Tindak Lanjut UU TPKS
Perlu tindak lanjut agar UU TPKS bisa efektif diimplementasikan dan menjawab kebutuhan korban. Tindak lanjut UU TPKS sama pentingnya dengan pengesahan RUU TPKS menjadi UU. Jika tidak, UU TPKS akan menjadi mandul.
Setelah disahkan, perlu tindak lanjut agar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bisa efektif diimplementasikan dan menjawab kebutuhan korban.
Tindak lanjut itu adalah langkah hukum dan nonhukum. Langkah hukum, antara lain, ialah penyelesaian penyusunan peraturan pelaksananya. Langkah nonhukum, antara lain, adalah diklat pengembangan kapasitas dan menyiapkan sumber daya di semua daerah.
Diperkirakan terdapat 10 peraturan pelaksana Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yaitu lima peraturan pemerintah (PP) dan lima peraturan presiden (perpres). Satu di antara lima PP adalah tentang dana korban tindak pidana atau victim trust fund (VTF). Satu di antara lima perpres ialah perpres tentang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Belajar dari pengalaman, UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dinyatakan berlaku dua tahun pasca-pengundangan, dengan maksud memberi waktu bagi penyelesaian penyusunan peraturan pelaksananya (Pasal 108). Batas waktu penyusunannya, satu tahun sejak UU SPPA diberlakukan. Artinya, tenggatnya adalah 2015.
Kebutuhan korban akan pembiayaan untuk memulihkan kesehatan mendesak dicarikan jalan keluarnya.
Faktanya, Perpres No 75/2020 sebagai salah satu peraturan pelaksana penting Pasal 90 (2) UU SPPA selesai dibuat lima tahun setelah tenggat. Delapan tahun sesudah 2012. Akibatnya, juga berpengaruh pada efektivitas implementasi UU.
Sebagai perbandingan, jumlah peraturan pelaksana yang dimandatkan UU TPKS lebih banyak daripada UU SPPA. Kita perlu mengambil hikmah dari molornya penyelesaian penyusunan peraturan pelaksana UU SPPA. Oleh karena itu, diperlukan komitmen semua kementerian/lembaga (K/L) terkait.
Dana korban
PP tentang VTF sangat dinantikan oleh para korban, termasuk korban TPKS. VTF merupakan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan korban akan pemulihan, misalnya untuk pembiayaan kesehatan, rehabilitasi psikologis dan psikososial, dan lain-lain. Idealnya VTF diperuntukkan bagi semua korban tindak pidana, tidak hanya korban TPKS. Menurut pengalaman LPSK, butuh dana tak sedikit dan waktu yang relatif lama untuk pemulihan korban.
Pada 2021 terdapat sekitar 62 persen perlindungan LPSK yang diberikan dalam waktu lebih dari enam bulan, termasuk untuk kebutuhan pemulihan korban. Kebutuhan korban akan pembiayaan untuk memulihkan kesehatan mendesak dicarikan jalan keluarnya.
Baca juga: Peraturan Pelaksanaan UU TPKS Segera Disusun
Salah satu pemicunya, keberadaan Perpres No 82/2018 jo Perpres No 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Pasal 52 Ayat (1) huruf r dinyatakan, pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.
Perpres ini sesungguhnya tidak pro kepada korban tindak pidana karena korban umumnya adalah peserta jaminan kesehatan. Bagaimana mungkin peserta jaminan kesehatan tak dapat menikmati manfaatnya? Di lain pihak, jaminan kesehatan korban tindak pidana tak otomatis dapat ditanggung oleh LPSK karena UU menentukan limitasi dan syarat perlindungan LPSK yang relatif ketat.
Sesungguhnya jaminan kesehatan merupakan hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28 H (1) UUD 1945 yang wajib dilaksanakan negara. Karena itu, UU No 9/2009 tentang Kesehatan menetapkan besaran anggaran kesehatan minimal adalah 5 persen dari APBN. Pasal 28 H (1) ini sejatinya dapat dijadikan dasar mengajukan judicial review Pasal 52 Ayat (1) huruf r Perpres No 82/2018 jo Perpres No 75/2019.
VTF bisa juga jadi sumber pendanaan bagi ganti kerugian/restitusi untuk korban. Dalam hal restitusi tidak dapat dibayar oleh pelaku, negara harus berusaha keras memberikan kompensasi finansial kepada korban yang dapat bersumber dari VTF. Pembentukan, penguatan, dan ekspansi trust fund nasional untuk kompensasi korban harus terus dilakukan. Menurut data di LPSK, restitusi yang dibayar pelaku lebih kecil daripada yang diputus hakim.
Substansi PP tentang VTF yang dimandatkan UU TPKS bisa mencontoh negara lain, baik pengelolaannya maupun cara mengaksesnya. Trust fund wajib dikelola negara. Dalam hal ini adalah LPSK karena LPSK lembaga yang bertanggung jawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban (Pasal 12 UU No 13/2006). Sumber dana VTF bisa berasal dari denda pidana, donasi tidak mengikat, filantropi, lelang aset hasil tindak pidana, dan sebagainya.
Mengenai cara mengakses VTF terdapat dua skema (G Alicia-ICJR). Pertama, korban melakukan aplikasi (Belanda, Inggris, Texas, Florida, Michigan). Kedua, pendanaan diberikan kepada layanan (Alberta, Kanada; Victoria, Australia). Skema kedua bisa pula diberikan kepada pemda yang melaksanakan program layanan korban tindak pidana berbasis grant.
Pelaksanaan tindak lanjut di atas akan menjadi penentu efektivitas implementasi UU TPKS dan pemulihan korban.
Pendidikan dan pelatihan
Diklat pengembangan kapasitas adalah penting bagi aparat penegak hukum (APH), aparat pemda, ataupun masyarakat luas. Melalui diklat dapat ditingkatkan pengetahuan, pemahaman, dan respek pada UU TPKS, juga kapasitas bersinergi dan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan.
Diklat perlu diselenggarakan berkesinambungan dan menyeluruh di semua daerah. Kesiapan aparat di daerah mengimplementasikan UU TPKS perlu digarisbawahi mengingat TPKS terjadi di banyak daerah, termasuk pelosok.
Sebagai gambaran, korban dan saksi TPKS dalam perlindungan LPSK pada 2021 berasal dari sedikitnya 25 provinsi yang melingkupi 87 kabupaten/kota. Kuantitas dan kualitas aparat menangani korban TPKS harus terus ditingkatkan agar UU ini efektif diimplementasikan dan pemulihan korban terwujud.
Baca juga: Ketika Soal Pemerkosaan Masih Menyisakan Pertanyaan
Diklat terpadu terkait UU TPKS sudah waktunya digagas bersama oleh unit kerja yang membidangi diklat di kepolisian (Lemdiklat Polri), kejaksaan (Badiklat Kejaksaan), Mahkamah Agung (Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung), LPSK (Sekjen), Kemenkumham (BPSDM), dan lain-lain. Diklat adalah hal penting karena pendidikan merupakan senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia (Nelson Mendela, 1918-2013).
Tindak lanjut UU TPKS sama pentingnya dengan pengesahan RUU TPKS menjadi UU. Pelaksanaan tindak lanjut di atas akan menjadi penentu efektivitas implementasi UU TPKS dan pemulihan korban. Jika tidak, UU TPKS akan menjadi mandul.
Antonius PS Wibowo Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI