Sepekan untuk RUU TPKS
Pembahasan RUU TPKS berjalan cepat. Awal pekan ini, pembahasan oleh DPR dan pemerintah diperkirakan rampung sehingga pengesahannya menjadi UU semakin cepat.
Dewan Perwakilan Rakyat dan tim pemerintah ternyata benar-benar melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual secara maraton. Sejak Senin (28/3/2022), daftar inventarisasi masalah dari Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas tiap hari, tanpa ada jeda dalam seminggu.
Apresiasi pun dilayangkan pada anggota DPR dan tim pemerintah yang melakukan pembahasan hampir semua nomor dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Sabtu (2/4/2022).
”Kami mengapresiasi pembahasan RUU TPKS yang berlangsung sepanjang minggu ini, yang memberikan harapan yang besar bahwa sejumlah persoalan kronik terkait upaya menuntaskan kekerasan seksual bisa terurai lebih cepat dan lebih baik, secara sistemik, dan komprehensif,” ujar Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, Minggu (3/4/2022).
Andy menilai proses pembahasan DIM RUU TPKS berlangsung kondusif juga konstruktif dalam mempertimbangkan masukan-masukan dari berbagai pihak lain, seperti Komnas Perempuan dan lembaga layanan bagi korban yang selama lebih dua dekade ini mendedikasikan diri untuk memutus impunitas pelaku dan menghadirkan pemulihan bagi korban, serta dari masyarakat sipil pada umumnya.
Baca juga: RUU TPKS Dibahas Maraton
Perjalanan RUU TPKS saat ini memang jauh berbeda dengan perjalanan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang gagal diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode lalu. Meski sama-sama dibahas di tingkat Panitia Kerja DPR, sangat terasa perbedaannya, baik dinamikanya maupun cara anggota DPR menanggapi RUU tersebut. Saat masih bernama RUU PKS, proses pembahasannya dilakukan oleh Panja Komisi VIII DPR dan pemerintah.
Ketika itu pemerintah hanya diwakili oleh satu kementerian, yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Kementerian PPPA benar-benar berjalan sendiri mewakili pemerintah. Itu pun hanya diwakili oleh salah satu deputi di Kementerian PPPA.
Menterinya tidak turun langsung berhadapan dengan anggota Panja RUU PKS di Komisi VIII DPR, yang setiap kali pembahasan berubah-ubah sikapnya. Selain itu, jadwal pembahasan RUU TPKS tidak berjalan sebagaimana yang ditetapkan pada awal. Sampai masa bakti DPR 2014-2019 berakhir, pembahasan Panja RUU PKS hanya berkutat soal judul RUU dan definisi kekerasan seksual.
Bahkan, setiap kali rapat Panja RUU PKS, topik pembicaraan yang selalu diangkat sejumlah anggota Komisi VIII terkait seksualitas dalam relasi suami-istri, yakni kekhawatiran dan ketakutan para suami, jika nanti RUU PKS disahkan akan membahayakan para suami. Takut digugat istrinya karena dia menginginkan untuk berhubungan badan tetapi istri tidak mau.
Pembahasan RUU PKS ketika itu benar-benar terkesan sarat dengan ”manuver politik”. ”Akhirnya pembahasan RUU PKS saat itu dilakukan hanya untuk mengulur waktu saja, sampai waktunya habis,” ujar Sri Nurherwati, komisioner Komnas Perempuan periode 2010-2014 dan 2014-2019 yang mengawal semenjak RUU PKS diusung DPR.
Situasi ketika itu benar-benar berbeda dengan pembahasan RUU TPKS saat ini yang dilakukan oleh panja di Badan Legislasi (Baleg), yang sejak awal mendukung (meskipun tidak semua fraksi) RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR. Dukungan pimpinan dan anggota Baleg terhadap RUU TPKS terlihat hingga ditetapkannya RUU TPKS sebagai Usul Inisiatif DPR dan masuk ke tahap pembahasan.
Tidak buru-buru ketok palu sebelum dipastikan tidak ada yang tertinggal. Pembahasan cepat, tetapi juga harus tuntas sehingga RUU-nya benar-benar berkualitas, solutif, dan implementatif.
Bahkan, sejak awal pembahasan Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya menegaskan bahwa RUU TPKS tidak boleh dijadikan sebagai panggung politik, tetapi harus benar-benar berfokus pada perlindungan korban kekerasan seksual. Panja Baleg pun benar-benar menunjukkan komitmen mereka dalam pembahasan RUU TPKS, dengan melakukan pembahasan sesuai jadwal yang ditetapkan, bahkan akhir pekan pun digunakan untuk rapat pembahasan RUU TPKS.
Kolaborasi yang kuat
Bak gayung bersambut, RUU TPKS pun mendapat dukungan penuh dari pemerintah yang hadir dengan tim dari kementerian/lembaga. Tim pemerintah dipimpin langsung Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati, didampingi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej.
Bahkan, ketika rapat perdana dengan Panja RUU TPKS DPR, Menteri PPPA hadir langsung, bersama Wamenkumham, Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Yusharto Huntoyungo, dan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodawardhani, Wakil Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Iskandar, serta perwakilan Polri, dan Kejaksaan.
Suasana pembahasan DIM RUU TPKS sangat dinamis. Meski ada sejumlah kritik dari anggota DPR, tim pemerintah yang diwakilli Wamenkumham mampu mempertanggungjawabkan DIM yang disusunnya. Sementara itu, kehadiran beberapa perempuan anggota Panja, seperti Luluk Nur Hamidah (FPKB), My Esti Wijayanti (PDI-P), dan Chritina Aryani (FGolkar), benar-benar mewarnai dinamika selama pembahasan DIM RUU TPKS berlangsung.
Baca juga: RUU TPKS Harus Implementatif
Peran masyarakat publik tidak bisa dilepaskan dari proses pembahasan RUU TPKS. Komitmen dan konsistensi para aktivis perempuan dari berbagai lembaga untuk mengawal RUU tersebut tak pernah putus. Sebelum pembahasan di DPR berlangsung, mereka menggelar pertemuan yang membahas berbagai masukan terkait RUU TPKS yang akan diberikan kepada DPR.
Bahkan, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS), yang terdiri dari 140 lembaga dan lebih dari 1.000 individu/aktivis pembela perempuan dan HAM, tak pernah absen mengikuti pembahasan RUU TPKS baik hadir di DPR maupun mengikuti secara daring. Sampai-sampai ada istilah ”fraksi balkon”, ”fraksi WA”, dan ”fraksi isoman”. Semua aktif menyampaikan aspirasi dan masukan pada DPR dan pemerintah terkait RUU TPKS.
”Kami berharap Panja DPR tetap cermat, tetap membuka ruang untuk membahas hal-hal penting yang masih terlewat. Tidak buru-buru ketok palu sebelum dipastikan tidak ada yang tertinggal. Pembahasan cepat, tetapi juga harus tuntas sehingga RUU-nya benar-benar berkualitas, solutif, dan implementatif,” kata Ratna Batara Munti dari JPHPKKS.
Maka, meskipun sebagian besar pembahasan DIM RUU TPKS diselesaikan pada pekan lalu, masih ada sisa pekerjaan yang harus dirampungkan DPR dan pemerintah, yakni pembahasan sejumlah rumusan bentuk kekerasan seksual, seperti kekerasan seksual berbasis elektronik dan eksploitasi seksual. Masyarakat sipil pun terus berharap, bentuk kekerasan seksual pemerkosaan, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan pelacuran diakomodasi dalam RUU TKPS.