Karpet Merah untuk Koruptor
Di tengah langkah yang terseok-seok mendongkrak capaian Indeks Persepsi Korupsi, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini menjadi simbol antikorupsi tak pernah berhenti. KPK dikepung dari banyak penjuru. Mulai dari rencana revisi Undang-Undang KPK, seleksi calon pimpinan yang banyak mengundang kritik, juga upaya menurunkan ancaman hukuman untuk koruptor melalui revisi KUHP.
Upaya membenamkan KPK konsisten dilakukan, utamanya dari politisi di Senayan. Bukan kali ini saja, DPR tercatat telah berkali-kali ingin mengubah undang-undang yang menjadi jantung KPK.
Berdasarkan catatan Kompas, usulan perubahan UU KPK dengan materi serupa seperti pembentukan Dewan Pengawas, izin penyadapan, dan kewenangan penghentian perkara ditemukan juga pada 2015, 2016, dan 2017. Dalam rencana revisi kali ini, terdapat beberapa poin lain terkait penyelidik dan penyidik yang diatur memiliki pendidikan latar belakang kepolisian hingga kewenangan pengelolaan LHKPN yang tak lagi diserahkan pada KPK.
Pihak-pihak yang mengusulkan revisi UU KPK pun kurang lebih sama. Pengusul revisi kali ini Masinton Pasaribu dan Risa Mariska (Fraksi PDI-P), Saiful Bahri Ruray (Fraksi Partai Golkar), Ibnu Multazam (Fraksi PKB), Achmad Baidowi (Fraksi PPP),dan Taufiqulhadi (Fraksi Partai Nasdem). Mereka semua berasal dari fraksi partai pendukung pemerintah.
Sebagian dari nama-nama itu juga termasuk yang aktif saat Panitia Khusus Angket yang ingin merevisi UU KPK pada 2017 dan kerap bersuara terkait penanganan perkara KTP Elektronik. Namun jika mengacu pada perjalanan KPK selama hampir 17 tahun, sebenarnya tak ada partai politik yang kadernya belum pernah ditangkap KPK.
Praktisi hukum Abdul Fickar Hadjar mengemukakan, kinerja KPK yang getol memberantas korupsi telah mengganggu kenyamanan sejumlah pihak. “Dan ‘korbannya’ ada ratusan dari DPR/DPRD, pimpinan partai politik, dan menteri,” katanya.
Hingga Juni 2019, KPK telah menetapkan 255 anggota DPR/DPRD, enam pimpinan partai politik, 130 kepala daerah, serta 27 kepala lembaga atau kementerian sebagai tersangka korupsi. “Ini membuat banyak orang secara psikologis keberatan terhadap kehadiran KPK yang independen,” katanya.
Adapun poin-poin yang masuk dalam draf RUU KPK saat ini, juga menjadi bahan pertanyaan yang diajukan ke 20 calon pimpinan KPK pada uji publik dan wawancara dengan Panitia Seleksi Capim KPK pada akhir Agustus silam. Langkah serupa juga akan dilakukan Komisi III DPR saat melakukan fit and proper test.
Calon-calon yang pandangannya sejalan dengan DPR memiliki kans lebih besar untuk dipilih. “Kami akan lihat, cocok atau tidak pandangannya. Kalau memang cocok dengan UU baru, mungkin itu yang kami pilih,” kata Taufiqulhadi dari Fraksi Partai Nasdem. Hal senada juga diungkapkan oleh Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Catatan Kompas, revisi UU KPK juga dijadikan bahan pertimbangan saat DPR menyeleksi calon-calon komisioner KPK pada 2015 lalu. Dalam sesi wawancara, anggota Dewan pun meminta pandangan para capim terkait materi revisi UU KPK.
Notulensi Laporan Singkat Uji Kelayakan dan Kepatutan Capim KPK pada 2015 menunjukkan, dua calon yang tidak lolos, Surya Tjandra dan Johan Budi, cenderung menolak revisi UU KPK dan materi di dalamnya di sesi wawancara. Surya Tjandra saat itu menolak kewenangan penyadapan diatur ulang karena dikhawatirkan melemahkan KPK. Sementara, Johan Budi lebih tegas menolak revisi UU KPK dengan alasan draf RUU yang beredar cenderung melemahkan KPK.
Melapangkan jalan
Gempuran juga datang dari rancangan legislasi lain di DPR. Setidaknya ada dua RUU lain yang juga dikebut DPR dan pemerintah, yang substansinya juga menjadi ancaman dan semakin melapangkan jalan untuk para koruptor, yaitu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan (RUU PAS). Keduanya sedang dibahas di Komisi III DPR.
Di RKUHP, ancaman hukuman penjara dan denda untuk koruptor diringankan dari ketentuan sebelumnya di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meski ada penolakan tegas dari KPK dan pegiat antikorupsi, DPR dan pemerintah tetap memutuskan memasukkan pasal-pasal tindak pidana khusus, termasuk korupsi, dalam RKUHP. Pasal-pasal yang dimasukkan ke dalam RKUHP adalah pasal pidana inti (core crime) yaitu 2, 3, 5, 11, dan 13 Undang-Undang Tipikor. Ketentuan peralihan di RKUHP menyatakan, dengan masuknya lima delik itu, pasal-pasal yang samadi UU Tipikor otomatis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Implikasinya, aturan ancaman pemidanaan di sejumlah pasal yang diadopsi masuk ke RKUHP itu menjadi lebih ringan dibanding ketentuan sebelumnya di UU Tipikor. Bahkan elak ini data berujung kembali pada kuncian untuk merevisi UU KPK. Misalnya, memperkaya diri di Pasal 604 diancam hukuman paling singkat 2 tahun. Padahal, di UU tipikor perbuatan yang sama diancam pidana 4 tahun. Hukuman denda minimum pun diperingan di RKUHP menjadi Rp 10 juta, dari sebelumnya Rp 200 juta. Hukuman mati yang sebelumnya diatur di UU Tipikor juga ditiadakan.
Tidak hanya itu, hidup para koruptor setelah divonis juga semakin dipermudah melalui RUU Pemasyarakatan yang saat ini juga sedang dibahas. Fraksi-fraksi di DPR meminta agar RUU Pemasyarakatan meniadakan syarat yang memberatkan pemberian bebas bersyarat dan asimilasi untuk terpidana korupsi.
Aturan itu sebelumnya tercantum di Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam PP tersebut diatur, asimilasi atau pembebasan bersyarat khusus terpidana kasus kejahatan luar biasa, seperti korupsi, baru diberikan setelah ada rekomendasi dari lembaga penegak hukum yang menangani kasus terpidana bersangkutan.
Aturan itu ditiadakan dalam RUU Pemasyarakatan karena DPR menganggapnya diskriminatif terhadap para napi korupsi. Menurut fraksi-fraksi di DPR, terpidana korupsi yang sudah berkelakuan baik seharusnya tidak perlu dipersulit haknya.
Ketua KPK Agus Rahardjo pun merasa langkah yang dilakukan para legislator ini akan berujung pada berhentinya agenda pemberantasan korupsi. “Sepertinya semuanya kok malah untuk melindungi koruptor?” ujar Agus.
Rohaniwan Frans-Magnis Suseno sangat menyayangkan kondisi yang terjadi belakangan ini. Masukan masyarakat seolah tak mempan untuk para anggota parlemen. Harapan terakhir ada pada Presiden Joko Widodo. Tujuan utama dari pemberantasan korupsi, lanjutnya, adalah untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagai bentuk kejahatan luar biasa, bentuk penghukumannya pun semestinya luar biasa, bukan justru memperoleh banyak kemudahan.
Ada banyak contoh betapa korupsi merugikan masyarakat. Sebut saja, korupsi pengadaan KTP Elektronik yang merugikan negara Rp 2,3 triliun. Masyakarat kesulitan mengakses berbagai layanan publik karena kartu identitasnya terhambat. Kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara Rp 4,5 triliun.
Ceceran contoh tersebut tak sanggup mengetuk para wakil rakyat. Kemaslahatan para oligark dan teman sejawat jauh lebih penting untuk diselamatkan dari masyarakat yang hanya dilirik saat Pemilu mendekat. Dengan berat hati, selamat datang di negeri yang korup.