Tunggu 4 RUU ”Omnibus Law”, DPR Tunda Pengesahan Prolegnas Prioritas
Pengesahan daftar 50 RUU yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 ditunda hingga Januari mendatang. DPR masih menunggu surat presiden terkait empat RUU ”omnibus law”.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan daftar 50 rancangan undang-undang yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 ditunda hingga Januari mendatang. Dewan Perwakilan Rakyat masih menunggu surat presiden terkait empat rancangan undang-undang omnibus law.
Ketua DPR Puan Maharani seusai Rapat Paripurna Ke-6 Masa Sidang I 2019 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/12/2019), mengatakan, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 belum bisa disahkan. Dari 50 rancangan undang-undang (RUU) yang ada dalam daftar, ada empat RUU usul pemerintah yang masih perlu dilengkapi.
Keempat RUU itu termasuk dalam kategori omnibus law atau RUU sapu jagat yang ditujukan untuk menyinkronkan sejumlah undang-undang yang tumpang tindih. Di antaranya RUU tentang Cipta Lapangan Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU tentang Ibu Kota Negara, serta RUU tentang Kefarmasian.
”Sampai akhir masa sidang ditutup, kami belum menerima surpres (surat presiden) terkait omnibus law. Oleh karena itu, tentu saja kami tidak bisa membahas atau melihat apa rencana pemerintah dari omnibus law yang akan diusulkan,” kata Puan.
Ia mengatakan, surpres kemungkinan akan dikirim pada awal masa sidang II 2020 atau Januari mendatang. Untuk itu, ia memperkirakan Prolegnas Prioritas 2020 juga akan disahkan pada bulan yang sama.
Ia memaklumi, omnibus law merupakan terobosan baru dalam legislasi nasional. Oleh karena itu, perlu pembahasan yang komprehensif dan durasi waktu yang cukup agar produk undang-undang yang dimaksud bisa solid dan berkualitas.
Selain omnibus law, ada pula empat RUU carry over atau RUU yang pembahasannya dilanjutkan dari DPR periode 2014-2019. Keempat RUU itu terdiri dari tiga RUU usul pemerintah, yaitu RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU tentang Pemasyarakatan, dan RUU tentang Bea Meterai. Adapun yang berasal dari usul DPR adalah RUU tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara (Minerba).
Kami belum menerima surat presiden terkait omnibus law. Karena itu, tentu saja kami tidak bisa membahas atau melihat apa rencana pemerintah dari omnibus law yang akan diusulkan.
Puan menyebutkan, belum ada kesepakatan di antara DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah mengenai mekanisme pembahasan RUU carry over. Padahal, dibutuhkan kesamaan persepsi untuk menetapkan cakupan dan substansi apa saja yang akan dibahas dalam RUU carry over.
”Pemerintah, DPR, dan DPD harus kembali duduk bersama untuk membicarakan mekanisme carry over karena sebenarnya tidak ada cara langsung untuk melaksanakannya,” ujar Puan.
Bombastis
Meski pengesahan Prolegnas Prioritas 2020 ditunda, Rapat Paripurna DPR yang dihadiri 357 anggota telah mengesahkan Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 yang terdiri atas 248 RUU. Jumlah itu naik dari Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019 yang terdiri atas 189 RUU.
”Jumlah tersebut merupakan target yang prestisius dan sekaligus menjadi tantangan bagi kita semua,” ucap Puan.
Untuk memenuhi target, kata Puan, ke depan harus ada penelaahan kembali terhadap prioritas RUU yang akan dibahas. Penguatan komitmen DPR, pemerintah, dan DPD untuk menuntaskan seluruh pembahasan juga diperlukan.
Dalam rapat paripurna, Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily berpendapat, draf Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 sebaiknya dikaji kembali baik oleh setiap komisi maupun fraksi. Perlu ada penyisiran dan pembahasan kembali tentang prioritas RUU.
Tanpa pembahasan tambahan, ia meragukan masa depan ratusan rancangan legislasi itu. ”Terus terang saja, saya tidak yakin 248 RUU ini bisa diselesaikan (dalam lima tahun),” kata Ace.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengungkapkan kekhawatiran yang sama. Menurut dia, DPR memang perlu mengakomodasi aspirasi masyarakat, tetapi tak boleh mengulangi kinerja legislasi periode sebelumnya yang jeblok.
Salah satu caranya adalah dengan mensyaratkan agar semua pengusul menyerahkan draf dan naskah akademik RUU pada akhir tahun pertama. Di samping itu, perlu ada peninjauan terhadap Prolegnas setiap akhir tahun. DPR bisa mencoret sejumlah RUU yang tak diperlukan.
Berdasarkan kajian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), pada periode 2014-2019, DPR mengesahkan 90 RUU menjadi undang-undang. Dari total jumlah itu, 51 RUU berasal dari daftar kumulatif terbuka, sedangkan dari Prolegnas sebanyak 38 RUU.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, mengatakan, 38 RUU dari Prolegnas yang disahkan itu tidak seluruhnya sesuai dengan skema perencanaan Prolegnas Prioritas tahunan. Ada tiga RUU yang dibuat di luar skema itu, yaitu revisi ketiga UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) pada 2019; revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019; dan revisi UU tentang Perkawinan pada 2019.
”Jumlah 248 RUU Prolegnas 2020-2024 sangat bombastis. Sebab, dari 189 RUU pada periode sebelumnya saja, DPR hanya bisa menyelesaikan 20 persen,” ucap Lucius.
Menurut dia, perlu ada pembenahan terhadap paradigma dan manajemen perencanaan Prolegnas. Aspek urgensi harus didahulukan ketimbang kompromi politik.