Tsunami yang dipicu letusan dahsyat pulau gunung api Hunga Tonga di Pasifik menimbulkan kerusakan masif dengan korban jiwa minim. Ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia yang juga memiliki deretan pulau gunung api.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Tsunami yang dipicu erupsi pulau gunung api Hunga Tonga-Hunga Ha’apai di Pasifik menjadi salah satu yang terkuat setelah tragedi Krakatau di Selat Sunda pada 1883. Sekalipun kerusakan akibat erupsi dan tsunami Tonga ini sangat masif, korban jiwa relatif kecil, sehingga perlu jadi pelajaran penting bagi Indonesia yang memiliki deretan pulau gunung api.
Hunga Tonga-Hunga Ha’apai yang berada di Kerajaan Tonga, Pasifik Selatan, meletus pada Sabtu (15/1/2022) pagi. Menurut National Aeronautics and Space Administration (NASA), letusan ini menembakkan abu dan gas hingga 32 kilometer (km) ke atmosfer, merupakan yang terkuat setelah letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.
Kekuatan ledakan setara dengan 10 megaton TNT atau 500 kali dari bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima. Suara ledakannya terdengar di beberapa bagian Selandia Baru, lebih dari 2.000 kilometer jauhnya. Satelit juga merekam, gelombang kejut yang dipicu ledakan ini menjalar dengan kecepatan mendekati suara, mengelilingi dunia, hingga Afrika yang merupakan antipode dari Tonga.
Tak berselang lama, tsunami setinggi 1,2 meter menghantam pesisir Tongatapu, ibu kota Nuku’alofa yang berjarak 64 kilometer dari pusat erupsi dan dihuni sekitar 105.000 jiwa. Di beberapa bagian negara kepulauan ini, tsunami mencapai 15 meter, termasuk di Pulau Mangga dan Fonoifua.
Gelombang tsunami melintasi lautan luas ke bagian-bagian Barat Laut Pasifik, menyebabkan gelombang tsunami di Alaska, Oregon, Negara Bagian Washington, dan British Columbia, dan menenggelamkan dua orang di Peru.
Tsunami itu juga terdeteksi di Indonesia oleh perangkat ukur murah untuk muka air laut (PUMMA). Alat ini dipasang sejumlah peneliti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) setelah tsunami Anak Krakatau 2018 yang tak terdeteksi sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS).
”PUMMA berhasil mendeteksi tsunami di Pelabuhan Perikanan Prigi (Jawa Timur) pada tanggal 15 Januari 2022 pukul 13.13 UTC (20.14 WIB) atau kurang dari sembilan jam pasca-letusan pulau gunung api di Tonga, persisnya 8 jam 47 menit,” kata Semeidi Husrin, peneliti tsunami KKP dan anggota IATsI (Kompas, Selasa (18/1/2022).
Tinggi tsunami yang terekam di Prigi itu berkisar 20-30 sentimeter dan terus berosilasi hingga Senin (17/1/2022) dini hari. Tsunami juga tertangkap sensor PUMMA lainnya di Tua Pejat, Kepulauan Mentawai, yang berjarak 9.517 kilometer dari sumber erupsi.
Hingga berhari-hari, situasi di Tonga sulit diketahui karena terputusnya komunikasi. Abu telah menutupi pulau-pulau Tonga, termasuk landasan pacu bandara dan dermaga. Pada Kamis (20/1/2022), Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memperkirakan, 84.000 orang, lebih dari 80 persen populasi Kerajaan Pasifik Selatan, telah terdampak bencana tersebut.
Namun, ledakan memekakkan telinga yang mengikuti letusan dahsyat gunung api ini telah bertindak seperti bel peringatan bagi penduduk untuk melarikan diri ke pedalaman. Respons ini mengurangi jumlah korban tewas saat tsunami menghantam garis pantai tidak lama setelah erupsi.
Selain itu, para pejabat Tonga mengatakan, latihan menghadapi tsunami di negara Pasifik itu juga berperan dalam menyelamatkan nyawa. Sekalipun kepulauan itu mengalami kerusakan properti yang parah, dengan sebagian besar rumah di beberapa pulau hancur total, menurut rilis dari Pemerintah Tonga pada 18 Januari 2022, jumlah korban tewas yang dikonfirmasi tiga orang, satu di antaranya warga Inggris. Data pada 25 Januari 2022, korban tewas total empat orang.
Pengurangan risiko
Fenomena di Tonga ini memberi pelajaran penting tentang dua hal, yaitu dari segi bahaya tsunami dari gunung api dan bagaimana mengurangi risiko bencana. Data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), dari 140.000 korban jiwa akibat erupsi gunung api di Indonesia dalam sejarah modern, sebanyak 28 persen di antaranya disebabkan tsunami setelah erupsi.
Fenomena di Tonga ini memberi pelajaran penting tentang dua hal, yaitu dari segi bahaya tsunami dari gunung api dan bagaimana mengurangi risiko bencana.
Kita tentu ingat dengan Gunung Krakatau di Selat Sunda, yang letusannya pada 1883 memicu tsunami hingga 40 meter di sepanjang pantai barat Banten dan pantai selatan Lampung serta menewaskan 36.000 orang. Sementara erupsi dan runtuhnya tubuh Anak Krakatau pada Desember 2018 telah memicu tsunami hingga 10 meter yang menewaskan lebih dari 400 orang, jauh lebih banyak dibandingkan erupsi Tonga kali ini.
Indonesia tidak hanya memiliki Krakatau. Setidaknya ada 11 gunung api lain yang erupsinya tercatat pernah memicu tsunami, yaitu Rinjani (atau Samalas), Tambora, Rokatenda, Ile Werung-Hobal, Teon, Kie Besi, Gamalama, Gamkonora, Awu, Banua Wuhu, dan Ruang. Sebagian besar berupa pulau gunung api sehingga bisa terpantau aktivitasnya.
Namun, ada juga yang berupa gunung api bawah laut yang sulit diketahui kondisinya, yaitu Sangir dan Banua Wuhu di perairan Kepulauan Sangir, Emperor of China dan Nieuwerkerk di perairan Maluku, serta Yersey dan Hobal di Nusa Tenggara Timur.
Sebagai negara kepulauan yang berada di jalur cincin api, ancaman erupsi dan tsunami dari gunung api, selain dari gempa bumi, akan selalu mengintai. Namun, dari erupsi Hunga Tonga ini kita bisa melihat bahwa evakuasi mandiri yang disiapkan sejak dini bisa menyelamatkan jiwa dari tsunami.
Evakuasi mandiri sebenarnya juga dipraktikkan masyarakat Pulau Simeulue, Aceh, yang menyelamatkan mereka dari tsunami pada 26 Desember 2004. Maka, selain memperkuat peralatan modern, termasuk deteksi tsunami, seperti PUMMA, edukasi dan pelatihan untuk evakuasi mandiri mesti dilakukan di daerah pesisir yang rentan.