Ketika Soal Pemerkosaan Masih Menyisakan Pertanyaan
Tidak diaturnya secara khusus pemerkosaan sebagai tindak pidana kekerasan seksual dalam UU TPKS akan berpotensi menjadi persoalan ke depan,
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atas Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada Selasa (12/4/2022) menuai apresiasi dari publik. Momentum lahirnya undang-undang tersebut telah dinanti-nantikan. Melalui Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, negara diharapkan hadir bagi para korban kekerasan seksual.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dianggap sebagai sebuah terobosan dalam pembaruan hukum di Tanah Air. Sebab, selain mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; serta melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; UU TPKS juga akan mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Meski demikian, dalam beberapa hari terakhir pembicaraan tentang pemerkosaan kembali ramai dibahas di beberapa grup media sosial para aktivis perempuan. Tulisan Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, berjudul ”Kekerasan Seksual Tanpa Pemerkosaan” di harian Kompas, Kamis (14/4/2022), mengundang diskusi.
Dalam artikel tersebut, Sulistyowati menulis soal hilangnya pasal pemerkosaan. Menurut dia, pasal tentang pemerkosaan hanya disebut saja dalam UU Pasal 4 Ayat 2, tetapi tidak didefinisikan dan diatur. Alasannya, pemerkosaan sudah diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Sulistyowati, kesulitan korban pemerkosaan mendapatkan keadilan sejak Indonesia merdeka sampai hari ini justru karena terkendala KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang membebankan pembuktian kepada korban sendiri. Sekiranya pasal pemerkosaan ada dalam UU TPKS, apakah salahnya? Apalagi mengingat kekerasan seksual ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan soal kesusilaan, karena korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat, dan trauma seumur hidup.
Namun, karena pemerkosaan tidak diatur dalam UU TPKS ini, tak akan ada perubahan pengaturan terhadap tindak kejahatan pemerkosaan, yang padahal menjadi keprihatinan dasar dalam gagasan awal rancangannya.
Artikel Sulistyowati ditanggapi kalangan DPR. Bagi DPR, pemerkosaan telah diakomodasi dalam UU TPKS. Buktinya, selain dalam UU TPKS, ada sembilan jenis TPKS, ada juga 10 TPKS lain yang diatur, termasuk pemerkosaan.
Dalam UU TPKS, kesembilan TPKS tersebut diatur dalam Pasal 4 Ayat (1), yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Kesembilan TPKS tersebut diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU TPKS.
Sementara 10 TPKS lain yang diatur pada Pasal 4 Ayat (2) UU TPKS di antaranya pemerkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan TPKS.
Tidak didefinisikan
Akan tetapi, menurut Sulistyowati, meski ada dalam UU TPKS, sebenarnya pengaturan pemerkosaan hanya sebatas masuk sebagai tulisan semata, tetapi tidak diatur dan didefinisikan seperti sembilan TPKS pada Pasal 4 Ayat (1).
”Mari pakai logika sederhana saja. Dalam Pasal 4 UU TPKS ibarat ada dua kotak. Satu kotak namanya Pasal 4 Ayat 1 isinya bola basket, bola kasti, dan lain-lain, disertai petunjuk bagaimana cara bermain bola-bola tersebut. Lalu, ada kotak lain yang namanya Pasal 4 ayat 2, di situ juga ada tulisan bola tenis, bola pingpong, dan lainnya. Namun, sebenarnya bolanya enggak ada, cuma ada tulisan, dan tidak ada petunjuk bagaimana cara memainkan bola-bola tersebut,” ucapnya.
Dengan logika tersebut, dia mempertanyakan apakah TPKS yang ada di Pasal 4 Ayat (2) bisa diimplementasikan setara dengan TPKS yang ada di Pasal 4 Ayat (1)?
Hingga akhir pembahasan RUU TPKS, bentuk kekerasan seksual pemerkosaan dan juga pemaksaan aborsi terus disuarakan Komnas Perempuan dan para perempuan dan aktivis pendamping korban kekerasan seksual agar dimasukan dalam UU TPKS bersama dengan sembilan TPKS lainnya. Oleh DPR dan Pemerintah, TPKS pemerkosaan dimasukkan dalam kelompok 10 TPKS yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2), dengan alasan Pemerkosaan diatur di RKUHP yang kelanjutan pembahasannya diperkirakan tidak lama lagi.
Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya juga mengatakan, pemerkosaan tetap menjadi bagian yang diatur dalam UU TPKS. Karena itulah, jenis TPKS, tidak hanya 9, tetapi 19 jenis.
Terkait dengan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang tidak masuk dalam RUU TPKS, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Jumat (8/4), memastikan akan mengawal dan berjuang agar kedua jenis kekerasan seksual tersebut yang diatur dalam RKUHP mengedepankan kepentingan korban.
Sebelumnya, Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) untuk Advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menilai, tidak masuknya bentuk kekerasan seksual pemerkosaan membuat RUU TPKS kehilangan kekhususannya untuk mengatur tindak pidana kekerasan seksual secara spesifik.
Padahal, pemerkosaan merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi dengan menggunakan modus, cara, dan alat, yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para perempuan dan anak korban kekerasan seksual.
Pengaturan tindak pidana pemerkosaan dalam RKUHP belum sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban. ”Meski ada semangat DPR dan pemerintah akan mengatur tindak pidana pemerkosaaan ke dalam RKUHP, tidak ada jaminan pengaturan pemerkosaan sama seperti diharapkan didalam RUU TPKS,” ujar Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia, mewakili JMS.
Harapan masyarakat sipil, pemerkosaan diatur secara khusus dengan UU TPKS memang sungguh besar. Mereka berpandangan, sudah seharusnya TPKS pemerkosaan diatur bersama dengan sembilan TPKS lain sebab tindak kriminal pemerkosaan di Indonesia cenderung berulang.
Karena itulah, sangat besar harapan pada DPR dan pemerintah ketika akan melanjutkan pembahasan RKUHP diharapkan memberi perhatian khusus agar pengaturan pemerkosaan benar-benar ada terobosan hukum sehingga nantinya melindungi korban pemerkosaan.