Pembelajaran dari Vonis Herry Wirawan
Meski melahirkan polemik, vonis terhadap pelaku pemerkosan 13 santriwati di Bandung memberikan pembelajaran pemaknaan tentang restitusi dan momentum pengingat tentang perlunya pelibatan pemda dalam penanganan korban.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung memvonis Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di Bandung, dengan hukuman penjara seumur hidup. Majelis hakim juga memerintahkan negara/Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak membayar restitusi untuk korban sebesar Rp 332.527.186.
Meskipun putusan tersebut melahirkan polemik, setidaknya terdapat dua pembelajaran yang dapat dipetik, yaitu pemaknaan tentang restitusi dan momentum pengingat tentang perlunya pelibatan pemerintah daerah dalam penanganan korban tindak pidana.
Restitusi dibayar pihak ketiga
Dalam amar putusannya, majelis hakim PN Bandung memerintahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) membayar restitusi sebesar Rp 332.527.186 untuk ke 13 korban. Alasannya karena terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup dan, merujuk Pasal 67 KUHP, pidana seumur hidup tidak boleh ditambah dengan pidana tambahan.
Baca Juga: Penjara Seumur Hidup bagi Pelaku Kekerasan Seksual di Bandung
Berdasarkan pengalaman Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), putusan tersebut merupakan putusan pengadilan yang pertama kali membebankan pembayaran restitusi kepada pihak ketiga pada perkara dengan terpidana orang dewasa. Berbeda apabila terdakwanya adalah anak-anak. Berdasarkan Pasal 21 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017, memang dimungkinkan pembayaran restitusinya dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu orangtua anak.
Sampai saat ini terdapat tiga undang-undang yang mengatur tentang restitusi di Indonesia, yaitu UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU No 21/2007 tentang Perdagangan Orang. Dalam UU No 31/2014 dikenal pembebanan restitusi kepada pihak ketiga (Pasal 1 angka 11). Dalam UU No 35/2014 tidak dikenal pembebanan restitusi kepada pihak ketiga (Pasal 71 D Ayat 4). Dalam UU No 21/2007 juga tidak dikenal pembebanan restitusi pada pihak ketiga (Pasal 1 angka 13, Pasal 48-50).
Dari perspektif yurisdiksi, UU No 31/2014 berlaku untuk korban semua jenis tindak pidana sebagaimana disebutkan di dalam UU tersebut. UU No 35/2014 berlaku apabila korbannya masih berusia anak, sedangkan UU No 21/2007 diterapkan apabila perkaranya adalah tindak pidana perdagangan orang.
Putusan hakim PN Bandung yang membebankan pembayaran restitusi kepada pihak ketiga patut diapresiasi. Putusan ini dapat menjadi jawaban sementara atas pertanyaan kapan dan siapakah pihak ketiga yang dimaksud dalam UU No 31/2014, mengingat UU tersebut tidak memberi penjelasan yang memadai.
Tentang kapan pihak ketiga dibebani kewajiban membayar restitusi, vonis PN Bandung menetapkan bahwa pembebanan tersebut perlu dilakukan ketika hukuman kepada terdakwa sudah maksimal. Secara a-contrario berarti bahwa, jika hukuman atas terdakwa belum maksimal, restitusi belum/tidak perlu dibebankan kepada pihak ketiga.
Tentang siapakah yang dimaksud dengan pihak ketiga, vonis PN Bandung menafsirkan bahwa pihak ketiga tersebut adalah negara/KPPPA. Apakah ini tepat? Menurut penulis, hal tersebut tidak tepat. Alasannya karena pidana/criminal sentencing melekat kepada pelakunya dan negara/KPPPA dalam perkara a quo bukanlah pelaku (pleger) atau peserta pelaku medepleger. Pembebanan restitusi kepada negara dapat dibenarkan apabila pelaku dan/atau keluarganya dinyatakan tidak mampu secara ekonomi berdasarkan putusan pejabat yang berwenang.
Baca Juga: Vonis Berat bagi SPM dan Momentum Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual
Pembebanan restitusi kepada pihak ketiga sebetulnya sudah dibayangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 1985 ketika dirumuskan Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power. Dalam basic principle yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah negara, yaitu apabila pelaku kejahatan adalah public official dan/atau bertindak dalam kapasitas sebagai public official.
Meskipun pembebanan restitusi kepada negara/KPPPA dalam perkara a-quo adalah tidak tepat, bukan berarti bahwa vonis restitusi tersebut otomatis tidak dapat dilaksanakan. Apabila jaksa dan/atau terpidana dalam perkara a-quo tidak mengajukan banding dalam tenggat tujuh hari, vonis restitusi tersebut menjadi inkracht atau berkekuatan hukum tetap dan mempunyai kekuatan executorial.
Terlepas dari ketidaktepatan tersebut, vonis perkara a-quo merupakan contoh putusan hakim yang berperspektif korban. Artinya, keputusan tersebut berpihak kepada kepentingan korban. Putusan ini sejalan dengan marwah UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang di dalam penjelasan umumnya menerangkan bahwa sistem peradilan pidana telah mengalami pergeseran dari offender oriented menjadi victim oriented. Pergeseran ini juga ditandai dengan penerapan restorative justice dalam peradilan pidana.
Terlepas dari ketidaktepatan tersebut, vonis perkara a-quo merupakan contoh putusan hakim yang berperspektif korban.
Vonis tersebut juga dapat menginspirasi perumusan aturan tentang restitusi dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang saat ini tengah gencar dibahas. Korban tindak pidana menantikan hadirnya regulasi tentang kapan restitusi dapat dibebankan kepada negara.
Berdasarkan pengalaman LPSK banyak sekali terpidana yang pada akhirnya menyatakan tidak mampu membayar restitusi sehingga korban tidak mendapat apa-apa. Pada konteks ini, sebaiknya negara mengambil alih kewajiban tersebut. Adapun dana untuk membayar restitusi dapat diambilkan dari denda yang dibayarkan oleh terpidana dalam sistem peradilan pidana. Kemudian dilakukan pencabutan atas hak terpidana untuk mendapatkan remisi atau hak-hak lainnya.
Tanggung jawab pemerintah daerah
Vonis hakim dalam perkara a-quo juga memerintahkan pemerintah daerah (pemda) melalui UPTD PPA untuk merawat dan mengasuh sementara waktu sembilan anak yang dilahirkan korban. Perawatan dan pengasuhan sementara ini dilakukan sampai dengan korban mampu merawat dan mengasuhnya sendiri.
Terlepas dari adanya kritik terhadap vonis menyangkut pengasuhan anak tersebut, penulis mengapresiasi vonis tersebut. Alasannya, vonis tersebut dapat menjadi momentum untuk mengingatkan kembali pemda akan kewajibannya untuk turut menangani korban tindak pidana (amanat UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial).
Pasal 4 UU No 11/2009 mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pasal 5 Ayat (2) mengamanatkan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kriteria masalah sosial, antara lain korban tindak kekerasan. Adapun maksud atau tujuan penyelenggaraan rehabilitasi sosial adalah memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial (Pasal 7 Ayat 1), termasuk di dalamnya adalah korban tindak kekerasan dan perdagangan orang (penjelasan Pasal 7 Ayat 1 UU No 11/2009).
Merujuk pada ketentuan Pasal 24 dan 25 undang-undang yang sama, penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut termasuk menjadi tanggung jawab pemda yang penyelenggaraannya meliputi, antara lain, mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraannya dalam APBN.
Baca Juga: Catatan Kelam Kekerasan Seksual pada Anak
Keterlibatan pemda dalam penanganan korban tindak pidana perlu terus ditingkatkan karena saat ini keterlibatannya masih relatif kecil. Keterlibatan tersebut dapat dilakukan misalnya dengan cara menggratiskan biaya perawatan medis dan/atau psikologis di rumah sakit umum daerah (RSUD) bagi korban tindak pidana. Selama 2021 LPSK memberikan bantuan medis bagi sekitar 558 korban kejahatan melalui kerja sama dengan lebih dari 50 rumah sakit pemerintah dan swasta yang tersebar di 21 provinsi.
Penggratisan biaya medis bagi korban tindak pidana oleh pemda merupakan langkah yang dinantikan oleh para korban, mengingat mereka tidak dapat dilayani oleh pemerintah melalui Jaminan Kesehatan. Pasal 52 Peraturan Presiden No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan menentukan bahwa pelayanan kesehatan yang tidak dijamin meliputi, antara lain, pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, tindak pidana perdagangan orang, dan lain-lainnya.
Vonis terhadap Herry Wirawan bisa menjadi inkracht, bisa juga dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Apa pun jadinya nanti, vonis tersebut telah memberikan pembelajaran yang berharga bagi kita.
Antonius PS Wibowo, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban