Predator Seksual di Gereja Herkulanus Divonis 15 Tahun Penjara
Korban dan keluarganya mengapresiasi keputusan hakim. Namun, perjuangan belum selesai, masih ada korban lainnya yang harus dikawal bersama. Publik harus lindungi anak-anak.
Oleh
AGUIDO ADRI
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Hakim Pengadilan Negeri 1 Depok Kelas 1 B, Jawa Barat, menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada SPM, pelaku kekerasan seksual anak-anak Gereja Herkulanus, Rabu (6/1/2021).
Sidang ke-12 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak misdinar Gereja Herkulanus Depok, yang seharusnya digelar pada 16 Desember 202, akhirnya dilaksanakan siang tadi. Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Majelis Nanang Herjunanto, serta hakim anggota Forci Nilpa Darma dan Nugraha Medica Prakasa, mendakwa SPM melakukan kekerasan seksual terhadap dua anak korban di bawah umur.
Pada saat sidang, SPM tidak dihadirkan langsung di ruang. Ia mengikuti sidang secara virtual dari Polres Depok. Dalam bacaan putusan, Nanang mengatakan, SPM bersalah melakukan tindak pidana kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak-anak atau berbuat cabul.
Sebagai pendidik, perbuatan SPM dipandang sebagai beberapa kejahatan seperti dalam Pasal 82 Ayat 2 juncto 76 E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2020 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SPM dengan pidana penjara 15 tahun dengan denda Rp 200 juta. (Nanang Herjunanto)
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SPM dengan pidana penjara 15 tahun dengan denda Rp 200 juta,” kata Nanang mengetuk palu, Rabu (6/1/2021).
Selain pidana penjara dan denda, SPM juga mendapat pidana tambahan berupa pembayaran restribusi kepada korban J (13) sebesar sekitar Rp 6,5 juta dan kepada BA (14) sebesar Rp 11 juta.
Terhadap putusan tersebut, kuasa hukum SPM, Violen dan Andrio Sinaga, mengatakan masih akan menimbang untuk banding hukuman yang dijatuhkan kepada SPM.
Dalam persidangan, lanjut Violen, jika di luar negeri peradilan seperti kasus kekerasan seksual sebenarnya ada peradilan khusus. Untuk itu, kuasa hukum SPM mengimbau supaya psikiater forensik atau saksi ahli tetap bisa masuk ke pengadilan.
”Psikiater forensik supaya bisa memeriksa segala perkara seperti ini. Psikiater forensik diperlukan untuk pembuktian. SPM tidak pernah lari dan mengikuti proses hukum. Kami pertimbangkan dahulu (banding),” kata Violen.
Sementara bagi keluarga korban, putusan hakim disambut tangis haru. Suster pendamping dan orangtua memeluk BA dan J yang tak kuasa menahan tangis.
Bahwa ini belum selesai, masih ada korban lainnya yang harus kita kawal bersama. Kita lindungi anak-anak.
Seusai sidang, kedua orangtua BA dan J mengatakan menghormati putusan hakim dan aturan undang-undang yang menjatuhkan hukuman maksimal kepada SPM.
”Bahwa ini belum selesai, masih ada korban lainnya yang harus kita kawal bersama. Kita lindungi anak-anak. Selain itu, tugas lainnya adalah menjaga anak-anak kita tetap tumbuh, berkembang, dan melewati masa sulit ini. Terima kasih pula untuk gereja dari awal hingga saat ini yang mendukung dan membantu kami keluarga,” kata orangtua BA dan J.
Sementara itu, menurut kuasa hukum anak-anak misdinar Gereja Herkulanus, Azaz Tigor Nainggolan, putusan hakim sudah tepat berdasarkan undang-undang perbuatan pelaku melukai korban, keluarga, dan menjadi ancaman dan prilaku jelek untuk masa depan anak-anak.
”Tuntutan awal 11 tahun penjara, tetapi hakim menvonis 15 tahun penjara. Saya lihat ini sudah tepat, hakim memberikan hukuman maksimal. Dia pembimbing, itu yang juga memberatkan hukuman,” kata Tigor.