Tsunami akibat erupsi Gunung Tonga di Polinesia, Samudra Pasifik, terdeteksi di wilayah Indonesia walaupun skalanya kecil. Tsunami Tonga menjadi alarm untuk Indonesia yang punya banyak pulau gunung api.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tsunami akibat erupsi Gunung Tonga di Polinesia, Samudra Pasifik, ternyata terdeteksi di wilayah Indonesia walaupun skalanya kecil dan tidak memicu kerusakan. Keberadaan tsunami itu terdeteksi oleh Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut atau PUMMA yang dipasang di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa dan pantai barat Sumatera.
”PUMMA dilengkapi dengan sistem peringatan otomatis saat terjadi anomali muka air berhasil mendeteksi gelombang tsunami di Pelabuhan Perikanan Prigi (Jawa Timur) pada 15 Januari 2022 pukul 13.13 UTC (pukul 20.14 WIB) atau kurang dari 9 jam pasca-letusan pulau gunung api di Tonga, persisnya 8 jam 47 menit,”kata Semeidi Husrin, ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Selasa (18/1/2022).
Menurut Semeidi, tinggi tsunami yang tercatat berkisar 20-30 sentimeter (cm) dan terus berosilasi hingga Senin (17/1/2022) dini hari atau sekitar 29 jam kemudian. ”PUMMA di Prigi secara total memberikan peringatan kedatangan tsunami secara otomatis ke e-mail kami sebanyak 36 kali dan berakhir pada 17 Januari 2022 pukul 00.40 WIB,” lanjutnya.
Tsunami yang menjalar di Samudra Hindia ini juga tertangkap oleh sensor PUMMA lain di Palabuhanratu, Jawa Barat, dan di Tua Pejat, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Menurut Semeidi, peringatan kedatangan tsunami ini telah diteruskan ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai otoritas peringatan dini tsunami di Indonesia.
Secara terpisah, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, BMKG tidak mendeteksi keberadaan tsunami dari erupsi Gunung Tonga ini.”Data kita mengacu pada tide gauge dari BIG (Badan Informasi Geospasial) dan tidak ada laporan tsunami. Bahkan stasiun di Biak (Papua) yang paling dekat lokasi juga tidak mendeteksi,” ujarnya.
Tonga berada di negara Polinesia dengan lebih dari 170 pulau Pasifik Selatan, yang dihuni sekitar 100.000 orang. Ini adalah kepulauan terpencil yang terletak sekitar 800 kilometer timur Fiji dan 2.380 kilometer dari Selandia Baru.
Sementara gunung berapi Hunga-Tonga-Hunga-Ha’apai berada sekitar 30 kilometer tenggara Pulau Fonuafo’ou Tonga, yang berada di bawah air di antara dua pulau kecil di ketinggian sekitar 2.000 meter dari dasar laut, dengan sekitar 100 meter terlihat di atas permukaan laut. Letusan dahsyat gunung ini pada Sabtu lalu telah memicu tsunami hingga ke banyak negara.
Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) Gegar S Prasetya mengatakan, sistem PUMMA atau disebut juga Inexpensive Device for Sea Level (IDSL) telah dipasang di delapan lokasi di Indonesia, yaitu di Pulau Sebesi, Marina Jambu, Pangandaran, Pelabuhan Sadeng, Pelabuhan Prigi, Palabuhanratu, Bungus, dan Tua Pejat. ”Alat ini dikembangkan setelah peristiwa tsunami Selat Sunda 2018 yang tidak terdeteksi InaTEWS (sistem peringatan dini tsunami Indonesia) yang berbasiskan kegempaan,” katanya.
Menurut Gegar, sistem peringatan dini tsunami di Indonesia belum diperuntukkan untuk deteksi awal tsunami akibat aktivitas gunung api. Dikhawatirkan jika terjadi lagi tsunami Anak Krakatau dengan penyebab sama seperti 2018, alat yang ada di Selat Sunda belum mampu mendeteksi cepat kejadian tsunami.
Namun, menurut dia, sistem PUMMA yang berbasis pencatatan perubahan muka air laut bisa dipasang di pulau-pulau sekitar Anak Krakatau. Oleh karena itu, alat deteksi tsunami PUMMA yang bisa mengirim data secara otomatis menggunakan jaringan telepon seluler biasa bisa cukup efektif dan murah.”IDSL ini merupakan hasil kerja sama antara Pusat Riset Kelautan-KKP dengan Joint Research Centre of European Commission, Badan Informasi Geospasial, dan IATSI,” ujar Gegar.
Semeidi menambahkan, beroperasinya PUMMA selama tiga tahun dan keberhasilannya dalam mendeteksi tsunami Tonga serta kejadian-kejadian sebelumnya membuktikan kinerja yang sangat baik sebagai alternatif penguatan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia.”Selain itu, IDSL (PUMMA) juga memiliki kelebihan, yaitu harga yang murah, mudah dibuat, mudah dipasang, murah dan mudah dalam perawatan, memanfaatkan jaringan infrastruktur eksisting, melibatkan masyarakat dan dapat diproduksi di Indonesia dan didukung secara internasional,” ucapnya.
Semeidi menyebutkan, satu unit alat ini hanya membutuhkan dana sekitar Rp 40 juta dengan biaya per bulan untuk pulsa sekitar Rp 80.000.”Perawatan yang paling besar dan pernah dikeluarkan adalah mengganti sensor yang rusak karena lapisan garam, harganya sekitar Rp 2 juta,” ujarnya.
Menurut Semeidi, kejadian tsunami akibat letusan pulau gunung api Tonga kembali mengingatkan kita semua akan potensi ancaman yang nyata berupa tsunami dari erupsi Anak Krakatau pada 2018. Seperti tsunami di Selat Sunda, tsunami akibat longsoran bawah laut setelah gempa Palu 2018 dan Maluku Tengah 2021 juga sulit dideteksi dini oleh sistem InaTEWS.
”Walaupun frekuensi kejadian tsunami akibat non-gempa bumi tidak sebanyak akibat gempa bumi, dampak yang ditimbulkan jelas bisa sangat merusak. Apalagi, Indonesia terdiri dari beberapa pulau gunung api dan setidaknya memiliki delapan gunung api bawah laut serta potensi longsoran bawah laut yang belum terpetakan,”katanya. Baca juga: Pascagempa dan Tsunami, Tonga Terputus dari Dunia, 4 WNI Belum Bisa Dikontak
Semeidi menambahkan, hingga saat ini, IDSL sebagian besar dipasang di fasilitas milik KKP, dalam hal ini pelabuhan perikanan yang berada di garis terdepan dalam mendeteksi fenomena tsunami. Dia berharap, ke depan, operasi PUMMA bisa diadopsi secara resmi oleh pemerintah, terutama dalam hal ini BMKG yang menjadi otoritas InaTEWS di Indonesia.