Vonis Berat bagi SPM dan Momentum Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual
Dikabulkannya restitusi dan putusan hukuman 15 tahun penjara kepada SPM menandakan majelis hakim juga memperhatikan kerugian yang dialami para korban.
Oleh
AGUIDO ADRI
·6 menit baca
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi putusan hakim Pengadilan Negeri Depok, Rabu (6/1/2021), dalam perkara percabulan terhadap anak-anak Gereja Herkulanus, Depok. Putusan hakim tersebut dianggap sudah memperhatikan kepentingan korban. Hal itu tertuang dalam dikabulkannya tuntutan ganti rugi dari pelaku untuk korban (restitusi) oleh majelis hakim.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok memutuskan terdakwa SPM (42), pembina kegiatan remaja di Gereja Herkulanus, sekaligus pembina para korban, bersalah dan dihukum pidana penjara 15 tahun serta denda Rp 200 juta. SPM juga harus membayar ganti rugi (restitusi) sebesar Rp 6.524.000 subsider 3 bulan penjara, lalu ganti rugi korban kedua senilai Rp 11.520.639 subsider 3 bulan penjara.
”Semoga semakin banyak hakim yang turut mempertimbangkan kepentingan korban dalam memberikan putusan. Dikabulkannya restitusi menandakan majelis hakim dalam putusannya, selain melihat hukuman kepada pelaku, juga memperhatikan kerugian yang dialami para korban. Ini perlu diapresiasi,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di Jakarta, Kamis (7/1/2021) malam.
Edwin mengatakan, restitusi untuk para korban, yang LPSK sampaikan kepada jaksa penuntut umum, sesuai dengan Pasal 7A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam perkara kasus kekerasan seksual, LPSK menghitung restitusi dari komponen berupa kehilangan penghasilan orangtua karena ada perkara kasus, biaya transportasi, serta biaya konsumsi selama mengikuti proses peradilan, dan penderitaan yang dimasukkan dari proyeksi biaya pemulihan psikologis.
Layanan-layanan tersebut diberikan agar korban bisa mengungkap peristiwa yang dialaminya, sementara di sisi lain trauma psikologisnya pun dipulihkan.
Selain memberikan layanan terkait restitusi, LPSK juga memberikan layanan pemenuhan hak prosedural dan layanan rehabilitasi psikologis kepada dua anak yang menjadi korban dalam perkara tersebut. Layanan tersebut diberikan sejak bulan Juli 2020 agar trauma psikologis yang mereka alami bisa terpulihkan.
Sementara layanan pemenuhan hak prosedural diberikan agar hak para korban selama proses peradilan, baik saat diperiksa penyidik hingga saat dimintai keterangan di pengadilan, bisa tetap terpenuhi.
”Layanan-layanan tersebut diberikan agar korban bisa mengungkap peristiwa yang dialaminya, sementara di sisi lain trauma psikologisnya pun dipulihkan,” ungkap Edwin.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar menambahkan, selain untuk memulihkan psikologis korban, layanan psikologis juga penting dalam proses peradilan. Penguatan psikologis akan membuat korban mau bersaksi dan mengungkap perkara.
”Bahwa pada awalnya para korban berat untuk memberikan kesaksian. Namun, dengan adanya penguatan secara psikologis dari psikolog, mereka mau bersaksi sehingga peristiwa ini semakin terungkap,” ujar Livia.
LPSK juga mengucapkan terimakasih kepada pihak pendamping, baik kuasa hukum korban, pastor dan biarawati paroki Herkulanus Depok, maupun Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang sangat membantu korban. Termasuk turut memberikan dukungan kepada korban dalam perkasa kasus.
”Dukungan dari masyarakat sekitar korban penting agar korban tetap semangat dalam menjalani proses peradilan dan meneruskan kehidupannya,” ujar Livia.
LPSK berharap dalam perkara kekerasan seksual terhadap anak agar hakim mau memperberat hukuman kepada pelaku. Seperti tidak memberikan hak-hak sebagai narapidana kepada terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak, smisalnya remisi dalam menjalani pidananya. Termasuk juga beberapa hukuman tambahan dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2020, yakni pemasangan alat pendeteksi dan pengumuman identitas pelaku.
”Meskipun kontroversial, jika memang dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan juga memberikan informasi kewaspadaan kepada masyarakat, hukuman tambahan sebenarnya perlu untuk para pelaku kekerasan seksual terhadap anak,” kata Edwin.
Diberitakan sebelumnya di Kompas, sidang ke-12 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak misdinar Gereja Herkulanus, Depok, yang seharusnya digelar pada 16 Desember 2020, akhirnya dilaksanakan 6 Januari lalu. Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Majelis Nanang Herjunanto serta hakim anggota Forci Nilpa Darma dan Nugraha Medica Prakasa mendakwa SPM melakukan kekerasan seksual terhadap dua anak korban di bawah umur.
Pada saat sidang, SPM tidak dihadirkan langsung di ruang. Ia mengikuti sidang secara virtual dari Polres Depok. Dalam bacaan putusan, Nanang mengatakan, SPM bersalah melakukan tindak pidana kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak-anak atau berbuat cabul.
Sebagai pendidik, perbuatan SPM dipandang sebagai tindakan banyak kejahatan, seperti dalam Pasal 82 Ayat 2 juncto 76 E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SPM dengan pidana penjara 15 tahun dengan denda Rp 200 juta,” kata Nanang mengetuk palu, Rabu (6/1/2021).
Seusai sidang, kedua orangtua korban BA dan J mengatakan menghormati putusan hakim dan aturan undang-undang yang menjatuhkan hukuman maksimal kepada SPM.
”Bahwa ini belum selesai, masih ada korban lainnya yang harus kita kawal bersama. Kita lindungi anak-anak. Selain itu, tugas lainnya adalah menjaga anak-anak kita tetap tumbuh, berkembang, dan melewati masa sulit ini. Terima kasih pula untuk gereja dari awal hingga saat ini yang mendukung dan membantu kami keluarga,” kata orangtua BA dan J.
Sementara itu, menurut kuasa hukum anak-anak misdinar Gereja Herkulanus, Azaz Tigor Nainggolan, putusan hakim sudah tepat berdasarkan undang-undang perbuatan pelaku melukai korban, keluarga, dan menjadi ancaman dan prilaku jelek untuk masa depan anak-anak.
”Tuntutan awal 11 tahun penjara, tetapi hakim menvonis 15 tahun penjara. Saya lihat ini sudah tepat, hakim memberikan hukuman maksimal. Dia pembimbing, itu yang juga memberatkan hukuman,” kata Tigor.
Hukum berat predator seksual
Tigor melanjutkan, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hukuman Kimia pada Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak, yang dinyatakan berlaku sejak 7 Desember 2020 oleh Presiden Joko Widodo merupakan dukungan dan upaya negara melindungi anak dari kejahatan kekerasan seksual meski aturan itu mengundang pro-kontra di sejumlah kalangan.
Dalam PP No 70/2020 dinyatakan bahwa para pelaku kekerasan seksual diberikan hukuman kebiri kimia selama 2 tahun melalui suntikan setelah menjalankan hukuman pokok penjaranya. Proses pelaksanaan suntikan itu pun dilakukan setelah melalui beberapa proses pemeriksaan dan penetapan pelaksanaannya.
”Apa bedanya suntik kebiri kimia dengan suntikan KB dan vaksin? Mengapa menolak upaya negara melindungi anak dari kejahatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya,” kata Tigor merespons sikap beberapa orang yang mempersoalkan hukuman kebiri kimia yang akan dilakukan kepada para penjahat kekerasan seksual pada anak.
Pelaksanaan hukuman, termasuk hukuman kebiri kimia, adalah kewajiban negara untuk melindungi anak-anak bangsa ini dari para paedofil, predator anak yang berada di sekitarnya.
Menurut Tigor, ada beberapa penolakan terhadap rencana pemerintah menerapkan hukuman suntik kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Padahal, pemberian dan pelaksanaan kebiri kimia ini pun hanya bersifat sementara, yakni 2 tahun. Sifat sementara ini ditujukan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian agar si pelaku kekerasan seksual pada anak tidak melakukan kejahatan yang sama.
Prinsip hukuman dari PP No 70/2020 adalah untuk mencegah, mengendalikan, memutus rantai kejahatan, dan melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Pemberian hukuman ini adalah otoritas Negara.
"Nah, pemberian atau pelaksanaan hukuman, termasuk hukuman kebiri kimia, adalah kewajiban negara untuk melindungi anak-anak bangsa ini dari para paedofil, predator anak yang berada di sekitarnya. Ke mana saja kita selama ini ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual? Tahukan kita, betapa angka kejahatan seks pada anak di Indonesia meningkat terus? Masalah kekerasan seksual pada anak di Indonesia sudah sangat memprihatinkan angka kejadiannya,” kata Tigor.
Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, lanjut Tigor, mencatat, sepanjang tahun 2020 terjadi 1.088 kasus kekerasan seksual pada anak dengan 1.656 anak yang menjadi korban. Indonesia saat ini berada pada situasi darurat kasus kekerasan seksual pada anak.
”Apakah kita mau mendiamkan keadaan berbahaya ini dan menolak upaya negara mau bekerja secara baik melindungi anak-anak? Kita para orang dewasa atau orangtua memiliki kewajiban menjaga, membesarkan, dan mendidik anak-anak secara baik dibantu oleh negara. Mari lindungi anak kita dan negara memiliki kewajiban melindungi setiap warga negaranya dari kejahatan yang merusak masa depannya,” ujar Tigor.