UU KPK Baru Bisa Bebaskan Banyak Tersangka Korupsi
Salah satu dampak dari Undang-Undang KPK hasil revisi yang telah disahkan DPR bersama Pemerintah, yaitu terhentinya penanganan perkara dan bebasnya tersangka korupsi yang sudah berjalan lebih dari dua tahun.
Oleh
sharon patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Salah satu dampak dari Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi yang telah disahkan DPR bersama Pemerintah, yaitu terhentinya penanganan perkara dan bebasnya para tersangka korupsi yang sudah berjalan lebih dari dua tahun. Untuk itu, Presiden diminta segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi demi menyelamatkan upaya pemberantasan korupsi.
“Dengan adanya pasal 70C dalam UU KPK yang baru, dipastikan puluhan tersangka akan bebas demi hukum dan tunggakan-tunggakan perkara KPK akan mulai dari nol lagi karena harus dihentikan penyidikannya. Ini yang menjadi salah satu pasal krusial yang sebenarnya harus dikritisi bersama,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, di Jakarta, Minggu (6/10/2019).
Paparan ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Presiden Harus Tolak Revisi UU KPK, Terbitkan Perppu!”. Diskusi diselenggarakan oleh Koalisi Save KPK yang terdiri dari ICW, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.
Dalam UU KPK hasil revisi, Pasal 40 Ayat (1) menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Kemudian dalam Pasal 70C dinyatakan, pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagai mana diatur dalam undang-undang ini.
Kurnia menegaskan, pasal-pasal ini yang disebut menjadi konsekuensi besar ketika Presiden Joko Widodo tidak segera menerbitkan Perppu UU KPK. Sebab, akan ada potensi bagi KPK untuk mengulang setiap penganan perkara yang telah dilakukan.
Misalnya, mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II, RJ Lino yang ditetapkan tersangka oleh KPK sejak 2015. RJ Lino menjadi tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II tahun 2010 dengan menunjuk langsung Wuxi HuaDong Heavy Machinery Co, Ltd (HDHM) dari China sebagai penyedia barang.
“Kasus Pelindo II ini sudah ada praperadilannya dan ditolak. Artinya, setiap perkara mempunyai domain kesulitan berbeda, Kalau OTT dengan penyadapan itu perkara yang mudah dibuktikan di persidangan. Tapi kalau sifatnya case building, itu membutuhkan waktu yang panjang,” ujar Kurnia.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah juga memastikan bahwa tidak ada kasus yang digantung karena penyidikan terus berjalan. Terbukti pada 29 September 2019, KPK memanggil Direktur Utama PT Jayatech Putra Perkasa, Paulus Kokok Parwoko, General Manager PT Pelindo II cabang Pelabuhan Panjang Drajat Sulistyo, dan General Manager PT Pelindo II cabang Pelabuhan Palembang Agus Edi Santoso untuk menjadi saksi atas tersangka RJ Lino.
“Pembatasan masa penyidikan hanya dua tahun akan berisiko cukup besar pada kasus korupsi yang kompleks. Semestinya ada regulasi-regulasi yang membantu mempercepat penanganan perkara, bukan menghambat,” ujar Febri.
Selain RJ Lino, data Anti-Corruption Clearing House menunjukkan, setidaknya ada beberapa perkara dan nama tersangka korupsi yang surat perintah penyidikannya diterbitkan pada atau di bawah 2017. Artinya sudah berjalan dua tahun atau lebih.
Pada 2015, tersangka Tubagus Chaeri Wardana untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU) pengadaan alat kesehatan Kedokteran Umum Puskesmas Kota Tangerang Selatan APBDP Tahun Anggaran 2012. Pada 2016, mantan Panitera Pengganti pada PN Jakarta Utara dan PN Bekasi, Rohadi menjadi tersangka TPPU dalam perkara di Mahkamah Agung RI dan penerimaan gratifikasi.
Kemudian di 2017, mantan Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd, Soetikno Soedarjo dan mantan Dirut PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar ditetapkan tersangka dalam tindak pidana korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C. pada PT Garuda Indonesia.
Segera terbitkan perppu
Direktur Jaringan dan Advokasi PSHK, Fajri Nursyamsi menyampaikan bahwa memang judicial review di Mahkamah Konstitusi dapat ditempuh untuk membatalkan UU KPK hasil revisi. Namun, diharapkan Presiden Jokowi dapat menerbitkan perppu.
“Sebelum itu (judicial review) dilakukan, apakah benar kesalahan yang dilakukan eksekutif dan legislatif akan dibiarkan dikoreksi oleh orang lain (MK)? Tidakkah lebih baik jika Presiden yang langsung mengambil langkah dan sikap dengan menerbitkan Perppu UU KPK,” ujar Fajri.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, M Isnur menyatakan penerbitan Perppu UU KPK sama sekali tidak akan menjatuhkan citra Presiden Jokowi baik di mata hukum maupun masyarakat. Sebaliknya, langkah ini akan menjaga bahkan meningkatkan kepercayaan mayarakat.
“Indonesia itu menganut sistem presidensiil. Buktikan bahwa presiden merupakan pengendali mandat penuh negara ini, bukan dikendalikan oleh segelintir elite partai politik. Kalau sampai Pak Jokowi tidak merasa (ada kegentingan), berarti ada yang salah dengan hati dan kepalanya,” kata Isnur.