Dengan mengambil tema “Recover Together, Recover Stronger”, sudah semestinya Indonesia tidak melupakan isu migrasi tenaga kerja untuk disodorkan sebagai isu prioritas dalam presidensi G-20 pada tahun 2022 ini.
Oleh
WAHYU SUSILO
·4 menit baca
Pada tahun 2015, organisasi internasional untuk migrasi (International Organization for Migration) menerbitkan sebuah briefing paper berbasis survei mengenai kaitan pokok soal migrasi dan G-20 dalam tajuk “How The G20 Views Migration”. Beberapa fakta penting yang dituliskan dalam paper ini adalah bahwa 55 persen migran berada, hidup, dan bekerja di negara-negara anggota G-20. Di beberapa negara anggota G-20 seperti Australia, Kanada dan Arab Saudi memiliki migran hingga 20 persen dari total populasi keseluruhan di negara itu.
Volume remitansi yang mengalir dari dan ke negara anggota G-20 sebesar 45 persen dari total volume remitansi (aliran uang kiriman pekerja migran) global. Dalam tiga dekade terakhir ini, remitansi telah menjadi sumber pendanaan domestik yang signifikan bagi pembangunan. Faktanya pada tahun 2014 sekitar 436 miliar dollar AS aliran remitansi mengucur ke negara-negara berkembang, dan jumlah ini melampaui total bantuan internasional (Official Development Assistance) yang berjumlah 137,2 miliar dollar AS (OECD, 2015).
Namun dari volume remitansi yang besar ini, ada sekitar 10-15 persen yang masih dinikmati oleh lembaga jasa pengiriman uang multinasional sebagai biaya pengiriman remitansi. Ini adalah pengisapan keringat pekerja migran terselubung atas nama administrasi dan transaksi lalulintas keuangan. Realitas tersebut yang mendorong G-20 sejak tahun 2011 mendesakkan agenda penurunan biaya remitansi dari 10 persen ke 5 persen pada tahun 2014.
Agenda ini juga disambut dan diadopsi dalam scenario global Sustainable Development Goals (SDGs) di tujuan 10 dengan target penurunan biaya remitansi hingga 3 persen. Lebih detail lagi target penurunan biaya remitansi tercantum dalam Tujuan 20 Global Compact for Safe, Orderly dan Regular Migration untuk mempromosikan transfer remitansi yang cepat, murah, dan aman serta mempercepat integrasi inklusi keuangan bagi para pekerja migran.
Agenda marginal
Harus diakui bahwa sebagian besar perbincangan mengenai migrasi di forum G-20 didominasi mengenai aspek ekonomi dan pembangunan dari migrasi tenaga kerja, dan hal tersebut tercermin dalam agenda tentang remitansi. Agenda ini pun masuk kategori agenda marginal.
Sepengetahuan penulis, dalam agenda presidensi Indonesia di G-20 tahun 2022 ini juga belum nampak proposal mengenai perbincangan lebih serius dan intensif mengenai remitansi di kluster Global Partnership for Financial Inclusion 2022. Bahkan jika kita membaca “Update to Leaders on Progress towards the G20 Remittance Target” yang dipublikasikan menjelang serah terima presidensi G-20 dari Italia ke Indonesia sama sekali tidak ada laporan dari Indonesia mengenai “National Remittance Plans Implementation Update”, sementara mayoritas negara anggota G-20 melaporkannya.
Dalam agenda presidensi Indonesia di G-20 tahun 2022 ini juga belum nampak proposal mengenai perbincangan lebih serius dan intensif mengenai remitansi di kluster Global Partnership for Financial Inclusion 2022.
Selain masalah remitansi yang menjadi agenda regular G-20, masalah-masalah mendasar mengenai migrasi tenaga kerja hampir sama sekali tidak tersentuh meski G-20 juga memiliki agenda tentang kesempatan kerja dan lapangan pekerjaan (job and employment). Masalah migrasi, terutama dari sisi hak asasi manusia dan kemanusiaan, baru menjadi keprihatinan G-20 pada saat kedaruratan.
Dalam presidensi G-20 Perancis pada tahun 2011, Presiden Perancis dan delegasi Uni Eropa dalam forum G-20 secara langsung menyampaikan protes atas eksekusi mati terhadap Ruyati, pekerja migran Indonesia yang bekerja di Arab Saudi dan menyerukan agar Arab Saudi menghentikan praktik pidana mati. Ironisnya, dalam forum tersebut, tidak ada respons signifikan dari Indonesia, yang seharusnya juga proaktif menyambut seruan Perancis dan Uni Eropa tersebut.
Selanjutnya dalam presidensi G-20 di Jerman pada tahun 2017, Kanselir Jerman Angela Merkel memasukkan agenda kedaruratan migrasi dan kemanusiaan, menyusul eksodus besar-besaran migrasi dan pengungsi dari Afrika dan wilayah konflik di Timur Tengah dan Asia Barat, sementara di belahan bumi Utara menguat ekstremisme politik kanan yang xenophobia dan anti-migran.
Dalam presidensi G-20 di Italia pada tahun 2021, mulai ada perkembangan yang positif memasukkan isu migrasi (termasuk pekerja migran) dalam “G20 Leaders Declaration” sebagai output dari pertemuan tingkat tinggi para pemimpin duia anggota G-20 ini. Di poin 38 deklarasi ini dinyatakan bahwa perlu ada dukungan bagi migran (termasuk pekerja migran) sebagai kelompok yang sangat terdampak kecamuk COVID-19 untuk upaya pemulihan dari dampak pandemi dan upaya komprehensif mewujudkan tata kelola migrasi global yang aman, regular, dan bermartabat.
Dalam deklarasi mengenai migrasi ini diakhiri dengan kalimat “we will continue the dialogue on migration and forced displacement in future presidencies”. Pernyataan ini mengandung tanggung jawab bagi Indonesia selaku presidensi G-20 di tahun 2022 untuk melanjutkan pembahasan isu migrasi, tak hanya mengenai remitansi tetapi juga dalam konteks pemulihan pandemi dan perwujudan arsitektur migrasi tenaga kerja internasional yang aman, bermartabat, dan inklusif.
Jika kita dalami lagi tema presidensi Indonesia di G-20 tahun 2022 yang bertajuk “Recover Together, Recover Stronger” atau Pulih Bersama, maka sudah semestinya Indonesia tidak melupakan isu migrasi untuk disodorkan sebagai isu prioritas dan mencerminkan watak inklusifitas yang juga seringkali disampaikan oleh pemerintah Indonesia.
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE dan Anggota C-20 Indonesia