Jenama Ibu Kota Nusantara dapat direkatkan tafsir lahirnya sebuah pintu gerbang kebudayaan baru guna menggalang Indonesia baru. Karena itu agar memiliki kekuatan yang bersifat humanis dan berbudaya, perlu kita dukung.
Oleh
SUMBO TINARBUKO
·4 menit baca
Ketika DPR menjalankan kerja politik lewat upaya ketok palu untuk menyepakati RUU IKN menjadi undang-undang, kemudian diikuti dengan menjadikan diksi Nusantara sebagai nama ibu kota baru negara Republik Indonesia yang berkekuatan hukum mengikat. Yang terjadi kemudian, warga masyarakat dan warganet terbelah dalam dua kubu berseteru.
Kelompok kontra bersitegang melawan kelompok pro. Mereka beradu argumentasi dalam wujud konflik polemik anggitan opini di media massa cetak, elektronik, dan media daring. Lebih seru lagi tercipta perang status dan komentar sengit di media sosial (medsos).
Berbagai unggahan dengan landasan referensi plus catatan sejarah sepihak berhamburan di linimasa medsos. Lawannya postingan serta komentar bernada waton sulaya dalam kotak tebaran ideologi nyinyirisme.
Jejak digital mencatat perang diksi Nusantara yang mengerucut pada beda pendapat atas makna Nusantara. Kelompok kontra merekatkan makna konotasi sekaligus mitos Nusantara sebagai representasi Jawa. Sementara kumpulan orang yang pro sembari menukil catatan sejarah asal-usul diksi Nusantara mengartikannya sebagai nama asli Kutai, Kalimantan Timur.
Perang kuasa makna atas diksi Nusantara kemudian digoreng menjadi bagian dari komoditas komunikasi politik. Kegaduhan yang berujung pada meningkatnya tensi komunikasi politik menjadi sukar dikendalikan pergerakannya di linimasa medsos.
Lalu apa yang terjadi? Lahirlah sengketa kuasa makna diksi Nusantara atas keberadaan nama ibu kota. Peristiwa miskomunikasi di medsos menyebabkan muncul fenomena gagal paham komunikasi publik.
Fenomena gagal paham komunikasi ini sejatinya bersumber dari perbedaan pemahaman dari kedua belah pihak yang sedang berseteru atas makna pesan verbal dan pesan visual diksi Nusantara. Sengketa kuasa makna yang dipamerkan kelompok pro versus kontra dipaksa menjadi sajian buruk yang harus dikonsumsi warga masyarakat bersama warganet di medsos.
Sebaliknya, bagi kelompok tertentu fenomena gagal paham komunikasi. Sengketa kuasa makna diksi Nusantara justru sangat membahagiakan dalam konteks perolehan atensi like jempol biru, share, dan komentar. Mengapa membahagiakan? Karena pengelola medsos lewat jejak algoritma akan dikerumuni iklan produk barang dan jasa. Dari sanalah fulus mengucur deras sebagai darah penghasilan kapital yang menggiurkan.
Fenomena gagal paham komunikasi ini sejatinya bersumber dari perbedaan pemahaman dari kedua belah pihak yang sedang berseteru atas makna pesan verbal dan pesan visual diksi Nusantara.
Dalam perspektif budaya visual, sosok gagal paham komunikasi merupakan representasi pelakon antagonis. Mereka selalu mengejawantah dalam setiap proses komunikasi publik. Apalagi, proses komunikasi yang tidak sejalan bagi peruntukan komunikasi itu sendiri.
Dengan demikian, sosok gagal paham komunikasi yang mengambinghitamkan kuasa makna senantiasa menjadi musuh bersama umat manusia. Dalam pergerakannya, mereka senantiasa menebar energi negatif. Medsos dijadikan medium untuk mengumandangkannya. Hasilnya, warganet dan warga masyarakat yang tidak memiliki kesadaran realitas sosial menjadi sasaran adu domba.
Jejak peradaban baru
Terlepas dari pro versus kontra atas fenomena sengketa kuasa makna diksi Nusantara, fakta hukum UU IKN menegaskan diksi Nusantara resmi ditetapkan sebagai nama baru IKN Republik Indonesia. Artinya, polemik opini, perdebatan komentar, dan unggahan status dengan intonasi nyinyirisme di medsos ada baiknya disudahi.
Suka tidak suka, rakyat Indonesia di jagat raya dan warganet di jagat maya akan memasuki peradaban baru. Jejak peradaban baru sudah menorehkan catatannya atas peristiwa pindahnya alamat Ibu Kota Republik Indonesia.
Catatan peradaban baru itu menjadi bagian dari jenama ibu kota. Untuk itu, Presiden, DPR, pejabat penyelenggara negara, dan partai politik bersama rakyat Indonesia wajib memantapkan repositioning ini lewat jenama baru Ibu Kota Nusantara.
Momentum jenama Ibu Kota Nusantara diharapkan dapat mengokohkan repositioning Indonesia. Keberadaannya harus mampu mendongkrak status sosial budaya lewat tingkatan kasta lebih tinggi. Peristiwa ini didedikasikan sebagai upaya memuliakan sekaligus memberikan rasa keadilan kepada rakyat Indonesia atas pembagian kue ekonomi, sosial, dan budaya.
Artinya, jenama Ibu Kota Nusantara menjadi jejak beradaban baru berupa penggalian nilai peradaban dan kebudayaan masa lalu untuk menjadi pijakan masa kini sekaligus inspirasi dan motivasi memasuki peradaban masa depan.
Dengan demikian jenama Ibu Kota Nusantara dapat difungsikan sebagai jembatan interaksi kebudayaan antargenerasi. Baik generasi kolonial, generasi milenial maupun gen-Z dan generasi alpha. Mengapa hal ini menjadi penting? Sebab, momentum jenama Ibu Kota Nusantara dapat direkatkan tafsir lahirnya sebuah pintu gerbang kebudayaan baru guna menggalang Indonesia baru.
Salah satu caranya lewat konsep strategi kebudayaan yang ditempuh dengan menengok masa lalu. Kemudian puncak kejayaan peradaban masa lalu diparafrasekan menjadi fondasi hidup dan kehidupan masa kini. Selanjutnya inti peradaban masa lalu dan saripati peradaban masa kini dijadikan citra cermin sekaligus referensi kebudayaan. Semua itu dioplos secara egaliter sebagai modal sosial untuk mengembangkan peradaban bangsa Indonesia menuju masa depan gemilang.
Supaya tujuan mulia di atas tercapai dengan mulus, diksi Nusantara sebagai sebuah jenama ibu kota sengaja dihadirkan. Semua itu direngkuh sedemikian rupa guna merepresentasikan kualitas nilai atas bangsa dan negara Republik Indonesia.
Terpenting, secara konseptual eksistensi jenama Nusantara diupayakan secara tulus hadir sebagai unsur pembeda signifikan antara Jakarta (ibu kota lama) dengan Nusantara (ibu kota baru).
Untuk itu, agar jenama Ibu Kota Nusantara memiliki kekuatan yang bersifat humanis dan berbudaya, perlu dibuat kesepakatan bersama dan wajib didukung seluruh rakyat Indonesia. Sepakat?
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual Komunikasi Publik dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta; linktr.ee/sumbotinarbuko; Instagram/Facebook/Twitter/Youtube/Linkedin: @sumbotinarbuko