Bencana Tonga di Mata Dunia
Tonga, negara kepulauan yang terletak di barat daya Lautan Pasifik, seakan hilang setelah diterjang tsunami. Kemampuan teknologi dan media sosial membantu publik dunia tetap dapat menjangkau keberadaan Tonga.
Letusan gunung api bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha’apai di negara Tonga menimbulkan gelombang tsunami dan memutus jaringan kabel bawah laut. Terputusnya jaringan komunikasi tersebut membuat Tonga ikut hilang dari “radar” dunia. Namun, dari pemberitaan daring dan percakapan di media sosial, masyarakat dapat terus mengikuti perkembangan bencana di Tonga.
Negara Tonga yang berbentuk kepulauan memiliki 171 pulau dengan total luas wilayah sebesar 747 kilometer persegi. Jumlah penduduk di negara monarki yang dipimpin Raja Tupou VI ini mencapai 105.780 jiwa. Berdasarkan catatan KBRI Wellington, terdapat enam warga Indonesia yang berada di Tonga.
Dari pengamatan berita daring di The New York Times, Reuters, dan BBC, secara umum ada tiga topik pemberitaan yang diangkat, yaitu dampak letusan gunung, kajian ilmiah letusan, serta bantuan solidaritas yang diberikan negara-negara di dunia untuk Tonga. Dampak letusan gunung api yang tersembunyi di bawah air ini diberitakan New York Times menimbulkan kerusakan di Pulau Tongatapu.
Tsunami setinggi 15 meter menyapu pantai barat Tongatapu. Ombak setinggi 15 meter juga menerjang Kepulauan Ha'apai. Komunikasi terputus di wilayah Vavau dan hanya bergantung pada telepon satelit setelah letusan menghancurkan kabel bawah laut.
Dampak letusan juga menimbulkan kerusakan di Pulau Atata, Kanokupolu, Kolomotua, dan Eua. Hingga 22 Januari 2022, tiga korban ditemukan meninggal yaitu di Pulau Mango dan Pulau Nomuka. Sedangkan enam orang WNI yang berada di Tonga selamat dari bencana.
Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) seperti disebutkan Reuters mengungkapkan kekuatan letusan gunung tersebut diperkirakan mencapai 10 megaton TNT, atau lebih dari 500 kali lipat dari bom nuklir yang dijatuhkan AS di Kota Hiroshima, Jepang saat Perang Dunia Kedua pada 1945.
Walau jaringan komunikasi di sejumlah wilayah Tonga tersambung kembali empat hari setelah bencana, tetapi jaringan internet belum sepenuhnya pulih. Reuters menyebutkan update situasi terbaru di Tonga kemudian banyak beralih ke media sosial. Foto, video, dan tautan berita dalam sekejap memenuhi media sosial memaparkan kehancuran akibat tsunami.
Melalui aplikasi Talkwalker, terpantau ada 1,6 juta hasil pencarian terkait bencana Tonga di media sosial sepanjang 15-21 Januari 2022. Puncak percakapan terjadi pada 16 Januari 2022, satu hari setelah letusan gunung dan tsunami menerjang wilayah Tonga. Dari pengikut (follower) yang dimiliki para aktor pengunggah konten (influencer), isu terkait bencana Tonga ini memiliki 20,2 triliun potential reach.
Tagar #Tonga, #Tsunami, # HungaTongaHungaHaapai, #TongaVolcano, #TongaTsunami, #TongaVolcanoEruption langsung bergema di media sosial untuk berbagi informasi dan percakapan seputar bencana Tonga.
Walau merupakan wilayah kecil di Kepulauan Pasifik, bencana Tonga banyak mendapat perhatian warganet dunia terutama dari AS, Jepang, Inggris, Spanyol, Thailand, Australia, Chile, dan Meksiko. Magnet percakapan warganet di media sosial adalah keterkejutan mereka terhadap ledakan besar yang berasal dari gunung vulkanik yang tersembunyi di bawah air.
Tiga percakapan utama (top conversation) yang muncul menyoroti fenomena meletusnya gunung berapi Hunga Tonga sebagai salah satu letusan paling dahsyat yang pernah terekam oleh satelit GOES-West dan Himawari-8. Kiriman konten dari akun Twitter @US_Stormwatch yang menggambarkan rekaman letusan mendapatkan 48,9 ribu retweet dan 133,8 ribu likes.
Demikian pula konten video dari akun Youtube Scott Manley yang sudah ditonton 2.646.955 sejak diunggah pada 16 Januari 2022. Dengan judul “Volcanic Eruption May Be Biggest Ever Seen From Space” video tersebut telah mendapatkan 74 ribu likes dan 7.240 komentar. Sementara akun Twitter @wonderofscience yang mengunggah konten serupa (video) mendapatkan 45,7 ribu retweet dan 119,4 ribu likes.
Kekuatan
Faktor teknologi menjadi daya jangkau bencana Tonga di mata dunia. Citra satelit berhasil menangkap letusan besar gunung berapi di dekat negara Tonga. Selain rekaman letusan yang terekam satelit, foto satelit juga mampu membantu menghadirkan realitas bencana bagi publik dunia.
Salah satunya adalah kolase foto yang ditampilkan Reuters dari citra satelit. Dari visual yang dihadirkan, tampak perbandingan kondisi wilayah Tonga sebelum dan sesudah letusan besar terjadi.
Baca juga: Tsunami dari Erupsi Tonga Terdeteksi di Indonesia
Lebih lanjut, Reuters, BBC, dan New York Times menyuguhkan analisis letusan dan tsunami. Reuters misalnya, memuat kesaksian astronot AS, Kayla Barron yang saat itu berada di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Barron menyebutkan bisa melihat gumpalan abu vulkanik letusan terlihat di atmosfer.
New York Times juga merilis foto-foto NASA yang menunjukkan titik abu-abu besar di atas Pasifik biru. Foto-foto satelit menunjukkan awan tanah, batu, gas vulkanik, uap air, dan gumpalan gas yang membubung hampir 20 mil ke atmosfer. Dari sejumlah efek letusan yang diamati oleh para ilmuwan, muncul sekitar 400.000 sambaran petir tercatat dalam 12 jam setelah letusan.
Dahsyatnya letusan membuat New York Times menyebut bencana itu sebagai “bencana yang belum pernah terjadi”. Beberapa ahli vulkanologi membandingkan ledakan tersebut dengan letusan Gunung Krakatau di Indonesia pada 1883 dan letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991.
Sedikit menengok ke belakang, letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda terjadi pada Agustus 1883. Letusan Krakatau berkekuatan 21.574 kali lipat daya ledak bom atom yang meleburkan Hiroshima. Letusan saat itu juga menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.
Gelombang awan panas dan tsunami yang tercipta menewaskan lebih dari 36.000 jiwa (Kompas 26 Agustus 2015). Melihat daya letusannya, erupsi Krakatau lebih hebat dari Hunga Tonga-Hunga Ha’apai. Namun kemampuan teknologi saat itu belum secanggih sekarang, sehingga letusan Krakatau belum terpantau citra satelit.
Sedangkan letusan Gunung Pinatubo pada Juni 1991 yang disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Gunung Hunga, memuntahkan 20 juta ton gas belerang dioksida ke stratosfer. Akibat letusan, suhu global mengalami penurunan hingga tiga derajat Celsius dan selama tiga tahun berikutnya turun menjadi satu derajat Celsius.
Dalam kajian Shane Cronin, ahli vulkanologi di Universitas Auckland di Selandia Baru, letusan Gunung Hunga masih di bawah kekuatan erupsi Gunung Pinatubo. Dari hasil pantauan sensor satelit, letusan Hunga berlangsung sekitar 10 menit dan memuntahkan 400.000 ton sulfur dioksida hingga mencapai stratosfer. Jumlah gas sulfur yang dikeluarkan Gunung Hunga masih jauh dibandingkan Gunung Pinatubo.
Meskipun demikian, letusan Gunung Hunga dan juga erupsi Krakatau dan Pinatubo di masa lampau membuka kesadaran dunia bahwa kombinasi dua bencana yaitu letusan gunung api dan tsunami dapat menjadi ancaman bagi peradaban manusia.
Bantuan dunia
Selain korban jiwa dan dampak bagi suhu global, letusan dan tsunami Gunung Hunga mengakibatkan 60.000 orang penduduk Tonga terkena dampak letusan berupa kerusakan hunian serta matinya tanaman, ternak, dan perikanan akibat hujan abu atau serta hujan asam.
Dampak letusan membuat negara-negara di dunia segera bergerak memberikan bantuan kemanusiaan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan pasokan air bersih adalah prioritas utama bagi warga Tonga. Bantuan paling awal diberikan oleh dua tetangga terdekat Tonga, yaitu Selandia Baru dan Australia.
Pemerintah Selandia Baru mengirimkan tiga kapal yaitu HMNZS Wellington, HMNZS Aotearoa dan HMNZS Canterbury untuk mengirimkan bantuan berupa air bersih, logistik makanan, dan peralatan berat untuk kepentingan tanggap daruat bencana. Angkatan Udara Selandia Baru juga mengirimkan bantuan lewat pesawat Hercules. Kapal HMNZS Aotearoa membawa bantuan kemanusiaan berupa 250.000 liter air bersih dan peralatan desalinasi yang bisa menghasilkan 70.000 liter air bersih sehari.
Pemerintah Australia juga telah mengirimkan pesawat C-17A Globemaster III yang membawa bantuan bahan tempat tinggal, persediaan kebersihan, alat pelindung diri, peralatan untuk membersihkan abu dan wadah air, serta peralatan komunikasi.
Australia juga mengerahkan armada andalannya, kapal HMAS Adelaide. Kapal tersebut dapat membawa bantuan medis, peralatan teknik, dan helikopter untuk mendukung distribusi logistik ke pulau-pulau terpencil.
Selain Selandia Baru dan Australia, sejumlah negara seperti Inggris, Jepang, dan China juga telah mengirim bantuan darurat untuk Tonga. Solidaritas warga dunia terus dibutuhkan untuk mendukung pemulihan pascabencana sekaligus menjaga Tonga tetap berada di radar dunia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Letusan Gunung Tonga, WNI di Tonga Belum Bisa Dihubungi