berpesan seperti itu, agar saya bisa memanfaatkan segala sesuatu yang dianggap sudah tidak bermanfaat menjadi bermanfaat kembali. Caranya, harus ditambahi dengan suatu nilai tertentu,” ujar Samidjan, yang begitu rela dan sabar berbincang meski masih harus menyelesaikan pengecatan beberapa wayang yang akan diambil pemesan keesokan harinya.
Samidjan sebenarnya mulai mengerjakan wayang limbah selagi masih aktif bekerja di toko perhiasan emas pada tahun 2000–2001. Dasar kepeduliannya adalah makin banyaknya limbah plastik yang dibiarkan begitu saja.
”Pada masa-masa awal membuat wayang limbah plastik, saya banyak mengumpulkan limbah plastik keresek. Plastik-plastik keresek itu kemudian saya panasi dan pres, kemudian dibentuk menjadi lembaran,” katanya.
Waktu berselang kemudian, banyak pesanan mengalir. Mengepres plastik keresek banyak memakan waktu. Samidjan kemudian beralih pada bahan limbah plastik yang sudah berbentuk lembaran. Tidak jarang ia menjaringnya dari Kali Buntung di dekat rumahnya.
Beberapa tahun terakhir muncul pengepul limbah plastik di dekat rumahnya. Akhirnya kebutuhan limbah plastik lembaran banyak tersedia dari pengepul itu. Samidjan menjadi bertambah semangat.
Suatu ketika ia diminta memanggungkan wayang limbahnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia pun mendalang di hadapan tamu dari Suriname. Setelah usai, tamu-tamu itu membeli wayang yang dibikinnya.
Suatu ketika pula, anaknya yang sedang kuliah mengajak temannya dari Amerika Serikat. Ternyata orang Amerika itu tertarik pula dan mau membeli wayang limbah Samidjan.
Dengan wayang limbah plastik, Samidjan di masa tuanya mencipta bayang-bayang kehidupan agar kita peduli terhadap limbah plastik. Mau peduli terhadap kebersihan lingkungan dan membebaskan diri dari beban pencemaran limbah plastik.
Samidjan mewayang, menjadi bayang-bayang yang selalu mengingatkan kita.
Biodata:
Nama: Samidjan
Lahir: Semanu, Gunungkidul, DIY, 6 April 1953
Pendidikan: Sekolah dasar (selesai 1965)
Pekerjaan:
- Perancang perhiasan emas
- Pembuat wayang limbah plastik
Penghargaan:
- Penghargaan Kalpataru Kebersihan tingkat Kota Yogyakarta pada 2018
- Pemenang III Kalpataru untuk kategori Perintis Lingkungan tingkat DIY