Dari Hanya 91 RUU hingga Aksi Bungkam Pansus Pemindahan Ibu Kota
Selama lima tahun bekerja, DPR Periode 2015-2019 hanya mampu mengesahkan 91 RUU. Selain itu, DPR juga telah membentuk Pansus Pemindahan Ibu Kota Negara. Namun hasil kinerja pansus tidak dibacakan dalam rapat paripurna.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Selama 5 tahun bekerja, Dewan Perwakilan Rakyat Periode 2015-2019 hanya mampu mengesahkan 91 rancangan undang-undang. Jumlah itu lebih sedikit dibanding DPR Periode 2009-2014 yang mampu mengesahkan 125 rancangan undang-undang.
Hal itu terungkap dalam rapat paripurna akhir masa jabatan DPR Periode 2014-2019, pada Senin (30/09/2019). Rapat yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, itu dipimpin Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Berdasarkan presensi kehadiran, ada 307 anggota DPR yang menandatangani daftar hadir rapat paripurna. Namun setelah dihitung manual, hanya terdapat 266 anggota DPR yang hadir.
Rapat yang seharusnya mulai pukul 10.00 itu juga baru dimulai pukul 11.10. Rapat itu mundur sejam lebih karena menunggu kuota forum rapat paripurna terpenuhi.
Dalam pidato rapat paripurna, Bambang menjelaskan, 29 September 2019, DPR telah menyelesaikan 91 rancangan undang-undang (RUU). RUU itu terdiri atas 36 RUU dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dan 55 RUU kumulatif terbuka.
"DPR juga telah menunda pengesahan beberapa RUU, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, dan RUU Pertanahan," ucapnya.
Pada masa persidangan pertama tahun 2019, DPR telah mengesahkan sejumlah RUU, yaitu RUU Pertanggungjawaban dan Pelaksanaan APBN 2018, RUU APBN Tahun Anggaran 2020, RUU Perkawinan, RUU MD3, RUU KPK, dan RUU Sumber Daya Air. Selain itu ada juga RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, RUU Ekonomi Kreatif, RUU Pesantren, dan RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Bambang mengemukakan, terdapat sejumlah RUU prioritas yang masih dalam pembicaraan tingkat I di komisi dan panitia khusus (pansus) yang belum dapat diselesaikan. RUU itu adalah RUU Pertanahan, RUU Daerah Kepulauan, RUU Kewirausahaan Nasional, RUU Desain Industri, RUU Bea Materai, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Larangan Minuman Beralkohol, RUU Pertembakauan, RUU Perkoperasian, serta RUU Pengawasan Obat dan Makanan.
"Nantinya, sejumlah RUU tersebut akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR periode berikutnya," kata dia.
Dalam rapat paripurna, Anggota Komisi VI DPR RI dari fraksi PKS, Slamet meminta maaf, karena selama lima tahun bekerja, Komisi VI tidak menghasilkan produk legislasi sama sekali. Hal itu terjadi karena terlalu banyak tarik-menarik kepentingan dalam proses pembuatan undang-undang.
"Kami selaku Komisi VI memohon maaf, dan berharap hal seperti ini tidak terulang lagi," ujarnya.
Selama lima tahun bekerja, Komisi VI tidak menghasilkan produk legislasi sama sekali, karena terlalu banyak tarik-menarik kepentingan dalam proses pembuatan undang-undang.
Sebelumnya, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan, kinerja DPR kali ini jauh lebih buruk dibanding periode sebelumnya (2009-2014) yang mampu mengesahkan 125 RUU.
"Saya juga menyayangkan, Komisi VI DPR yang membidangi perindustrian, perdagangan, Koperasi dan UKM, BUMN, investasi, dan standarisasi nasional tidak mampu menghasilkan produk legislasi. Saya menilai, hal ini dikarenakan para anggota Komisi VI ingin memboikot Menteri BUMN Rini Soemarno," katanya.
Menanggapi hal itu, Bambang mengemukakan, target prolegnas kali ini sulit tercapai karena penentuan target prioritas tahunan terlalu tinggi. Penentuan target itu juga belum sepenuhnya mempertimbangkan ketersediaan waktu legislasi.
Target prolegnas kali ini sulit tercapai karena penentuan target prioritas tahunan terlalu tinggi....Kami juga sering menemui jalan buntu (dead lock) antara DPR dan pemerintah.
Selain itu, parameter yang digunakan untuk menentukan RUU yang akan dimasukan dalam prolegnas juga lemah. "Kami juga sering menemui jalan buntu (dead lock) antara DPR dan pemerintah karena ketidaksepahaman baik dari internal DPR maupun internal pemerintah," ujarnya.
Pansus Ibu Kota Negara
Selain RUU, DPR juga telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemindahan Ibu Kota Negara. Hal itu terkait dengan rencana pemindahan ibu kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan surat Nomor: R-34/Pres/08/2019 perihal Penyampaian Hasil Kajian dan Permohonan Dukungan Pemindahan Ibu Kota kepada Ketua DPR RI.
Menindaklanjuti hal tersebut, kata Bambang, DPR telah membentuk Pansus Pemindahan Ibu Kota Negara pada 16 September 2019. Pansus telah melaksanakan sejumlah kegiatan, antara lain kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Timur, rapat kerja dengan beberapa menteri, Panglima TNI, Kapolri, dan Gubernur DKI Jakarta.
DPR juga telah menunjuk Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Zainuddin Amali menjadi ketua pansus. Dalam agenda rapat paripurna kali ini, seharusnya ketua pansus membacakan hasil laporan kinerja terkait pemindahan ibu kota negara. Namun, laporan tersebut tidak dibacakan dan hanya diserahkan secara tertulis kepada Ketua DPR.
Hal ini memicu reaksi para anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna tersebut. Sejumlah anggota yang ada dalam ruang rapat paripurna berteriak meminta penjelasan.
"Bacakan dong hasil laporannya, kami ingin tahu hasil kerja pansus," kata sejumlah anggota dewan.
Bacakan dong hasil laporannya, kami ingin tahu hasil kerja pansus.
Salah satu anggota dewan yang masih menolak pemindahan ibu kota yaitu Didi Irawadi Syamsuddin, anggota DPR dari Fraksi Demokrat. Menurut Didi, belum ada hal yang mendesak sehingga ibu kota negara harus dipindahkan.
"Seharusnya, negara lebih baik mengentaskan masalah kemiskinan, daripada harus memindahkan ibu kota negara yang menelan banyak biaya," kata Didi dalam forum rapat paripurna itu.