Lobi-lobi Politik Jalan di Tempat, Wacana Revisi UU MD3 Mengemuka
Oleh
Agnes Theodora, Kurnia Ayu Yunita, dan Ihsan Al Fajri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Lobi-lobi antarpartai politik terkait pengisian kursi pimpinan Majelis Permusyawarakatan Rakyat mandek berjalan di tempat. Atas dasar itu, wacana untuk merevisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk menambah jumlah kursi pimpinan MPR semakin mengemuka sebagai jalan tengah untuk mempermulus pembagian jabatan antara para elite.
Rencana revisi itu dimunculkan untuk menambah jumlah pimpinan MPR menjadi delapan atau 10 orang. Dalam Pasal 427 C Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang berlaku saat ini, jumlah pimpinan MPR periode 2019-2024 hanya terdiri dari lima kursi, yang terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua.
Penambahan jumlah pimpinan MPR itu didorong sejumlah fraksi. Beberapa di antaranya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Golkar.
Berdasarkan informasi yang diterima Kompas, penambahan jumlah pimpinan MPR itu didorong sejumlah fraksi. Beberapa di antaranya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Golkar.
“Saat ini kami sedang mengusulkan (pimpinan MPR terdiri dari) satu ketua dan sembilan wakil. Kami berharap agar itu diterima, kalau diterima berarti diubah UU MD3-nya,” kata Anggota MPR dari Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay, Rabu (21/8/2019).
Di sela-sela acara Muktamar Kelima Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Nusa Dua, Bali, kemarin, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, lobi-lobi terkait pembagian kursi pimpinan MPR antara partai-partai politik sedikit macet dan berjalan di tempat. Oleh karena itu, wacana revisi UU MD3 yang mengemuka ditengarai dapat menjadi jalan tengah yang menebus kebuntuan lobi politik itu.
Menurutnya, jika sampai akhir Agustus, komunikasi politik masih macet, maka urgensi merevisi UU MD3 menjadi kuat.
“Memang saat ini proses lobi masih macet. Koalisi untuk sekarang saling menjaga dulu satu sama lain, tetapi kita tunggu saja dinamika yang berkembang. Posisi kami pasif menunggu, kami tidak mengusulkan perubahan UU MD3, tetapi kalau diperlukan, ya tidak ada masalah,” katanya.
Seperti diketahui, saat ini, semua partai sama-sama mengincar kursi pimpinan MPR yang saat ini terdiri dari lima kursi. Lobi-lobi politik berlangsung lintas kubu, tidak hanya di internal koalisi partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tetapi juga dengan partai-partai eks pendukung Prabowo Subianto.
Wacana menambah jumlah pimpinan MPR saat ini terus disuarakan oleh sejumlah fraksi, salah satunya melalui momentum pembahasan revisi Tata Tertib pemilihan pimpinan MPR.
Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, tata tertib pemilihan pimpinan MPR telah dibahas dalam forum rapat pleno Badan Legislasi di Denpasar, Bali, pada 19-20 Agustus 2019 lalu.
“Semua fraksi dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah sudah menyampaikan pandangannya,” kata Hendrawan.
Akan tetapi, pembahasan dalam rapat pleno tersebut belum usai. Rapat dilanjutkan oleh tim kecil yang terdiri dari tim perumus dan tim sinkronisasi di Surabaya selama dua hari, pada 21-22 Agustus 2019.
Hendrawan menambahkan, tidak semua fraksi berpandangan sama tentang wacana penambahan jumlah pimpinan MPR. Meski demikian, rapat tersebut tetap menampung seluruh aspirasi terlebih dahulu. Hasil pembahasan tersebut nantinya akan dijadikan masukan dalam forum rapat gabungan MPR yang rencananya diadakan pada Rabu (28/8/2019) mendatang.
Berbeda
Sementara itu, setiap fraksi memiliki pandangan berbeda terkait revisi UU MD3. Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini berpendapat, penambahan jumlah pimpinan MPR sah saja asalkan didasarkan pada kesepakatan bersama seluruh partai. Sebagai lembaga permusyawaratan yang diisi anggota DPR dan DPD, akan lebih baik jika komposisi pimpinannya merepresentasikan seluruh partai yang lolos ambang batas parlemen.
Adapun Wakil Ketua Fraksi PDI-P Arif Wibowo menegaskan, partainya menolak wacana revisi UU MD3. Alasannya, UU MD3 baru saja direvisi pada 2018 lalu dan saat ini tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2019.
Selain itu, UU MD3 mengatur hal baku yang dinilai mampu menjamin stabilitas sistem ketatanegaraan dan sistem politik. Salah satunya penetapan komposisi pimpinan MPR saat ini, yang dipandang sudah sesuai dengan tujuan UU MD3, yaitu menyederhanakan sistem kepartaian.
Menurut Arif, sulit untuk mengendalikan pengubahan pasal-pasal lain jika kesempatan untuk merevisi UU MD3 telah dibuka. Kemungkinan besar, pembahasannya akan melebar pada pasal yang lain sehingga berpotensi menimbulkan kegaduhan politik nasional.
Senada, anggota Komisi XI DPR sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Muhammad Sarmuji, mengatakan, belum ada urgensi revisi UU MD3. “Kalau sekarang, rasanya terlalu mahal jika hanya untuk menunjukkan kesan kebersamaan dalam wadah MPR,” ujar Sarmuji.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, belum ada usulan revisi UU MD3 baik dari DPR maupun pemerintah. Meski demikian, kemungkinan bagi pihak yang ingin mengusulkan belum ditutup.