Untuk mendorong perusahaan-perusahaan menerapkan SNI ISO 37001, harus menjadi pemahaman bersama bahwa bisnis sehat akan terwujud. Tidak hanya skala nasional, tetapi akan dipercaya juga di tingkat internasional.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suap tidak hanya merupakan jenis korupsi terbanyak yang terjadi, tetapi telah mengakar dalam segala jenis praktik koruptif. Untuk itu, dibutuhkan komitmen kuat pimpinan tertinggi, baik lembaga pemerintah maupun swasta, guna mencegah suap.
Wakil Ketua KPK 2003-2007 Amien Sunaryadi menyatakan, memberantas korupsi artinya memberantas suap. Dengan begitu, pemberantasan suap harus dijadikan prioritas dalam ”mengobati penyakit” yang sudah mewabah di lapangan.
Data Anti-Corruption Clearing House, yang dikutip Kompas, Selasa (19/11/2019), menunjukkan, dalam periode 2014-2018, penyuapan menjadi jenis perkara terbanyak dengan 564 perkara dari 887 perkara yang ditangani KPK. Disusul perkara pengadaan barang atau jasa sebanyak 188 perkara dan penyalahgunaan anggaran 46 perkara.
Bahkan, Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi dari KPK mengungkapkan, dari 30 jenis korupsi, suap-menyuap dikelompokkan dalam 12 jenis di antaranya atau yang terbanyak. Pengelompokan ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Pengobatan yang dilakukan KPK dengan menindak suap itu sudah cocok dengan penyakitnya selama ini. Namun, personel KPK kurang, hanya sekitar 1.500 orang,” ujar Amien, saat ditemui di Jakarta.
Sementara Kepolisian Negara RI (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung), yang juga berwenang dalam menindak korupsi, lebih banyak mengejar kerugian negara daripada memberantas suap. Jika arah penindakannya tetap seperti ini, Amien menilai, kedua institusi penegak hukum tidak akan efektif memberantas korupsi.
Pengobatan yang dilakukan KPK dengan menindak suap itu sudah cocok dengan penyakitnya selama ini. Namun, personel KPK kurang, hanya sekitar 1.500 orang.
Hal ini sesuai dengan hasil pemetaan penindakan kasus korupsi berdasarkan penegak hukum Indonesia Corruption Watch tahun 2018. Kejagung menangani 235 kasus dengan jumlah kerugian negara Rp 4,8 triliun dan suap Rp 732 juta, Polri menangani 162 kasus dengan jumlah kerugian negara Rp 425 miliar dan suap Rp 906 juta. Adapun KPK menangani 57 kasus dengan jumlah kerugian negara Rp 385 miliar dan suap Rp 132 miliar.
Amien mengatakan, strategi penindakan korupsi, baik Polri maupun Kejagung, yang lebih mengarah kepada kerugian negara disebabkan oleh pola pikir bahwa korupsi merugikan keuangan negara. Melalui pola pikir ini, polisi ataupun jaksa tidak terbiasa dilatih untuk membongkar kasus suap.
”Padahal, suap itu gampang dibuktikan kalau penegak hukumnya diajari dahulu soal modus suap. Misalnya, A memberikan suap kepada B dan seusai pertemuan, membuang coretan tawar-menawar ke tempat sampah. Penyidik seharusnya memiliki kemampuan untuk menemukan barang bukti itu, kemampuan penggeledahan yang dibutuhkan,” tuturnya.
Penerapan standar
Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengadopsi International Organization for Standardization (ISO) 37001 tentang Sistem Manajemen Antisuap, kata Amien, dapat menjadi langkah awal menghadapi risiko suap. Pimpinan tertinggi, baik di perusahaan swasta, badan usaha milik negara (BUMN), bahkan lingkungan pemerintah sekalipun harus berkomitmen memberantas korupsi.
”Memang harus ada komitmen dari pimpinan tertinggi atau disebut setting tone from the top yang menyatakan kepada bawahan atau rekan bisnisnya secara terbuka bahwa perusahaan menolak segala bentuk korupsi,” ujar Amien.
Sebagai mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Amien menjelaskan, penerapan sistem manajemen antisuap memang harus diawali dari pimpinan, tidak hanya secara individu, tetapi juga perusahaan. Saat menerapkan SNI ISO 37001 pada tahun 2018, langkah ini kemudian menjadi contoh nyata bagi perusahaan migas di bawahnya untuk juga menerapkan.
Direktur PT Integra Solusi Optima Roni I Maulana menyampaikan, banyak perusahaan yang sebenarnya ingin menerapkan SNI ISO 37001. Namun, masih ada keraguan karena proses bisnis terancam terganggu tanpa ada penyuapan.
”Misalnya di pelabuhan, perusahaan mengeluarkan barang, kemudian ada Bea dan Cukai yang di bawah Kementerian Keuangan, ada juga Administrator Perhubungan di bawah Kementerian Perhubungan. Mereka (pengusaha) bilang, jangan kita dahulu dong, tetapi pemerintahnya,” kata Roni.
Data Badan Standardisasi Nasional (BSN) per 31 Desember 2018, baru ada 72 organisasi yang menerapkan sistem manajemen antisuap. Beberapa di antaranya adalah Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), SKK Migas, dan Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian.
Itu yang menjadi tantangan penerapan standar karena di perusahaan atau organisasi akan ada saja lahan basah untuk bermain.
Secara terpisah, peneliti standardisasi BSN, Reza Lukiawan, menyatakan, memang SNI ISO 37001 tidak menjamin 100 persen menutup celah korupsi. Namun, setidaknya, ada upaya mencegah dan mengendalikan lewat sertifikasi sistem manajemen antisuap.
”Itu yang menjadi tantangan penerapan standar karena di perusahaan atau organisasi akan ada saja lahan basah untuk bermain. Maka, tetap diperlukan komitmen dari manajemen puncak untuk sama sekali tidak ada toleransi terhadap penyuapan,” ucapnya.
Menurut Reza, untuk mendorong perusahaan-perusahaan menerapkan SNI ISO 37001, harus menjadi pemahaman bersama bahwa bisnis sehat akan terwujud. Tidak hanya skala nasional, tetapi akan dipercaya juga di tingkat internasional.
”Kalau sudah dapat sertifikat (SNI ISO 37001), kita bisa promosikan bahwa perusahaan kita mencegah korupsi. Biaya sertifikasi dan lainnya pun akan terbayar dengan kepercayaan dan penerimaan yang meningkat,” ujar Reza.