Pembahasan RUU TPKS memasuki tahap akhir. Menurut rencana, Rabu (6/4/2022) Panitia Kerja RUU TPKS di DPR akan menggelar sidang pleno untuk pengambilan keputusan terkait proses RUU TPKS selanjutnya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kendati mengapresiasi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang telah menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan cepat, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan berharap pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual tetap masuk dan diatur secara khusus dalam rancangan undang-undang tersebut.
Pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksualharus diatur secara khusus bersama-sama dengan sembilan jenis kekerasan seksual lainnya, yang diatur padaRancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Sebab, jika pemaksaan hubungan seksual dikeluarkan dari RUU TPKS karena alasan akan masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hal itu justru semakin merugikan pihak korban pemerkosaan.
”Bukan tidak bisa diperbaiki di RKUHP. Tapi waktu tunggu pengesahan RKUHP bisa menjadi ruang yang membawa kerugian bagi perempuan korban pemaksaan seksual,” ujar Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, Selasa (5/4/2022).
Andy bersama Sri Wiyanti Eddyono (pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) dan Fajri Nursyamsi (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) menegaskan, jika harus menunggu pembahasan RKUHP yang tanpa kepastian, dampaknya justru akan semakin besar bagi korban.
Fajri mengatakan, ketentuan terkait pemerkosaan perlu diatur dalam RUU TPKS karena asas kejelasan tujuan. Pengaturan sejak awal RUU TPKS dibentuk sebagai optimalisasi pengaturan terkait kekerasan seksual dalam UU, termasuk terkait dengan ketentuan pemerkosaan yang saat ini diatur dalam KUHP.
Selain itu, karena asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, perbaikan pasal tentang pemerkosaan sudah dibutuhkan saat ini. Karena itu, dipandang perlu memanfaatkan momentum pembahasan RUU TPKS untuk mendiskusikan dan mencantumkannya dalam UU. Agar UU tidak selalu tertinggal dari kebutuhan di lapangan.
Mengenai pertanyaan, apakah ketika sudah diatur dalam RUU TPKS tidak dapat lagi diatur dalam RKUHP? Menurut Fajri, upaya perubahan ketentuan pemerkosaan melalui RKUHP tetap dapat dilakukan, tetapi perlu disadari bahwa substansi dari RKUHP tidak hanya terkait dengan pasal tentang pemerkosaan, tetapi konsepsi hukum pidana materiil secara menyeluruh.
”Pembahasan RKUHP masih membutuhkan waktu, justru pembahasan mengenai pasal tentang pemerkosaan dalam RUU TPKS merupakan bentuk pembahasan secara paralel tentang suatu substansi yang akan diatur,” katanya.
Namun jika di kemudian hari ada ketentuan yang sama atau beririsan, dan berpotensi terjadi tumpang tindih atau menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya, perlu diselesaikan dalam tahapan harmonisasi dan sinkronisasi dalam proses legislasi. ”Hasil harmonisasi dan sinkronisasi menghasilkan solusi, yakni pasal terkait dihapus dari draf RUU, atau menghapus pasal terkait dari UU yang sudah berlaku,” papar Fajri.
Sementara itu, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) juga memberikan catatan kritisatas sidang pembahasan RUU TPKS, yang disampaikan Ratna Batara Munti, Anis Hidayah, Sri Nurherwati, dan Asfinawati. ”Soal pemerkosaan memang dalam DIM RUU TPKS sudah disebut sebagai TPKS lainnya, tapi apa unsur-unsurnya nanti akan dilakukan pembahasan lain di dalam RKUHP. Kita tahu di RKHUP akan berat sekali mendorong rumusan progresif, meskipun di naskah terakhir sudah lebih baik dari sebelumnya,” tegas Asfinawati.
Selain itu, Ratna menegaskan perlu ada perhatian khusus dalam RUU TPKS yang akan disahkan nanti, yakni soal restitusi dan layanan terpadu. Untuk layanan terpadu, dalam implementasinya, pemerintah perlu memikirkan dukungannya, seperti anggaran dan fasilitas agar peran mereka bisa maksimal.
”Masih belum terlihat integrasi antara layanan pemulihan dan penegakan hukum sehingga bisa saling beriringan, tidak saling menunggu. Terutama ketika korban mengalami trauma yang tidak mungkin diperiksa langsung oleh penyidik. Peran psikolog dan pendamping penting untuk menjembatani,” tegas Ratna.
Akomodasi kepentingan korban
Secara terpisah, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS DPR Willy Aditya mengatakan, DPR dan pemerintah bertekad menyelesaikan RUU TPKS pada April 2022 karena menganggap kekerasan seksual merupakan ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Untuk menjawab penantian korban selama ini, berbagai tindak pidana kekerasan seksual akan diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang akan disahkan nanti.
Oleh karena itu, selain memasukkan sembilan tindak pidana kekerasan seksual, RUU TPKS yang dibahas maraton Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah hingga Selasa (5/4/2022) juga mengatur 10 tindak pidana kekerasan seksual lainnya.
Yang terpenting RUU TPKS menyediakan hukum acara untuk kekerasan sejenis. (Willy Aditya)
”Jadi sebenarnya ada 19 jenis kekerasan seksual yang akan diatur. Selain yang diatur secara eksplisit sembilan tindak pidana kekerasan seksual, ada juga 10 jenis kekerasan seksual lain yang juga diatur,” ujar Willy.
Menurut Willy, sembilan jenis TPKS yang diatur pada Pasal 4 Ayat (1) adalah pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Sementara itu, Pasal 4 Ayat (2) mengatur TPKS juga meliputi pemerkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Selain itu, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan TPKS; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”Jadi itu masuk semua. Tapi yang terpenting RUU TPKS menyediakan hukum acara untuk kekerasan sejenis,” ujar Willy.
Willy menegaskan, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS berlangsung lancar karena DPR dan pemerintah memiliki satu pandangan, yakni kekerasan seksual telah menjadi ancaman serius, dan payung hukum yang mengatur kekerasan seksual harus segera dihadirkan.