Penyaluran Dana Bagi Hasil dari Pemerintah Pusat Dilakukan Bertahap
Harapan Pemprov DKI mendapatkan dana bagi hasil secara utuh, belum terwujud. Tahun ini, pemerintah pusat mencairkan sebagian dana itu lantaran penerimaan yang juga lesu.
Harapan Pemprov DKI mendapatkan dana bagi hasil secara utuh, belum terwujud. Tahun ini, pemerintah pusat mencairkan sebagian dana itu lantaran penerimaan yang juga lesu.
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Keuangan akan menyalurkan kekurangan pembayaran dana bagi hasil pajak kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara bertahap. Paling lambat awal Desember 2019, kurang bayar dana bagi hasil pajak akan disalurkan Rp 1,96 triliun ke DKI.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, total kurang bayar dana bagi hasil pajak ke Pemprov DKI Rp 5,16 triliun. Dana bagi hasil itu meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB) serta pajak penghasilan.
“Dari hasil verifikasi, kurang bayar dana bagi hasil pajak ke Pemprov DKI Rp 5,16 triliun, bukan Rp 6,39 triliun,” kata Astera dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (18/11/2019).
Sebelumnya, Sekretaris Daerah DKI Saefullah mengklaim, dana bagi hasil dari pemerintah pusat yang belum cair mencapai Rp 6,39 triliun. Kurang bayar dana bagi hasil ini menjadi salah satu penyebab defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2019 DKI Jakarta (Kompas, 25 Oktober 2019).
Astera mengatakan, dana bagi hasil pajak disalurkan bertahap mengingat kondisi penerimaan pemerintah pusat yang juga lesu. “Sisa kurang bayar dana bagi hasil pajak menunggu verifikasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pembayaran akan dilanjutkan (carry over) tahun 2020,” katanya.
Setiap tahun, pemerintah menyalurkan kurang bayar dana bagi hasil ke sejumlah daerah, tidak hanya DKI. Kemenkeu mengalokasikan kurang bayar dana bagi hasil pajak total Rp 8,8 triliun pada triwulan IV-2019.
Pada APBN 2019, alokasi dana bagi hasil Rp 103 triliun. Ada dua jenis dana bagi hasil, yaitu pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil pajak terdiri dari PBB, pajak penghasilan, dan cukai hasil tembakau.
Menurut Astera, dana bagi hasil pajak secara prosedur disalurkan setelah audit BPK. Hasil audit BPK menentukan besaran bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah, terutama terkait pajak.
Astera mengatakan, penyaluran dana bagi hasil tahun 2019 sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167 Tahun 2019. Pemerintah akan menyalurkan sebagian dana kurang bayar dana bagi hasil tahun 2017-2018 ke sejumlah daerah sepanjang triwulan IV-2019.
Pengaturan anggaran
Sabtu lalu, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center Roy Salam mengatakan, penyusunan anggaran daerah seharusnya sudah memperhitungkan strategi yang tepat, baik pembelanjaan maupun pendapatan. Perhitungan ini termasuk tren ekonomi yang berpengaruh pada pendapatan pajak dan kemungkinan dana bagi hasil dikucurkan tidak sesuai waktu oleh pemerintah pusat.
Roy menambahkan, dana bagi hasil dari pusat bisa dialokasikan untuk program yang pembayarannya bisa ditunda, seperti program jangka panjang (multiyears). Sementara program yang pembayarannya harus dilakukan di tahun anggaran bisa dialokasikan dari pendapatan asli daerah.
Baca juga : Perbaiki Tata Kelola Keuangan DKI Jakarta
Seperti diberitakan, defisit APBD DKI membuat tertundanya sejumlah program, seperti pembebasan lahan bantaran kali dan waduk. Lahan itu di antaranya untuk penataan bantaran Kali Ciliwung senilai Rp 500 miliar. Anggaran pembebasan lahan kembali diusulkan dalam APBD 2020.
Di sisi lain, beberapa tahun terakhir, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (silpa) DKI selalu tinggi. Silpa 2018 mencapai Rp 9,7 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, prediksi pendapatan yang tak mencapai target Rp 6 triliun dari total belanja sekitar Rp 77 triliun tersebut sangat besar untuk keuangan daerah.
”Saat ini, pendapatan pajak masih kecil. Ada kekhawatiran jika pendapatan pajak menumpuk di akhir tahun, akan menghasilkan silpa yang besar. Ini juga tak baik untuk perekonomian daerah,” katanya.
Saat ini, pendapatan pajak masih kecil. Ada kekhawatiran jika pendapatan pajak menumpuk di akhir tahun, akan menghasilkan silpa yang besar. Ini juga tak baik untuk perekonomian daerah.
Besaran silpa mengindikasikan besarnya anggaran daerah yang tak terserap yang berarti realisasi program tak berjalan. ”Silpa besar karena efisiensi itu bagus, tetapi karakteristik DKI silpa besar karena serapan yang kurang baik,” katanya.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah pekan lalu mengatakan, tahun ini tidak ada anggaran yang dipangkas karena APBD merupakan peraturan daerah yang harus dipatuhi. Akan tetapi, ia mengatakan, pembayaran dicicil sesuai kemampuan keuangan.
Tim gubernur
Di tempat terpisah, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menilai, kewenangan Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) terlalu jauh sehingga menghambat kerja dinas-dinas. Di tengah situasi anggaran DKI yang defisit, semestinya TGUPP bisa lebih membantu gubernur mengatasi defisit anggaran.
Prasetio menjelaskan, bila mencermati Pergub Nomor 187 Tahun 2017, TGUPP memiliki tugas sebagai pembantu gubernur dan wakil gubernur.
Akan tetapi, dalam Pasal 5 Huruf b disebutkan TGUPP mengundang perangkat daerah. "Ini tidak boleh. Harusnya SKPD (satuan kerja perangkat daerah) itu langsung berhubungan dengan gubernur. Tiba-tiba harus melalui TGUPP. Ya ini akan berputar-putar saja di sini," paparnya, kemarin.
Menurut Prasetio, TGUPP yang saat ini berjumlah 65 orang itu ada untuk membantu gubernur, bukan tim persiapan SKPD. Ia juga menilai kewenangan TGUPP terlalu besar dalam penyusunan anggaran.
"Dewan meminta supaya TGUPP tidak terlibat terlalu jauh dalam perencanaan anggaran. Silakan gubernur berbicara dengan Tim Penyusunan Anggaran Daerah (TPAD) untuk masalah anggaran. Pasal-pasal dalam pergub itu harus direvisi," jelas Prasetio.
Anggota TGUPP yang adalah para ahli dan bukan PNS itu digaji dengan APBD yang anggarannya ada di Bappeda.
Ia menambahkan, TGUPP di era gubernur lalu diisi dengan pegawai negeri sipil (PNS) yang otomatis gaji dari APBD. Gubernur terdahulu juga dibantu sejumlah staf ahli non-PNS, namun mereka digaji dari biaya operasional gubernur, bukan dibuatkan mata anggaran tersendiri di bawah Bappeda.
Pelaksana Tugas Kepala Bappeda DKI Suharti menjelaskan, keberadaan TGUPP membantu SKPD karena mengoordinasikan kegiatan strategis daerah dengan SKPD. Artinya anggota TGUPP ini selalu hadir dalam monitoring dan evaluasi program strategis daerah yang juga program strategis gubernur dengan semua SKPD.
"TGUPP itu punya pertemuan rutin dengan SKPD ataupun badan, juga dengan semua yang koordinatif," jelasnya.
Kalau menggunakan istilah ketua TGUPP, kata Suharti, TGUPP adalah pembantu gubernur dalam melaksanakan tugas-tugasnya karena gubernur adalah orang baru di pemda sementara di bawahnya ada birokrasi yang sudah berjalan.
"Penugasan TGUPP jelas di dalam pergub," ujar Suharti.
Soal gaji personel TGUPP dari APBD, menurut Suharti, supaya jelas pembiayaan dan jelas pengukuran kinerja.
"Mungkin untuk pembiayaan TGUPP ini akan dibahas dalam badan anggaran," katanya.