Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah lama dinantikan para korban kekerasan seksual. Semakin cepat peraturan turunannya diterbitkan, semakin cepat implementasi undang-undang tersebut.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak siap melaksanakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sembari menunggu proses undang-undang tersebut diundangkan, pemerintah akan menyiapkan penyusunan peraturan pelaksanaan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
”Kami akan proses peraturan pelaksanaan yang dimandatkan oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, apakah itu melalui peraturan pelaksana, kemudian ada yang melalui peraturan presiden. Misalnya restitusi dan pelayanan terpadu, semua itu, kan, perlu diatur lebih teknis lagi,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, di Jakarta, Rabu (13/4/2022).
Sebagaimana diberitakan, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (12/4/2022). Pelaksanaan UU TPKS tersebut perlu didukung oleh sejumlah peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres). Setidaknya ada sepuluh aturan turunan yang diamanatkan dalam UU tersebut.
Untuk PP meliputi PP mengenai Sumber, Peruntukan, dan Pemanfaatan Dana Bantuan Korban, PP mengenai Penghapusan dan/atau Pemutusan Akses Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang Bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; PP mengenai Tata Cara Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan; PP mengenai Penyelenggaraan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan PP mengenai Koordinasi dan Pemantauan.
Sementara perpres meliputi Perpres mengenai Tim Terpadu; Perpres Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat; Perpres mengenai UPTD PPA; Perpres mengenai Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan; dan Perpres mengenai Kebijakan Nasional tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
”Pembentukan PP dan perpres akan dilakukan sesuai mekanisme yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Bintang Darmawati, yang berharap ada partisipasi masyarakat yang akan memberikan masukan-masukan konstruktif, terkait substansi PP dan perpres yang akan disusun.
Meski waktu yang diberikan untuk penyusunan peraturan pelaksanaan paling lama dua tahun sejak UU TPKS ditetapkan, Bintang Darmawati menyatakan prosesnya tidak harus menunggu selama itu. Karena itu Kementerian PPPA segera berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
”UU TPKS penantiannya panjang. Kita jangan menunggu sampai batas akhir lalu menyusun peraturan pelaksanaannya. Tidak perlu seperti itu. Mana yang bisa dikomunikasikan cepat, segera kami tempuh. Kerja kolaboratif sudah kami bangun. Jadi, semakin cepat semakin bagus. Tentu jangan sampai ada substansi yang ditinggalkan,” tutur Bintang Darmawati.
Pada saat menjadi pembicara pada Webinar ”Mengawal (Pasca) Pengesahan RUU TPKS” yang digelar Departemen Kriminologi dan Unit Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Menteri PPPA juga menegaskan kesiapan melaksanakan UU TPKS.
Oleh karena UU TPKS sangat komprehensif, maka selain menyusun aturan pelaksanaan, Kementerian PPPA akan melakukan sosialisasi dan berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga, serta pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota, untuk memastikan aspek pencegahan dan penyelenggaraan pelayanan terpadu.
”Kami juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait dana bantuan korban dan Kementerian Hukum dan HAM terkait dengan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan pendampingan korban,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej, dalam seminar tersebut, menegaskan, UU TPKS memberikan perintah kepada Presiden agar segera menyusun PP dan perpres. ”Itu yang harus kita segera susun agar UU TPKS implementatif,” katanya menegaskan.
Pasal jembatan
Hingga Rabu (13/4/2022), apresiasi terhadap DPR dan pemerintah atas lahirnya UU TPKS terus mengalir. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta agar DPR dan pemerintah memastikan aturan pengaturan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang komprehensif dalam Rancangan KUHP.
Selain itu, perlu juga dipastikan pasal jembatan yang akan memungkinkan korban pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dapat mengakses hak-hak selama penanganan kasus dan pemulihan sebagaimana dimuat dalam UU TPKS.
Setelah pengesahan UU TPKS, Komnas Perempuan akan terus mendukung upaya implementasi UU tersebut dalam mendorong perumusan peraturan turunan. ”Hal ini sejalan dengan menjalankan mandat pemantauan dalam UU TPKS sebagai mekanisme integral untuk memastikan daya guna dari payung hukum yang telah lama dinanti oleh korban kekerasan seksual dan masyarakat luas ini,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Adapun Ratna Batara Munti dari Asosiasi LBH APIK Indonesia meminta agar pemerintah dalam penyusunan peraturan turunan dari UU TPKS melibatkan masyarakat sipil, terutama terkait PP layanan terpadu, penanganan dan pemulihan, serta restitusi atau ganti rugi.
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) juga meminta pemerintah segera melakukan sosialisasi UU TPKS di daerah-daerah, organisasi, institusi agama, ataupun pada institusi pendidikan formal dan nonformal. Dengan demikian, mekanisme penunjang implementasi UU TPKS dapat terlaksana dan segera memberi manfaat bagi warga negara dan masyarakat.