Upaya membasmi terorisme tidak cukup dengan mengatasi gerakan terorisme, tetapi bagaimana pemerintah dapat menjalankan ”public policy” dengan melakukan langkah preventif melalui rekonstruksi paradigma kebangsaan.
Oleh
AJI CAHYONO
·5 menit baca
Informasi tentang terorisme harus diketahui oleh masyarakat. Pasalnya, gerakan terorisme merupakan ancaman kejahatan sistemik yang dilaksanakan secara terstruktur dan terencana. Gerakan terorisme juga dapat mengancam integrasi bangsa dengan beraneka macam propaganda dalam rangka menciptakan rekayasa konflik dari segala macam segmentasi kehidupan, baik dalam aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun segmen lainnya.
Gerakan terorisme bergulir seiring dengan perkembangan zaman, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok teroris dengan cara gerakan secara transparan ataupun senyap. Skema kejahatan terorisme saat ini cukup beragam, baik dalam skala gerakan konvensional maupun digital.
Akhir-akhir ini, pemerintah melalui Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menangkap sejumlah terduga teroris di beberapa daerah. Misalnya pada 9 Maret lalu di Sukoharjo, Jawa Tengah, Densus 88 menangkap dokter Sunardi karena diduga terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI). Kemudian pada 15 Maret, menangkap pejabat di Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang berinisial To, serta menangkap tiga orang berinisial RS, MR, dan HP yang diduga terlibat dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Kabupaten Bogor. Keesokan harinya, 16 Maret, menangkap empat terduga teroris JI di Batam.
Beragam persepsi masyarakat mendukung hingga apatis soal penangkapan terduga teroris. Mereka yang mendukung berpendapat penangkapan itu adalah agar tercipta masyarakat yang aman, damai, dan tenteram. Bagi masyarakat yang apatis, penangkapan pelaku tindakan terorisme karena teroris merupakan kejahatan atau sebagai reaksi atas perlawanan terhadap pemerintah atau negara, dan masyarakat tidak terlibat dengan permasalahan oleh pelaku teror tersebut.
Karena itu, upaya yang dilakukan tidak hanya berhenti pada upaya mengatasi gerakan terorisme, tetapi bagaimana pemerintah dapat menjalankan public policy dengan cara melaksanakan langkah preventif melalui rekonstruksi paradigma kebangsaan melalui sektor pendidikan. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan negara, yakni pemerintah dan masyarakat sipil, harus bahu-membahu untuk memperkuat basis akar rumput dan penyadaran ideologi kebangsaan yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, maupun Bhinneka Tunggal Ika.
Genealogi wahhabisme
Tantangan Indonesia sangat besar, terutama untuk mencegah faham transnasional dengan watak dan karakteristiknya. Ditinjau dalam wacana genealogi ideologi salafi, Noorhaidi dalam disertasinya yang berjudul Laskar Jihad: Islam, Militancy and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia (2005) menyebutkan bahwa akar mula gerakan sosial Laskar Jihad pada pertengahan tahun 1980-an, ketika gerakan salafi yang dikemas dalam komunitas sebagai langkah awal tumbuh pesat di Indonesia. Skema Arab Saudi yang menginginkan sebagai pemimpin negara Arab di kawasan Timur Tengah adalah sebagai spirit awal mula memosisikan sebagai kiblatnya agama Islam di mata dunia. Meskipun secara mazhab, Arab Saudi merupakan lumbung dari ajaran wahhabisme-salafi.
Kampanye global Arab Saudi dengan propaganda wahhabisme umat Islam memberikan pengaruh kepada beberapa negara di kawasan Timur Tengah. Alasan mendasarnya demi menghadang gerakan nasionalisme Arab yang memudar akibat dari kekalahan perang Arab melawan Israel pada 1967. Meskipun secara tidak sadar, perang dingin kerap terjadi antara Arab Saudi (mazhab sunni wahhabisme) dikuasai oleh keluarga Saud dan Iran (syiah itsna asyariah) yang dipimpin oleh panglima Agung Rohullah Khomeini pada 1980-an.
Gerakan wahhabisme merupakan cikal bakal lahirnya radikalisme agama hingga pintu masuknya terorisme. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2015-2020 KH Said Aqil Siradj menyebutkan bahwa gerakan salafisme wahhabi berpeluang untuk masuk pada gerakan terorisme. Hal ini ditengarai bahwa faham tersebut tergolong sebagai ajaran ekstremisme (Kompas TV : 2021), dan benihnya harus dimusnahkan melalui langkah preventif dengan penguatan kebudayaan. Gerakan tersebut mempunyai misi besar, yaitu melaksanakan jihad khilafah islamiyah dan menginginkan Indonesia sebagai negara Islam yang bersyariat. Tentu tidak sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia dalam merajut keberagaman dari segmentasi agama, budaya, ras, suku, hingga bahasa.
Ancaman negara
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia mendapatkan beberapa respons dari masyarakat, salah satunya adalah dari kelompok Islam, baik yang menerima maupun menolak (Haqqani, Islamists and Democracy: 2013). Kelompok Islam yang menerima demokrasi dikenal sebagai kelompok Islam yang moderat, sedangkan yang menolak termasuk dari kelompok yang fundamentalis, hingga diwujudkannya dalam gerakan revivalisme, reformisme, atau radikalisme dalam gerakan Islam. Kelompok Islam fundamentalis yang dimaksud adalah Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kesalahfahaman dalam tafsir demokrasi diperalat untuk melancarkan segala macam aksi teror. Misalnya ledakan bom Gereja Katedral di Makasar, pengeboman di kawasan tempat ibadah Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Surabaya Jawa Timur.
Selama masa pandemi Covid-19, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis daftar dugaan penyebaran paham radikalisme dan terorisme di dunia maya. Dalam rilisnya melalui Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar (virtual online pada acara ”The Second United Nation High-Level Conference of Heads of Counter-Terrorism Agencies of Member State” in New York, 30 Juni 2021) mengatakan bahwa internet menjadi tantangan besar bagi negara dalam melaksanakan langkah pencegahan dan penanggulangan terorisme. Seperti halnya aktivitas di internet menciptakan peristiwa sosok anak muda perempuan melancarkan aksi teror di Mabes Polri, diketahui bahwa wanita tersebut terpapar paham ISIS. Dalam kurun waktu 2016 hingga 2020, menurut dia sebanyak 40 orang yang ditangkap terkait terorisme (BNPT: 2021).
Peran negara dalam rangka mengantisipasi gerakan terorisme melalui Densus 88, kali ini pendekatan yang dilakukan, pertama, pendekatan ideologi dan keagamaan. Kedua, pendekatan sosiokultural dan politis. Ketiga, pendekatan keamanan dan yuridis. (FGD di The Habibie Center, Jakarta, 23 Mei 2017). Oleh karena itu, penting negara dan masyarakat menjalankan tugas dan fungsinya dalam rangka memberantas terorisme, yakni dengan cara pencegahan, penanganan, dan pemulihan.
Aji Cahyono, Mahasiswa Master Bidang Kajian Timur Tengah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga