Dalam dua dekade terakhir, ruang siber telah menjadi area operasi jaringan teror dalam menyebarluaskan pengaruhnya. Aksi teror juga menyebar melalui media massa, seperti televisi satelit, internet, dan media sosial.
Oleh
ALEXANDER SABAR
·6 menit baca
Dalam dua dekade terakhir, ruang siber telah menjadi area operasi jaringan teror dalam menyebarluaskan pengaruhnya. Aksi teror juga menyebar melalui media massa, seperti televisi satelit dan internet. Sementara media sosial lebih banyak digunakan jaringan teror untuk menebar propaganda dan perekrutan. Semua ini ditujukan untuk menyebarkan rasa takut (fear mongering).
Di Indonesia, fenomena terorisme siber bukanlah hal baru. Banyak aksi teror terjadi lantaran persebaran konten provokatif, agitatif, dan propaganda (PAP) di dunia siber. Hal ini juga berakibat langsung pada lahirnya teroris mandiri (serigala tunggal, lone wolf), yakni aktor teror yang bergerak sendiri akibat pengaruh konten PAP di internet.
Catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan dalam lima tahun terakhir telah terjadi enam aksi teror yang dilakukan oleh lone wolf. Mereka mengalami radikalisasi dari konten PAP jaringan teror di internet. Terbaru, pada Maret lalu, seorang perempuan lone wolf menyerang Mabes Polri. Pada 2018, dua perempuan hendak menyerang Mako Brimob karena terpapar radikalisme di media sosial.
Mereka mengalami radikalisasi dari konten PAP jaringan teror di internet.
Sementara dalam hal perekrutan dan propaganda, BNPT menemukan kasus seorang remaja Indonesia usia 16 tahun yang berhasil membujuk keluarganya untuk pergi ke Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)/Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Ia membawa serta keluarganya hijrah ke Suriah, termasuk ayahnya yang seorang pejabat pegawai negeri sipil (PNS), setelah terpengaruh konten radikal terorisme di Facebook.
Kasus itu telah merefleksikan fakta bahwa keterkaitan antara propaganda jaringan teror di media sosial dan lone wolf merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan.
Di samping itu, internet dan media sosial juga telah menjadi bagian integral dalam perekrutan yang dilakukan jaringan teror. Tentunya, jaringan teror tidak akan hanya berhenti memanfaatkan teknologi melalui media sosial dalam pergerakannya.
Ke depan, jaringan teror dipastikan akan menggunakan perkembangan teknologi lain untuk terus bergerak.
Dalam gelombang terorisme modern, terorisme siber menjadi bagian dari gelombang keempat. Gelombang pertama ditandai dengan kelompok anarkis di pengujung tahun 1800-an. Gelombang kedua terjadi di era kolonial. Lalu, gelombang ketiga terjadi di era perang dingin. Adapun gelombang keempat diwarnai dengan aksi terorisme yang mencatut agama. Terorisme siber menjadi alat penting yang digunakan kelompok teror di gelombang keempat.
Terjadinya aksi lone wolf, propaganda, perekrutan, bahkan pelatihan anggota kelompok teroris telah menunjukkan bagaimana pemanfaatan ruang siber nyata digunakan oleh kelompok teror di gelombang empat ini. Bentuk-bentuk terorisme siber itu pun terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi.
Jika berbicara potensi, potensi ancaman jaringan teror melalui pemanfaatan teknologi juga semakin masif. ”Tomorrow’s terrorist may be able to do more damage with a keyboard than with a bomb”. Teroris di masa depan bisa lebih berbahaya dan lebih merusak dengan keyboard daripada bom (US National Academy of Science, 1990).
Jika saat ini jaringan teror mengandalkan media sosial dalam pergerakan mereka, ke depan bukan tak mungkin mereka akan memanfaatkan fitur-fitur yang sehari-hari digunakan manusia.
Streaming film dan siniar (podcast) bisa jadi alat propaganda. Permainan video dengan enkripsi dan fitur obrolan bahkan bisa dimanfaatkan jaringan teror untuk berkomunikasi dan merekrut anggota.
Semua itu bisa diakses dengan mudah oleh siapa saja yang terhubung dengan internet. Dengan perkembangan teknologi yang diikuti dengan berkembangnya modus operandi jaringan teror, bukan hal yang mustahil pula apabila kelompok teror membuat platform tersendiri.
Bahkan, kita perlu mewaspadai kelompok teror bisa mengembangkan kecerdasan artifisial (artificial intelligence) untuk melancarkan aksi mereka. Dengan adanya era big data, jaringan teror juga berpotensi memanfaatkan data itu untuk kepentingan mereka.
Melihat besarnya ancaman itu, bukan tidak mungkin terorisme siber menjadi gelombang tersendiri dalam terorisme modern, gelombang kelima. Untuk itu, ancaman terorisme siber harus diantisipasi dan menjadi perhatian serius semua negara.
Perkembangan teknologi tidak boleh dimanfaatkan oleh jaringan teror dan menjadi bumerang. Saat ini, negara sedang berpacu dengan waktu dalam menghadapi terorisme siber.
Untuk itu, ancaman terorisme siber harus diantisipasi dan menjadi perhatian serius semua negara.
Potensi aksi setelah pandemi
Meredanya pandemi Covid-19 diikuti oleh penyelenggaraan berbagai acara internasional di Indonesia. Tercatat lebih dari 25 acara internasional akan diselenggarakan di Indonesia, antara lain World Superbike Mandalika 2021 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali.
Ini tentunya diiringi oleh berbagai potensi ancaman terorisme. Melonggarnya berbagai pembatasan setelah pandemi akan diikuti meningkatnya pergerakan jaringan teror.
Terorisme siber menjadi salah satu ancaman yang bisa mengganggu pelaksanaan acara-acara itu. Bentuknya bisa berupa penggunaan aplikasi dan media sosial untuk koordinasi pergerakan hingga hoaks dan konten propaganda yang bisa memicu lone wolf.
Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), saat ini ada 197 juta warga Indonesia yang menggunakan internet. Dengan fakta-fakta ini, tak diragukan lagi Indonesia bakal menjadi sasaran empuk terorisme siber.
Sayangnya, pemerintah saat ini belum menunjukkan keseriusan dan kesiapan dalam menghadapi gelombang terorisme baru, yakni dalam ruang siber.
Sejauh ini, upaya yang dilakukan lebih bersifat reaktif dalam bentuk patroli siber (cyber patrol) yang ditindaklanjuti dengan tindakan take down dan penangkapan.
Hingga Oktober 2021, Kementerian Kominfo bekerja sama dengan BNPT telah melakukan penanganan pada 22.665 konten radikalisme dan terorisme. BNPT sendiri baru mengajukan 24 permohonan take down akun media sosial dan satu laman web.
Harus diakui, penindakan memang diperlukan. Namun, upaya tersebut masih belum cukup. Pemerintah tak boleh hanya menggunakan pendekatan reaktif untuk meredam potensi ancaman ini, tetapi juga harus aktif memerangi terorisme siber.
Dalam hal propaganda, misalnya, upaya kontranarasi harus lebih aktif dilakukan pemerintah daripada yang dilakukan oleh jaringan teror. Teknologi yang lebih maju tentunya harus dikuasai dalam menghadapi terorisme siber.
Kita dapat memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan untuk menganalisis pola-pola aktivitas terorisme. Ada banyak teknologi yang dapat dimanfaatkan, mulai dari kemampuan rekognisi wajah hingga biometrics mining.
Selain upaya-upaya itu, aspek legal dalam penanggulangan terorisme siber juga harus diperkuat. Selama ini, payung hukum yang digunakan dalam terorisme siber hanya UU No 5 Tahun 2018, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU No 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Regulasi ini belum secara rinci dan khusus dalam menghadapi ancaman terorisme siber. Peran pihak nonpemerintah dalam menghadapi terorisme siber secara khusus juga belum diatur di lingkup hukum kita.
Amerika Serikat memiliki pengaturan yang komprehensif mengenai terorisme siber yang termuat dalam USA Patriot Act. Regulasi itu tak hanya mengatur aspek penegakan hukum, tetapi juga peran intelijen dan keterlibatan pihak swasta dalam penanganan terorisme siber.
Indonesia bisa mencontoh membuat payung hukum yang secara khusus mengatur terorisme siber sebagaimana dilakukan negeri Paman Sam. Indonesia belum terlambat untuk melakukan pembenahan dalam mengantisipasi dan menanggulangi ancaman terorisme siber, Pemerintah perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk membersihkan ruang siber kita dari konten PAP.
Alexander Sabar,Mahasiswa Doktoral Program Kriminologi Universitas Indonesia dan Alumnus FBI National Academy Session 249th, AS, 2012