DPR dan pemerintah memulai pembahasan RUU TPKS dengan merundingkan daftar inventarisasi masalah satu per satu. Kedua pihak berharap pembahasan berjalan lancar sesuai jadwal.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati (tengah barisan depan) bersama Wamenkumham Edward OS Hiariej mengikuti Rapat Panja RUU TPKS di DPR, Senin (28/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berkomitmen membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS dalam waktu cepat. Mulai Senin (28/3/2022) kemarin, Panitia Kerja RUU TPKS dan pemerintah mulai membahas satu per satu daftar inventarisasi masalah RUU TPKS yang disusun pemerintah beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan waktu lalu, kali ini pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS dihadiri tim pemerintah yang dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Pembahasan RUU TPKS dilakukan maraton mulai Senin hingga Selasa (5/4/2022), pekan depan.
Menteri PPPA yang didampingi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward OS Hiariej, tim dari Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kejaksaan, dan kepolisian menjelaskan bahwa DIM yang disusun pemerintah terdiri dari 588 nomor DIM pada RUU TPKS dan 247 nomor DIM pada Penjelasan RUU TPKS. Keseluruhan DIM RUU TPKS itu berjumlah 12 bab dan 81 pasal.
”Kami mengusulkan agar pembahasan dapat kita fokuskan pada DIM RUU TPKS Substansi dan Substansi Baru dan DIM Penjelasan RUU TPKS Substansi dan Substansi Baru. Pada hakikatnya, DIM Substansi dan Substansi Baru memperkuat pasal-pasal yang diusulkan oleh DPR,” ujar Bintang pada Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS yang dipimpin Ketua Panja Willy Aditya, Senin.
Kami sebenarnya khawatir pembahasan yang dikejar seminggu ini apa mungkin bisa menghasilkan RUU yang implementatif dan solutif. (Ratna Batara Munti)
Adapun poin-poin dalam DIM Substansi dan Substansi Baru, antara lain, Pencegahan dan Rehabilitasi; Ketentuan Pidana Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Hukum Acara; Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat dan Daerah (one stop services melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak/UPTD PPA).
Penjelasan Menteri PPPA diperkuat oleh Wamenkumham, yang menegaskan bahwa DIM Substansi dan Substansi Baru semata-mata untuk memperkuat posisi DPR, karena RUU TPKS merupakan hak usul inisiatif DPR. Adapun, substansi baru tersebut lebih banyak terkait persoalan ketentuan pidana maupun hukum acaranya, yang diatur secara rinci.
Mengapa diatur rinci? Karena dari data dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah lembaga, dari 6.000 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang sampai ke pengadilan kurang dari 300 kasus. ”Berarti kurang dari 5 persen. Bagi kami, ini ada something wrong. Berarti ada sesuatu yang salah dengan hukum acara kita sehingga kita memberi perhatian pada hukum acara ini,” ujar Edward.
Kepada Panja RUU TPKS, Wamenkumham juga memastikan pengaturan dalam RUU TPKS tidak akan tumpang tindih dengan undang-undang yang sudah ada. Karena ketika membahas DIM, pemerintah telah menyandingkan dengan UU lain, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, serta UU Pengadilan HAM.
Terkait dengan DIM RUU TPKS, Menteri PPPA juga menjelaskan bahwa ada sejumlah substansi krusial yang diatur, antara lain, pengaturan mengenai pengertian korban, saksi, keluarga, pelayanan terpadu, UPTD PPA, pendamping, penanganan, pelindungan, pemulihan, rehabilitasi, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan menteri.
Selain itu, DIM berisi pengaturan jenis-jenis TPKS yang diuraikan dengan unsur-unsur pidananya; pengaturan pemberatan hukuman untuk pelaku; pidana tambahan; tindakan berupa rehabilitasi; penetapan hakim terkait restitusi; pengaturan perbuatan yang memengaruhi proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPKS, serta pengaturan mengenai proses beracara pidana meliputi alat bukti, pendampingan korban dan saksi, restitusi, pelaporan, pelindungan korban, pemeriksaan saksi, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan.
Melalui DIM juga masuk pengaturan mengenai hak korban meliputi hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan, termasuk untuk korban penyandang disabilitas, keluarga korban dan saksi; serta pengaturan penyelenggaraan pelayanan terpadu baik di pusat maupun di daerah; pengaturan pencegahan kekerasan seksual, serta pengaturan pendanaan.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Aksi memperingati Hari Ibu oleh pengunjuk rasa dari berbagai aliansi di depan Gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu (22/12/2021). Mereka menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Norma agama dan budaya dihapus
Pada Rapat Panja RUU TPKS kemarin, sebelum DPR dan pemerintah membahas lebih lanjut satu per satu nomor DIM, kedua pihak menyetujui seluruh DIM Bersifat Tetap, dan DIM Bersifat Redaksional akan dibahas dalam Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin). Setelah itu, pembahasan dilakukan mulai dari DIM nomor 1 hingga nomor 70. Dari 70 DIM tersebut, beberapa mengalami perubahan, tetapi ada juga yang bersifat tetap.
Misalnya, DIM nomor 1 soal nama RUU TPKS tidak ada perubahan. Sementara untuk DIM nomor 2 khususnya Menimbang bagian (b) yang berbunyi bahwa ”kekerasan seksual bertentangan dengan norma agama, norma budaya, merendahkan harkat, martabat dan merusak keseimbangan hidup manusia serta mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat”; DPR setuju dengan usulan Pemerintah untuk menambahkan kata ketuhanan dan menghilangkan kata norma agama dan budaya.
Sebaliknya, pemerintah mengusulkan kalimat kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan mengganggu keamanan serta ketenteraman masyarakat.
”Mengapa norma agama dan norma budaya dihilangkan karena ketika bicara kekerasan seksual adalah multietnis, multireligi, sehingga menghindari kontroversi kata-kata tersebut dihilangkan dan menggunakann istilah yang lebih universal,” kata Edward yang mencontohkan pandangan masyarakat yang berbeda soal budaya sawer.
Selain DPR juga setuju dengan usulan pemerintah untuk menambah frasa ”kerugian sosial” pada DIM nomor 15 soal definisi ”korban” sehingga menjadi korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual. Pembahasan DIM RUU TPKS akan dilanjutkan hari ini hingga Selasa (5/4/2022) mendatang.
”Semua berjalan lancar, DIM yang tetap sudah kita setujui, DIM substansial masih dibahas. Sejauh ini pembahasannya produktif. Kami berharap kondisi yang sama seperti itu berlanjut. Mudah-mudahan berjalan lancar sesuai jadwal. Ini menunjukkan komitmen politik DPR maupun pemerintah untuk merealisasikan UU TPKS,” ujar Willy.
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Rapat Panja RUU TPKS di DPR yang dipimpin Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya, Senin (28/3/2022).
Berorientasi pada kualitas
Sebelumnya, Ratna Batara Munti dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual berharap, pembahasan RUU TPKS tetap berorientasi pada kualitas.
”Kami sebenarnya khawatir pembahasan yang dikejar seminggu ini apa mungkin bisa menghasilkan RUU yang implementatif dan solutif. Karena itu, kami berharap selama pembahasan berlangsung prosesnya terbuka, partisipatif, membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan. Jangan tertutup dan menutup diri dari masukan masyarakat,” ujarnya.
Asfinawati, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan, dalam diskusi dan simulasi yang dilakukan masyarakat sipil dan kementerian/lembaga ada sejumlah hal dalam draf RUU TPKS yang perlu diperkuat dan disempurnakan. Misalnya, soal layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual. Meskipun semangatnya sudah ada dalam RUU TPKS, pengaturannya agar lebih operasional.
Soal waktu yang sangat singkat, Asfinawati mengingatkan jangan sampai keterbatasan waktu justru akan mengurangi substansi RUU tersebut. ”Adanya semangat di legislatif dan eksekutif agar RUU ini segera disahkan, tentu itu hal baik. Namun, jangan sampai substansi dari RUU tersebut disunat demi mempercepat RUU tersebut,” papar Asfinawati.