Dalam pekan ini, secara resmi Indonesia mengumumkan kesiapan untuk menjadi tuan rumah G-20 pada tahun 2022. Dalam acara yang digelar secara daring dan diikuti oleh para pejabat tinggi Indonesia terkait perekonomian, investasi, politik, dan keamanan serta luar negeri, dinyatakan kesiapan Indonesia menjadi presidensi G-20 tahun 2022 dengan tema ”Recover Together, Recover Stronger” mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.
Menjadi presidensi G-20 tahun 2022 tidak sekadar menjadi event organizer dari serangkaian event yang digelar forum ekonomi paling berpengaruh ini. Indonesia juga harus mampu mendorong agenda dan kepentingan nasional agar event G-20 di Indonesia ini memberi manfaat nyata bagi rakyat Indonesia. Bahkan, menurut Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi, Indonesia harus mampu mengartikulasikan kepentingan negara berkembang dan negara miskin untuk bisa mendorong agenda G-20 menghasilkan kesepakatan yang benar-benar konkret untuk pemulihan dampak Covid-19 bagi mereka.
Dalam pengamatan Migrant Care, sejak tahun 2014, organisasi G-20 mengangkat isu remitansi (aliran uang kiriman pekerja migran ke Tanah Air) sebagai agenda penting bidang keuangan dan pembangunan, setara dengan isu perpajakan dan inklusi keuangan. Remitansi dianggap semakin penting karena telah menjadi alternatif sumber penggerak ekonomi negara setelah ada penurunan volume ODA (bantuan internasional) dan investasi asing hanya mendatangkan keuntungan langsung (foreign direct investment) yang tidak signifikan dibandingkan dampak sosial budaya dan ekologi.
Baca juga : Pekerja Migran dalam Kecamuk Pandemi Covid-19
Berdasarkan pembacaan kritis dari G-20 National Remittance Plans, Indonesia memang melaporkan beberapa rencana terkait tata kelola remitansi. Hal ini terlihat dari laporan pada tahun 2015 dan 2017. Namun, dari pembacaan kritis terhadap dua laporan tersebut, rencana aksi tersebut sangat parsial, melihat persoalan remitansi hanya dari teropong teknikal transfer dan transaksi keuangan, tetapi tidak meluaskan ranah tata kelola remitansi yang tidak terlepas dari tata kelola migrasi tenaga kerja internasional.
Pada tahun 2019, Indonesia bahkan tidak melaporkan perkembangan mengenai rencana aksi remitansi dalam kerangka G-20. Ini memperlihatkan ketidakseriusan Indonesia dalam agenda remitansi di forum G-20.
Pada tahun 2019, Indonesia bahkan tidak melaporkan perkembangan mengenai rencana aksi remitansi dalam kerangka G-20.
Posisi ini tentu patut disayangkan mengingat Indonesia saat ini tercatat sebagai negara yang mengirimkan pekerja migran dalam jumlah cukup signifikan. Aliran remitansi pun dalam dua dekade terakhir ini meningkat signifikan meski pada tahun 2020 menurun akibat pandemi Covid-19.
Berbagai studi mikro tentang pemanfaatan remitansi yang dilakukan sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi memperlihatkan bahwa remitansi memiliki kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi di daerah asal pekerja migran. Namun, memang hingga kini Indonesia belum memiliki tata kelola remitansi dalam skala makro sehingga belum mampu mendorong para pengambil keputusan dan pelaku ekonomi memberi perhatian serius pada remitansi pekerja migran Indonesia.
Agenda prioritas
Agenda yang diusung oleh G-20 dalam perkara remitansi ini adalah penurunan biaya pengiriman remitansi yang dianggap masih sangat tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun Bank Dunia dalam Remittance and Development yang terbit reguler setiap tahun, terlihat bahwa biaya remitansi masih sangat tinggi, berkisar pada angka 10 persen hingga 15 persen, belum lagi risiko pengiriman remitansi melalui jalur-jalur tak resmi.
Agenda global penurunan biaya remitansi yang didorong G-20 menargetkan penurunan hingga 3 persen. Target ini diadopsi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (dalam Goal 10 c1) dan Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (dalam tujuan 20).
Agenda global penurunan biaya remitansi yang didorong G-20 menargetkan penurunan hingga 3 persen.
Sebagai negara anggota G-20 yang juga mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan sedang menyusun rencana aksi nasional untuk implementasi Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration, sudah seharusnya Indonesia mulai serius untuk mengagendakan masalah remitansi ini sebagai salah satu prioritas dalam presidensi Indonesia di G-20 tahun 2022.
Indonesia memiliki peran yang strategis dalam isu remitansi di G-20. Pertama, di forum ini terdapat beberapa negara yang menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia, seperti Arab Saudi, Jepang, dan Korea Selatan. Ini bisa menjadi jembatan merundingkan perkara remitansi dan pelindungan pekerja migran Indonesia di negara-negara tersebut. Kedua, Indonesia (bersama India dan Meksiko) bisa menjadi pelopor dan saluran aspirasi negara-negara asal pekerja migran untuk memperjuangkan keadilan ekonomi dalam tata kelola remitansi global.
Baca juga : Krisis, Migrasi, dan Remitansi
Agenda ini harus dipersiapkan secara dini dan bersifat inklusif, disiapkan bersama-sama pemangku kepentingan kunci dan beneficiary utama pekerja migran Indonesia. Bagi Indonesia, agenda mengenai remitansi dalam G-20 bisa menjadi jembatan untuk membumikan kepentingan-kepentingan masyarakat akar rumput (utamanya pekerja migran) keketuaan (presidency) Indonesia di G-20 tahun 2022.
Agenda ini juga berkesesuaian dengan tema utama yang diusung Indonesia dalam presidensi G-20 tahun 2022, ”Recover Together, Recover Stronger”. Tata kelola remitansi yang baik akan menjadi bagian penting dan memperkuat upaya pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19.
Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care; Anggota C20-Civil Society for G-20 Engagement Indonesia