Kilometer 74
Tiga puluh orang meninggal dan 20 orang sisanya terluka. Sopir beserta kondekturnya—yang juga merangkap sebagai pemandu—selamat. Tidak ada kesalahan teknis, kata polisi, kecelakaan murni akibat kesalahan sopir.
Aku bisa melihat bunga-bunga yang ditabur sepanjang Kilometer 74 ini ....
Seminggu sebelumnya, salah satu bus yang mengantar turis oleng, kehilangan kendali dan menabrak pembatas jalan, terjun ke jurang bersama seluruh muatannya. Tiga puluh orang meninggal dan 20 orang sisanya terluka dan sopir beserta kondekturnya—yang juga merangkap sebagai pemandu—selamat. Tidak ada kesalahan teknis, kata polisi, kecelakaan murni akibat kesalahan sopir yang tidak melambatkan laju dan membunyikan klakson sebanyak tiga kali di Kilometer 74 itu.
Sebab, sebulan sebelum kecelakaan itu terjadi, salah satu bus mini yang juga mengantar turis mengalami hal serupa. Bahkan, sekitar 3 bulan dan setahun lalu kecelakaan juga menimpa bus dan mobil van keluarga. Tepat di Kilometer 74 dan satu-satunya alasan yang dikemukakan selalu sama: mereka tidak melambatkan laju dan membunyikan klakson tiga kali di awal kilometer.
Aku bisa melihat bunga-bunga itu dengan jelas sebab bus yang kutumpangi ini benar-benar melambatkan lajunya—bahkan sangat pelan hingga terasa nyaris berhenti—kemudian membunyikan klakson sebanyak tiga kali. Kulihat beberapa penumpang agak kebingungan. Barangkali, pikir mereka, sesuatu telah menghalangi jalan bus ini.
Tapi jika kukatakan kilometer ini berhantu, barangkali mereka justru akan tertawa.
Penumpang di sampingku, seorang pelancong dari Sisilia, Italia, bernama Luigi—aku berkenalan dengannya saat kebingungan mencari meja sarapan dan wajah ramahnya (wajahnya cukup lucu; kadang memerah seperti lobster kukus dan berpipi gembul) seakan-akan menyuruhku menempati kursi kosong di depannya dan kami mengobrol cukup akrab meski bahasa Inggrisnya cukup payah dan akhirnya kami sepakat duduk di kursi yang sama di dalam bus—justru sedang asyik membaca buku.
”Kau sedang membaca apa, Luigi?” Aku memberanikan diri membuka obrolan sebab kukira perjalanan tanpa obrolan sama dengan sia-sia. Alih-alih menjawab, Luigi justru bertanya kepadaku mengapa wajahku pucat dan berkeringat?
”Tidak apa-apa, perutku sedikit mual,” jawabku, ”barangkali karena aku makan cukup banyak saat sarapan tadi.” Kemudian ia tertawa kecil dan pada saat itulah wajahnya memerah seperti lobster kukus—Luigi memang mudah tertawa dan ketika kukatakan ia memiliki wajah ramah, kupastikan itu karena ia mudah tertawa.
Tentu saja aku berbohong, perutku sama sekali tidak mual, tetapi menjelaskan perjalanan menegangkan dan hantu kepada orang seperti Luigi ini hanya akan membuatku ditertawai, bahkan mungkin hingga terbahak-bahak. Aku yakin itu.
Selepas tertawa—aku cukup khawatir seandainya tawanya dapat mengganggu penumpang lain sebab, meski hanya tertawa kecil, suaranya cukup keras hingga badan suburnya terlihat bergetar-getar—ia menunjukkan sampul bukunya kepadaku.
”Cerita-cerita Luigi Pirandello dan aku telah sampai pada Perjalanan Terakhir-nya.”
”Kau menyukainya, cerita-cerita Luigi Pirandello itu?” tanyaku lebih lanjut dengan suara pelan. Aku khawatir mengganggu para penumpang lain.
Sejujurnya, selain karena bosan dalam perjalanan, aku membuka obrolan karena kukira itu juga dapat mengurangi kecemasanku dalam perjalanan ini. Dan memang itu cukup membantu pada akhirnya. Tapi ... bus yang kutumpangi ini masih berjalan pelan. Sial memang.
”Benar, aku sangat menyukainya karena selain namaku hampir sama dengannya, bahkan sewaktu kecil aku bermimpi ingin sebesar Luigi Pirandello ...” Kemudian ia berhenti sejenak untuk tertawa—kali ini, aku mulai merasa terganggu dengan sifatnya yang mudah tertawa itu!
”Satirenya sangat menarik dan cukup eksperimental,” pungkasnya.
Kemudian setelah menyipitkan matanya memandangiku, ia bertanya, ”Hei, mengapa wajahmu semakin pucat begitu? Apa kau sedang sakit? Perutmu semakin mual?”
Ya, tentu saja aku semakin pucat. Aku sedang dalam perjalanan yang cukup menegangkan dan orang konyol di sampingku ini justru membaca Perjalanan Terakhir-nya Luigi Pirandello yang konon ditulis beberapa minggu sebelum penulisnya meninggal. Semacam mendapat firasat!
”Tidakkah kau merasa janggal, Luigi, membaca Perjalanan Terakhir saat perjalanan begini?” Tanyaku dengan nada gurau, sebab si konyol di sampingku ini membacanya tanpa kecemasan apa pun! Namun, aku berusaha tidak terlalu menampilkan kecemasanku kepadanya.
Lagi-lagi, seperti yang sudah kutebak: Luigi malah tertawa.
Untuk menguatkan ’bahwa ini hanya sekadar candaan’ aku ikut-ikutan tertawa sejenak. Di luar, daun-daun berdesir digesek angin, beragam pohon menjulang, di sisi kanan dan kiri adalah jurang; sesekali lampu kendaraan yang lewat dari arah berlawanan terlihat dan bus ini masih saja berjalan pelan.
Dan Luigi, ia masih belum selesai tertawa ....
”Ha-ha-ha-ha.”
Aku mulai tidak nyaman sebab beberapa penumpang menoleh ke belakang; barangkali mereka sedikit gusar atau merasa terganggu.
***
Dua ratus meter lagi kurang lebih, Kilometer 74 akan berakhir. Aku bisa melihat papan pengumuman itu di sisi jalan meski di luar cukup gelap. Sekitar lima menit lalu Luigi sudah berhenti tertawa, kini matanya kembali tertuju pada buku yang ia bawa.
Malam begitu pekat di luar. Dan rasa-rasanya bus ini mulai berjalan lebih cepat.
Tiba-tiba seorang turis yang duduk di kursi tengah beranjak, berjalan ke arah kondektur kemudian membungkuk; membisikkan sesuatu kepada kondektur itu. Kemudian mereka sama-sama menatap ke arah kami, bahkan penumpang itu menunjuk-nunjuk dengan jarinya. Sangat jelas arahnya. Tentu saja aku merasa ada yang janggal. Ah, benar, pikirku, ini pasti karena tawa si konyol Luigi sebelumnya! Barangkali penumpang itu telah benar-benar terganggu dan memutuskan melapor kepada kondektur agar si Luigi ini lebih bisa menahan tawanya.
Aku cukup setuju. Sebab aku pun merasa terganggu.
Tak lama, mereka sama-sama beranjak. Berjalan melewati kursi-kursi penumpang dan benar dugaanku sebelumnya; mereka menuju ke arah kami. Luigi tak menyadarinya sebab matanya masih fokus pada buku Luigi Pirandello itu. Ah, gara-gara si konyol ini, sesalku, perjalanan ini malah semakin ruwet. Untuk itu, aku pura-pura memejamkan mata. Biar Luigi seorang yang menyelesaikan urusan ini, sebab ini memang ulahnya.
Saat kondektur dan penumpang sudah berada di depan Luigi—aku sedikit mengintip untuk itu—mereka mulai dengan berdeham. Tapi Luigi masih tak menyadari kedatangan mereka ... astaga, benar-benar seorang batu! Aku terus mengintip dan si kondektur dengan hati-hati menyentuh bahu Luigi lalu menggoyang-goyangnya dengan perlahan. Barulah kemudian ia sadar; matanya membulat, dan dengan wajah ramahnya—meski aku merasa terganggu dengan tawanya, tapi aku cukup menaruh hati untuk wajah ramahnya—ia tersenyum lalu menanyakan ada apa, seperti tanpa dosa. Si kondektur mulai dengan mengenalkan diri kemudian berbicara mengenai keluhan penumpang di sampingnya. Mereka—kondektur dan Luigi—bicara dengan bahasa Inggris yang patah-patah dan penumpang yang memiliki keluhan itu hanya menyaksikan seperti patung dengan tatapan nyalang.
Tak butuh waktu lama—aku sudah menebak sebelumnya, Luigi pasti segera meminta maaf untuk itu dan berjanji akan menahan diri setelahnya—mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Aku masih pura-pura terlelap sampai Luigi menoleh ke arahku dan menyentuhkan tangannya pada lenganku yang terbuka.
”Hei, apakah kau sudah baikan? Barusan kondektur dan seorang penumpang datang menegurku. Wahh, badanmu cukup dingin ya ...” katanya. Dengan akting sempurna aku membuka mata perlahan, sedikit menggeliat, kemudian menatap Luigi dengan tatapan ada apa?
”Barusan kondektur menegurku. Ada penumpang yang terganggu dengan tawaku. Ah, mereka payah!” Ulangnya.
Tentu saja aku sudah mengerti, tapi demi menggenapi aktingku, aku sedikit berbasa-basi.
”Apa yang mereka katakan?”
”Entah, kondektur itu konyol,” bisiknya, ”bicara soal hantu, kilometer ini berhantu katanya dan aku harus menahan diri supaya sopir bisa berkonsentrasi, setidaknya sampai melewati kilometer ini.”
”Badanmu begitu dingin,” tambahnya cepat, ”dan wajahmu semakin pucat. Apa kau benar baik-baik saja?”
Aku tak menjawab untuk itu, tapi kubilang kepada Luigi kemudian.
”Hei Luigi, sejujurnya dari tadi aku pun ingin memperingatkanmu: kilometer ini berhantu dan telah memakan banyak korban. Semestinya kita tenang dalam perjalanan yang ...”
Tiba-tiba, tanpa kuduga sebelumnya, wajah Luigi malah memerah dan pipi gembulnya semakin mengembang. Ia menahan tawa! Melihat itu aku cukup menyesal memberitahunya. Dan ... lepaslah kemudian! Ia tertawa terbahak-bahak dan para penumpang menoleh ke arahnya, semuanya.
Cukup sudah, pikirku, lagi pula papan Kilometer 75 sudah terlihat.
Maka cepat-cepat aku melenggang lewat jendela dan setelahnya, adakah yang lebih pucat dari wajah Luigi dan lebih patung dari badan Luigi saat melihatku melenggang lewat jendela itu?
Sebagai kalimat perpisahan, kutambahkan kepada Luigi,
”Hei, kenapa kau berhenti tertawa ...” Dan tak lupa, kututup dengan gelak tawa,
”Ha-ha-ha-ha.”
Dan aku, sejak setahun lalu memang selalu bisa melihat bunga-bunga yang ditabur di sepanjang Kilometer 74 ini, menghitung secara pasti jumlah kecelakaan yang terjadi setelahnya ....
____________________________
Haryo Pamungkas, lahir di Jember. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNEJ. Cerpennya telah dimuat di berbagai media cetak dan daring.