Tantangan Pemilu 2024
Komisi Pemilihan Umum perlu membuat road map sebagai acuan guna mengatasi tantangan-tantangan kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2024. Pengalaman penyelenggarana Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2020 harus jadi acuan.
Harapan publik agar komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022- 2027 mampu bekerja sebagai penyelenggara pemilu secara profesional dan berintegritas tidaklah cukup (Kompas, 5 Januari 2022). Lebih dari itu, komisioner KPU yang baru harus mampu menghasilkan kebijakan penyelenggaraan pemilu yang dibutuhkan guna mengatasi tantangan-tantangan penyelenggaraan Pemilu 2024 yang kian kompleks.
Pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2020 harus dijadikan titik tolak untuk mencari solusi inovatif melalui kebijakan operasional penyelenggaraan dengan tetap mengacu koridor regulasi pemilu agar penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Untuk keperluan ini, KPU perlu membuat road map sebagai acuan guna mengatasi tantangan-tantangan kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jika dipetakan, tantangan-tantangan penyelenggaraan Pemilu 2024 berkait dengan masalah kapasitas kelembagaan KPU, masalah administrasi tata kelola penyelenggaraan (electoral administering), dan masalah payung hukum regulasi yang dijadikan landasan KPU dalam menginovasi penggunaan sistem teknologi informasi disetiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Hal ini terkait dengan munculnya resistensi peserta pemilu dan calon terhadap sistem informasi partai politik (Sipol), sistem informasi pencalonan (Silon), sistem informasi data pemilih (Sidalih), sistem informasi penghitungan suara (Situng) dan sistem informasi rekapitulasi suara (Sirekap) yang keabsahan legalitasnya diresistensi parpol dan calon pada Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2020. Pengalaman pemilu sebelumnya dan identifikasi tantangan apa saja yang menghadang Pemilu 2024 perlu dijadikan proyeksi KPU untuk membuat road map guna mencari solusi dalam mengatasi tantangan-tantangan penyelenggaraan pemilu 2024.
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Terkait masalah kapasitas kelembagaan, KPU perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pendukung di tingkat kesekretariatan di semua jenjang kesekretariatan provinsi, kabupaten dan kota, terutama aspek penguasaan keahlian di masing-masing divisi. Staf sekretariat yang merupakan tenaga tetap (organik) harus terus-menerus didorong untuk menjadi praktisi kepemiluan yang profesional sesuai divisinya. Misalnya, staf yang ahli dalam pengolahan data pemilih, hukum dan regulasi pemilu, sosialisasi pemilu kepada masyarakat, ahli dalam penyusunan anggaran dan keuangan pemilu, ahli dalam penguasaan masalah logistik pemilu dan keahlian-keahlian profesionalitas sebagai penyelenggara lainnya, harus mendapat prioritas untuk mendapat tempat berkaier yang memadai.
Kepala sekretariat KPU juga harus profesional dan mampu memetakan dan memberi solusi melalui kebijakan yang dibuat bersama komisioner. Begitu pula, kepemimpinan komisioner harus menjadi penyelenggara yang profesional dan berkualitas serta bekerja sesuai koridor etika dan norma penyelenggara.
Kepala sekretariat KPU juga harus profesional dan mampu memetakan dan memberi solusi melalui kebijakan yang dibuat bersama komisioner.
Sedangkan masalah electoral administering meliputi kemampuan managerial komisioner dalam mengimplementasikan UU dan regulasi pemilu secara konsisten ke dalam bentuk kebijakan, perencanaan program anggaran hingga teknis operasionalnya sampai terlaksana pada hari pencoblosan secara bermartabat. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2024 yang diprediksi sama kompleksnya dengan pemilu 2019, dibutuhkan kepemimpinan komisioner yang berintegritas, komitmen tinggi dan inovatif dalam mengembangkan peluang kebijakan untuk merekrut dan menetapkan penyelenggara di tingkat ad hoc yang kompeten dan paham akan tugasnya sebagai penyelenggara din tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sedangkan pilihan payung hukum atas regulasi yang dijalankan KPU tak kalah pentignya yaitu mengacu pada kemampuan KPU dalam mendesain regulasi pemilu yang legitimate sehingga tidak menimbulkan masalah hukum selama proses dan setelah pemilu. Misalnya soal payung hukum penggunaan teknologi pemilu terutama Sirekap hanya sebatas alat bantu agar proses penyelenggaraan berjalan efektif, efisien dan akuntabel namun tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum dalam penetapan perolehan suara calon. Hal ini perlu kesepakatan nasional antara pembuat UU dengan KPU dan tim hukumnya.
Teknologi pemilu
Road map payung hukum sangat penting bagi KPU sebagai antisipasi atas resistensi terkait penggunaan teknologi informasi (TI) dalam pemilu yang akan digunakan di masa mendatang. Penggunaan teknologi pemilu sudah menjadi kelaziman di beberapa negara terutama negara dengan tingkat kepercayaan politik yang tinggi terhadap TI dalam pemilu. Dalam kajian IDEA dan Perludem (2019) soal teknologi pungut hitung suara, penggunaan TI dalam pemilu ini akan mempraktiskan teknis penyelenggaraan, mempercepat hasil dan meningkatkan efisiensi anggaran dan tenaga.
Namun menurut hemat penulis, harus ada prioritas soal desain penggunaan TI seperti apa yang mendesak diadopsi pada untuk pemilu di Indonesia. Misalnya berdasarkan prioritas, KPU mendatang perlu mendesain TI untuk menyempurnakan pendataan pemilih yang setiap menjelangan pemilu selalu bermasalah.
Selama ini sistem informasi data pemilih (Sidalih) yang didesain diterapkan secara daring untuk pensahihan data pemilih ke pusat data KPU. Namun dalam realitasnya, masih terkendala jaringan internet yang tidk stabil di beberapa daerah sehingga dilakukan improvisasi pensahihan data antara manual dan online. Belum lagi soal sumber data yang berbeda antara data dari pemerintah dan KPU. Misalnya data pemilih yang sudah dimutakhirkan KPU masih muncul dari di data yang diberikan pemerintah. KPU lalu melakukan sinkronisasi ulang data kependudukan yang sudah disahihkan sebelumnya. Selama sumber data agregat kependudukan (DAK) dari pemerintah belum menyentuh perkembangan data kependudukan riil, pihak KPU akan terus melakukan pemutakhiran yang berulang.
Harus ada prioritas soal desain penggunaan TI seperti apa yang mendesak diadopsi pada untuk pemilu di Indonesia.
Begitu pula TI pada sistem informasi rekapitulasi suara (Sirekap) yang didesain untuk unggah foto tingkat TPS yang hanya sebagai alat bantu untuk informasi percepatan hasil. Dalam hal ini, KPU mendatang harus segera membuat road map payung hukumnya agar tidak menimbulkan potensi polemik hasil pada peserta pemilu karena memang Sirekap tidak dimaksudkan sebagai sumber data penetapan hasil. Namun sebagai desain TI, Sirekap bisa dikembangkan secara bertahap untuk modernisasi TI dalam pemilu asalkan diperkuat dengan payung hukum yang disuratkan dalam UU.
Mengacu pada Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2020, kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2024 diprediksi akan tetap berlanjut bahkan akan lebih kompleks. Ini terutama terkait dengan kesiapan penyelenggara ad hoc tingkat TPS dalam memahami regulasi dan teknis operasional penyelenggaraan yang rumit, terkait pengisian sejumlah dokumen hasil hitung dan rekap yang harus diungah online ke pusat data KPU. Hasil riset dan observasi penulis menunjukkan selain kendala jaringan internet di berbagai lokasi/daerah, penyelenggara di tingkat TPS tidak memiliki perangkat seluler sesuai spesifikasi yang dipersyaratkan sebagai sarana unggah hasil pemilu tingkat TPS secara cepat.
Baca juga: Gangguan Laten Pemilu dan Pemilihan 2024
Beban kerja penyelenggara juga harus perhatian KPU terutama terkait implikasi model penyuaraan lima kotak suara pada Pemilu 2024 terhadap kualitas penyelenggaraan. Misalnya faktor kelelahan fisik dan mental harus segera dicari solusinya agar penyelenggara ad hoc tetap fokus pada tugasnya. Faktor kelelahan fisik dan mental ini jika tak segera dicari solusinya, dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan yang sifatnya malapraktik pemilu.
Ketiga tantangan di atas harus segera direspon komisioner terpilih dengan mendesain road map jangka pendek dan panjang dalam rangka menghasilkan solusi kompleksitas penyelenggara Pemilu 2024 dan pemilu-pemilu berikutnya. Karena siklus pemilu di Indonesia sudah merupakan bagian dari demokratisasi politik normal dan tertata lima tahunan, komisioner terpilih harus memiliki wawasan komprehensif soal kepemiluan sebagai titik tolak menghasilkan landasan kebijakan tata kelola pemilu yang demokratik.
Road map jangka pendek dan panjang tersebut akan menjadi terang-benderung jika komisioner KPU baru adalah komisioner yang punya komitmen kuat untuk bekerja demi penguatan kelembagaan penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu 2024. Mereka juga harus tahan uji dalam menghadapi tekanan-tekanan politik yang kian besar di masa depan. Dalam hal ini, komisioner KPU tidak boleh bermental sebagai pencari kerja. Selain integritas yang kuat dan independen, komisioner KPU harus berani bekerja sepenuh waktu demi menjaga warwah kualitas pemilu.
Baca juga: ”Lame Duck”, Isu yang Tertinggal dari Diskursus Pemilu
Adanya road map juga berguna untuk antisipasi munculnya kasus-kasus malpraktik pemilu seperti pelanggaran kode etik, moral, suap, kesenggajaan perilaku yang merugikan atau menguntungkan peserta pemilu dan gratifikasi. Malapraktik demikian tidak boleh terjadi lagi karena mencederai prinsip etik dan profesionalistas penyelenggara. Kasus suap, masalah moral pribadi, tidak tepat dalam mengambil keputusan terjait tahapan dan sikap tidak netral sebagai penyelenggara tidak boleh menjadi niatan yang ada dalam benak penyelenggara. Tentu kasus-kasus ini di luar kewenangan panitia seleksi. Komisioner KPU RI yang terpilih juga tidak boleh menjalankan agenda pribadi ketika merekrut KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota karena tidak sesuai norma-norma kepatutan sebagai penyelenggara.
Kasus-kasus empirik di atas harus dijadikan landasan KPU ke depan untuk membangun kelembagaan penyelenggara yang kuat. Terutama harus terpilih komisioner yang andal dalam menginisiasi adanya kebijakan semangatnya menghasilkan SDM penyelenggara yang makin berkualitas. Penyelenggara berkualitas tidak sekadar tahu akan tugas pokok dan fungsinya secara normatif, namun lebih dari itu mampu bertindak secara tepat dalam menterjemahkan regulasi hingga operasionalisasi kebijakan untuk mendukung tata kelola pemilu yang profesional dan berintegritas.
Penyelenggara berkualitas tidak sekadar tahu akan tugas pokok dan fungsinya secara normatif, namun lebih dari itu mampu bertindak secara tepat dalam menterjemahkan regulasi hingga operasionalisasi kebijakan.
Contoh nyata untuk membengun kapasitas kelembagaan penyelenggara yang kuat adalah melalui fungsi koordinasi internal KPU daerah dengan KPU pusat guna membangun kesamaan tujuan dalam tahapan penyelenggaraan untuk mencegah potensi sengketa hukum pada tingkat proses maupun hasil pemilihan. Kemampuan penyelenggara di dearah dalam membaca regulasi yang sporadis dan tidak sama dengan KPU pusat, merupakan faktor lemah sehingga muncul kasus-kasus kekacauan DPT, sengketa hukum terkait administrasi pencalonan, status hukum calon, hingga keputusan yang bermasalah terkait hasil yang lantas masuk dalam ranah gugatan MK.
Pilkada ulang di Kabupaten Sampang tahun 2018 hasil putusan MK, menjadi contoh tragis bagaimana penyelenggara setempat gagal dalam menghasilkan kepastian hukum soal DPT yang tidak proporsional dengan kondisi riil demografis yang ada. Hal ini tidak boleh terulang lagi karena biaya penyelenggara pilkada ulang akan menjadi beban anggaran daerah. Begitu pula masalah status hukum dan administrasi kependudukan calon pada pemilihan di Boven Digoel dan Sabu Raijua yang kemudian menjadi beban politik dan anggaran yang harus dipikul KPU dan daerah, tidak boleh terulang lagi. Artinya hal-hal seperti ini akan bisa diminimalisir jika fungsi koordinasi berjalan efektif antar penyelenggara.
Hal ini menunjukkan kelemahan sistemik dalam atas tafsir regulasi yang seharusnya menjadi pedoman penyelenggara dalam mengambil keputusan. Kelemahan ini mencuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan penyelenggaraan yang cenderung sporadis dan otonom antar penyelenggara.
Fungsi koordinasi dalam tataran untuk memperkuat kapasitas kelembagaan juga harus dipersiapkan sedari awal menjelang Pemilu 2024 yang mengadopsi lima kotak penyuaraan. Desain lima kotak penyuaraan tentu akan menguras energi penyelenggara tingkat TPS. Untuk meminimalisir potensi keletihan penyelenggara ad hoc bahkan sakti dan kematian, perlu dicari desain rekrutmen calon penyelenggara ad hoc yang berbeda dengan sebelumnya. Misalnya dalam perbincangan penulis dengan komisioner Arief Budiman, muncul ide untuk merekrut penyelenggara yang berlatar belakang mahasiswa tingkat akhir sebagai penyelenggara TPS. Tentu solusi ini harus dipersiapkan matang dengan mendesain ulang metode rekrutmen yang mampu menarik kalangan mahasiswa untuk berpartisipasi menjadi penyelenggara pada Pemilu 2024.
Metode rekrutmen, bimbingan teknis untuk sosialisasi penyelenggaraan pun harus segera dibuat kerangka kebijakannya disertai dengan desain jaminan asuransi sebagai penyelenggara. Merekrut mahasiswa sebagai penyelenggara ad hoc di TPS merupakan inisiasi kebijakan yang kreatif untuk mendorong literasi pemilu di kalangan muda yang selama ini cenderung apatis terhadap pemilu.
Merekrut mahasiswa sebagai penyelenggara ad hoc di TPS merupakan inisiasi kebijakan yang kreatif untuk mendorong literasi pemilu di kalangan muda.
Hal berikut yang harus dicari desain untuk memperkuat energi pembaruan dalam KPU adalah aspek manajerial atau kepemimpinan komisioner yang konsisten dan punya integritas dalam membuat kebijakan dan keputusan sebagai acuan penyelenggara di daerah. Masalah ini bersifat teknis dari perencanaan program, kemampuan ekspektasi dalam menyusun anggaran pemilu secara rinci hingga kemampuan untuk mengimplementasikan secara konsisten dan berintegritas hingga hari pencoblosan berlangsung. Mengingat penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kebijakan operasional dan teknis maka komisioner mendatang harus memiliki pengalaman dan pengetahuan komprehensif sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang nanti menjadi payung operasional jajaran KPU dalam menjalankan tahapan.
Aspek kepemimpinan ini akan berjalan efektif hanya jika antara komisioner dengan jajaran pendukung di tingkat kesekretariatan KPU terjalin satu pemahaman tujuan yang sama dalam menyelenggarakan semua tahapan pemilu. Dalam haln ini komisioner membuat kebijakan dan ditopang jajaran sekretariat birokrasi KPU untuk tercapainnya hari H pencoblosan secara normal.
Baca juga: DPR Punya Selera
Efek dari diksi sebagaimana ada dalam UU No 7/2017 bahwa sekretarit KPU bertugas ‘melayani komisioner’ perlu dikoreksi karena menimbulkan dampak sistemik yang tak langsung berupa relasi arogansi sektoral antara penyelenggara dengan birokrat sekretarian KPU. Misalnya, soal anggaran pemilu tidak bisa diklaim sebagai ranah sekretariat sebagai pengelola anggaran utama.
Dalam hal ini komisioner dan sekretariat birokrasi harus saling bekerja sama sejauh perancangan program dan anggaran yang diajukan komisioner sesuai norma anggaran yang berlaku. Setidaknya sinergi positif komisioner dengan sekretariat birorkasi KPU dapat mencegah terjadinya kasus hukum terkait penggunaan anggaran pemilu yang merugikan keuangan negara.
Kris Nugroho, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik dan Pengajar Magister Tata Kelola Pemilu FISIP Universitas Airlangga