Ketika Melawan Korupsi Sekadar Visi-Misi
Membangun pemerintahan bersih dari korupsi menjadi cita-cita semua kepala daerah dalam kampanyenya saat pilkada. Sayangnya, masih ada kepala daerah yang terjerat korupsi. Antikorupsi hanya sekadar visi misi?
Menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih hampir menjadi program unggulan semua pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilkada. Hal ini juga termasuk menjadi cita-cita yang ditawarkan oleh kepala daerah yang terjerat kasus korupsi kepada para pemilih mereka. Di atas kertas, ketika mereka terjerat kasus rasuah, perlawanan pada korupsi pun hanya tinggal menyisakan visi dan misi.
Berjaraknya komitmen mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih dengan realitas di lapangan tidak lepas dari fakta, betapa masih rentannya kepala daerah bersinggungan dengan kasus korupsi. Setidaknya sepanjang awal tahun 2022 ini saja, yang belum genap satu bulan berjalan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tiga kepala daerah karena terjerat kasus korupsi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di awal tahun, publik langsung dikagetkan dengan tertangkapnya Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi karena diduga terjerat kasus korupsi pengadaan barang dan jasa serta jual beli jabatan. Rahmat ditangkap KPK pada 5 Januari 2022.
Kekecewaan terhadap tertangkapnya Rahmat juga disampaikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sehingga mencoret nama Rahmat dari 10 kepala daerah yang akan menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan PWI.
Menurut PWI, Rahmat sudah tidak memenuhi syarat menerima penghargaan yang, menurut rencana, akan diberikan pada Hari Pers Nasional pada 9 Februari nanti. Salah satu syarat tersebut adalah tidak sedang berperkara hukum atau korupsi.
Tertangkapnya Rahmat juga menjadi ironi karena dia pernah mendapatkan penghargaan khusus untuk Kota Bekasi dari Indonesia Institute for Public Governance sebagai pemerintah daerah dengan kinerja dan tata kota baik.
Setelah KPK menangkap Rahmat, sepekan kemudian publik juga kembali disuguhi praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah. Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud menjadi kepala daerah kedua di tahun ini yang tertangkap karena urusan mengambil keuntungan pribadi atas jabatan yang melekat pada dirinya. Gafur terjerat dugaan kasus penerimaan uang proyek dan izin usaha di Kabupaten Penajam Paser Utara.
Abdul Gafur merupakan salah satu kepala daerah termuda di Indonesia. Pria kelahiran 7 Desember 1987 itu terpilih sebagai Bupati Penajam Paser Utara pada Pilkada 2018 saat masih berusia 31 tahun. Tentu ini sebuah ironi ketika diskursus momentum politik anak muda sedang dikuatkan untuk membangun kesempatan bagi anak-anak muda sebagai representasi pemilih dominan di Pemilu 2024 nanti.
Setelah Rahmat dan Gafur tertangkap, enam hari kemudian KPK kembali menangkap kepala daerah. Pada 19 Januari lalu, Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin ditangkap KPK karena menerima suap proyek lelang dan penunjukan langsung pelaksanaan proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat.
Penangkapan Bupati Langkat ini juga menyimpan ironi. Di media sosial sempat viral poster sang bupati ketika peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2021 lalu. Foto Bupati dan Wakil Bupati Langkat terpampang dalam poster yang viral tersebut dengan satu tagline ”Satu Padu Bangun Budaya Anti Korupsi”. Siapa sangka, 40 hari dari peringatan Hari Antikorupsi tersebut, sang bupati ditangkap KPK karena kasus korupsi.
Baca juga : TWK dan Agenda Pemberantasan Korupsi
Ironi korupsi
Korupsi kepala daerah memang membawa ironi. Di atas kertas, hampir semua calon kepala daerah dan wakil kepala dipastikan membawa isu antikorupsi dalam kampanyenya. Terbit Rencana Perangin Angin, yang maju di Pilkada Langkat di 2018, dalam visi misinya yang menjadi dokumen resmi pencalonan menyebutkan secara jelas bahwa jika terpilih di pilkada, ia akan menciptakan reformasi birokrasi dalam mendukung penyelenggaraan sistem tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Poin ini tertuang dalam misi poin ke-5 dalam berkas resmi pencalonannya di pilkada.
Hal yang sama bisa kita lihat apa yang menjadi salah satu misi Abdul Gafur Mas’ud saat maju di pilkada Penajam Paser Utara pada 2018. Dari lima misi yang dia sodorkan di kampanye, salah satunya ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, responsif, dan akuntabel. Fenomena janji dan program pemerintahan bersih dan bebas korupsi ini juga menjadi fenomena umum pada pilkada tahun-tahun sebelumnya.
Bupati Kuantan Singingi, Riau, Andi Putra, termasuk salah satu dari empat kepala daerah yang terjerat kasus korupsi pada 2021. Andi juga termasuk salah satu kepala daerah termuda karena saat terpilih di Pilkada 2020 lalu usinya baru 33 tahun. Ia terjerat kasus korupsi penerimaan suap terkait dengan perizinan perkebunan, lebih kurang empat bulan setelah dilantik jadi bupati.
Jika kita lihat dari dokumen visi-misi yang diserahkan ke KPU saat pilkada, Andi yang berpasangan dengan Suhardiman Amby ini menyebutkan dalam salah satu misinya untuk mewujudkan manajemen birokrasi pemerintahan yang profesional melalui tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, berwawasan, dan demokratis.
Ironi lainnya juga ditunjukkan oleh fenomena tertangkapnya Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah di awal 2021 lalu. Sebelumnya, Nurdin dikenal sebagai sosok kepala daerah yang bersih dan berintegritas. Nurdin adalah penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2017 ketika menjabat Bupati Bantaeng.
BHACA adalah penghargaan bagi tokoh yang dinilai bersih dari praktik korupsi serta tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan, termasuk memberi ataupun menerima suap. Faktanya, Nurdin pun terkena suap terkait proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan.
Ironi lainnya adalah sebagian kepala daerah yang tertangkap ini juga bagian dari politik kekerabatan. Bupati Kuantan Singingi Andi Putra adalah anak dari mantan Bupati Kuantan Singingi sebelumya, Sukarmis, yang menjabat selama dua periode. Andi meneruskan trah ayahnya menjadi penguasa di daerah tersebut.
Hal yang sama terjadi pada Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang tertangkap KPK karena kasus suap atau upeti jabatan kepala desa. Puput adalah istri dari Bupati Probolinggo sebelumnya, Hasan Aminuddin, yang menjabat bupati selama dua periode. Ironisnya lagi, Puput ditangkap bersama suaminya, Hasan, yang juga terlibat dalam praktik jual beli jabatan.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menilai, korupsi di daerah sudah sangat memprihatinkan dan menjadi kanker bagi negara. Menurut dia, korupsi terjadi karena kepala daerah sedang menyiapkan dana untuk Pemilu 2024 nanti.
Sebagian besar kasus korupsi berasal dari proyek pengadaan barang dan jasa yang selesai dikerjakan pada 2021. Selain itu, ada pula korupsi lain, seperti jual-beli jabatan atau perizinan. ”Jadi, sekarang mereka istilahnya, vivere pericoloso, menyerempet bahaya. Kalau tidak dilakukan, mereka tidak dapat duit,” ujar Djohan, seperti dikutip Kompas (20/1/2022).
Baca juga : Korupsi Kepala Daerah Merajalela
Makin antikorupsi
Ironi-ironi yang dipraktikkan sejumlah kepala daerah yang terjerat korupsi ini juga makin ironis karena dilakukan di tengah masyarakat kita yang sebenarnya justru makin meningkat sikap antinya terhadap praktik korupsi. Hal ini terekam dari Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di mana menunjukkan tren kenaikan.
Ada peningkatan indeks persepsi di tahun 2021, di mana angkanya kembali naik menjadi 3,83. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2021, sikap masyarakat cenderung lebih antikorupsi terhadap perilaku korupsi dibandingkan dengan tahun 2020.
Dalam catatan BPS, jika melihat perkembangan indeks persepsi masyarakat, indeks persepsi masyarakat pada tahun 2012 hanya sebesar 3,54 dan berada di bawah pencapaian indeks pengalaman dan skor IPAK secara umum. Namun, secara perlahan tetapi berkesinambungan, indeks persepsi terus meningkat dan melebihi indeks pengalaman dan skor IPAK secara umum.
Rekam jejak banyaknya kepala daerah tersangkut korupsi semestinya menjadi pelajaran bahwa tidak mudah menutupi praktik korupsi karena perjalanan waktu dan sejarah pasti akan membuka praktik tersebut.
Tentu, meningkatnya indeks persepsi antikorupsi ini harus diapresiasi karena masyarakat semakin menyadari bahaya korupsi. Pekerjaan rumahnya adalah bagaimana kemudian meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perlawanan pada korupsi ini menjadi alarm bagi penyelenggara negara, terutama mereka yang sedang mengemban amanah di kepala daerah agar tidak lagi berani dan coba-coba untuk korupsi.
Rekam jejak banyaknya kepala daerah tersangkut korupsi semestinya menjadi pelajaran bahwa tidak mudah menutupi praktik korupsi karena perjalanan waktu dan sejarah pasti akan membuka praktik tersebut.
Penguatan sistem pengawasan terhadap jalannya pemerintahan di daerah akan menjadi kunci penting untuk mengimbangi makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap praktik korupsi. Hal ini penting agar cita-cita membangun pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi tidak sekadar visi dan misi. Semoga. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kepala Daerah Rentan Korupsi untuk Kembalikan Biaya Politik yang Besar