Saatnya Beralih ke Pemilu Elektronik?
KPU berencana menerapkan rekapitulasi penghitungan secara elektronik (e-rekap) saat Pilkada 2020. Pemilu berbasis elektronik diyakini memiliki keunggulan keakuratan data, efisiensi biaya dan waktu, serta meningkatkan partisipasi pemilih.
Kemajuan teknologi informasi saat ini telah dimanfaatkan di berbagai bidang, tak terkecuali politik, seperti pada proses pemilu. Tahapan pemilu, yang dulu dilakukan secara manual dengan melibatkan kerja manusia seluruhnya, kini sebagian telah digantikan secara otomatis oleh perangkat elektronik.
Sejumlah negara telah lama menerapkan pemilu berbasis elektronik, mulai dari proses pemungutan suara hingga tahapan rekapitulasi suara.
Sebut saja India, Venezuela, Bahrain, Brasil, Irlandia, Belanda, Filipina, Amerika Serikat, dan Jerman. Bahkan, Estonia telah menerapkan pemungutan suara dengan internet (i-voting) sejak 2005. Cara ini memungkinkan pemilih memberikan hak suaranya secara daring melalui koneksi internet.
Berdasarkan catatan dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), pemilu berbasis elektronik dipilih karena keakuratan data, efisiensi biaya dan waktu, serta meningkatkan partisipasi pemilih.
Filipina, negara di Asia Tenggara yang pertama kali menerapkan semi-pemilu elektronik sejak 2005, merasakan dampak positif dari penerapan teknologi informasi dalam proses pemilu. Salah satu dampak itu adalah kecepatan penghitungan suara. Hasil penghitungan sudah dapat diketahui 2 jam setelah pemungutan suara ditutup. Selain itu, partisipasi pemilih juga meningkat dari 74,99 persen pada 2010 menjadi 81,62 persen pada 2016.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Hampir setiap kali pergelaran pemilu atau pemilihan kepala daerah, dorongan agar pemilu elektronik diterapkan terus disuarakan. Namun, hingga pemilu terakhir, Pemilu 2019, pemilu elektronik masih sebatas wacana.
Saat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih dibahas DPR dan pemerintah, aturan pemilu elektronik sebenarnya sempat muncul. Namun, kemudian DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak memasukkannya dalam regulasi pemilu.
Padahal, sejak 2014, aturan pemilu elektronik sudah dimasukkan dalam regulasi pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam UU Pilkada terakhir, UU No 10/2016, aturan pemilu elektronik itu tertera dalam Pasal 85, yaitu pemberian suara untuk pemilihan dapat melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik.
Hanya saja, hingga gelaran pilkada terakhir, tahun 2018, KPU juga tak kunjung mengeluarkan peraturan pelaksanaannya. Salah satunya karena KPU khawatir akan keamanan sistem pemilu elektronik.
Sementara itu, perangkat untuk pemilu elektronik sudah lama dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). BPPT bahkan telah menguji coba pemilu elektronik di level pemilihan kepala desa (pilkades).
Pada 2013, misalnya, pemilu elektronik diterapkan di 13 pemilihan kepala desa di Boyolali (Jawa Tengah), Jembrana (Bali), dan Musi Rawas (Sumatera Selatan) (Kompas, 10/10/2014).
Deputi BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Hammam Riza menyebutkan, dari sisi teknologi yang digunakan untuk pemilu elektronik, BPPT sudah siap. Selanjutnya, tinggal diproduksi.
”BPPT bukan pabrik. Kami hanya menyiapkan teknologi. Selanjutnya, pemerintah menunjuk industri untuk memproduksi alat-alat pemilu elektronik sehingga pemilu elektronik bisa diterapkan pada pemilu legislatif, pemilu presiden, atau pilkada,” ujar Hammam (Kompas, 12/11/2015).
Baca juga: Manajemen Pemilu di Negeri Padat Pemilih, India
Kini, menjelang Pilkada 2020 yang akan digelar serentak di 270 daerah, wacana pemilu elektronik kembali muncul.
Tahapan e-rekap
KPU telah menyiapkan sejumlah tahapan untuk menjadikan hal itu tak lagi sebatas wacana dalam Pilkada 2020. Namun, penerapan teknologi belum menyentuh keseluruhan proses pemilu. KPU baru berencana menerapkan rekapitulasi suara secara elektronik atau e-rekap. Adapun proses pemungutan dan penghitungan suara masih dengan pola manual atau konvensional.
Dengan e-rekap, suara dari tempat-tempat pemungutan suara (TPS) dapat langsung didistribusikan ke KPU dan langsung direkapitulasi oleh KPU. Tak perlu lagi proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, atau KPU kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur.
E-rekap dipilih lebih dulu karena jika terjadi serangan peretasan (hacking) pada sistem e-rekap, serangan dapat diantisipasi. ”Dalam e-rekap ini masih memiliki dan dapat melacak bahan bakunya, yakni surat suara dan hasil penghitungan suara C1. Tetapi, dalam e-voting tidak ada bahan baku karena suara pemilih dihitung secara elektronik,” kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Thantowi.
Saat ini, KPU tengah menyiapkan rancangan peraturan KPU sebagai landasan hukum e-rekap. Setelah rampung, KPU akan membangun sistemnya.
”Jika sistemnya sudah mapan, baru akan kami minta lembaga yang mempunyai wewenang untuk melakukan audit terhadap sistem ini,” ujar Pramono.
Baca juga: Situng Diusulkan Jadi E-Rekap untuk Pilkada 2020
Selanjutnya, KPU akan uji coba e-rekap di sejumlah daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020. Uji coba bakal dilakukan secara berkala hingga hari pemungutan suara Pilkada 2020 pada 23 September 2023. Jika lancar, tak ada alasan lagi untuk tidak mengimplementasikan e-rekap dalam Pilkada 2020.
Apalagi, dukungan untuk e-rekap sudah datang dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dan Komisi II DPR. Ini setidaknya terlihat saat rapat antara Mendagri, Komisi II, dan penyelenggara pemilu di Kompleks Parlemen, Jakarta, 8 Juli 2019.
Memangkas biaya
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, jika e-rekap diimplementasikan, biaya pemilu jelas dapat dipangkas. Pasalnya, dengan e-rekap, KPU tak perlu mengeluarkan biaya rekapitulasi suara bagi petugas di level desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) yang juga mantan komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, menyebutkan, penggunaan e-rekap dapat menghemat biaya hingga miliaran rupiah.
”Proses rekapitulasi berjenjang itu membutuhkan biaya yang besar, mulai dari menyewa tempat, membayar honor pekerja, hingga pengamanan. Dengan adanya e-rekap, proses tersebut tidak perlu dilakukan dan tidak perlu mengeluarkan biaya,” katanya.
Baca juga: Peta Jalan Pemilu Elektronik
Sebagai gambaran, pemilihan wali kota-wakil wali kota Surabaya masuk dalam salah satu Pilkada 2020. Tercatat ada 31 kecamatan di Surabaya, yang berarti dibutuhkan 155 petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan 154 kelurahan yang berarti dibutuhkan 462 petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Jika mengacu pada Surat Kementerian Keuangan Nomor S-118/MK.02/2016 tanggal 19 Februari 2016 yang mengatur soal biaya honorarium petugas saat Pemilu 2019, honorarium anggota PPK sebesar Rp 1,6 juta per bulan, sedangkan anggota PPS Rp 850.000 per bulan.
Maka, jika proses rekap tak ada lagi, KPU tak perlu mengeluarkan biaya setidaknya sebesar Rp 248 juta untuk PPK dan Rp 392,7 juta untuk PPS. Sebab, kerja mereka akan lebih ringan. Saat pemilu, mereka tak perlu lagi melakukan rekapitulasi suara. Mereka hanya bertugas membantu memutakhirkan daftar pemilih dan mengawal distribusi logistik pemilu hingga ke TPS.
Selain itu, e-rekap dapat mempersingkat waktu penyelenggaraan pemilu. Dengan proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, atau KPU kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur ditiadakan, maka waktu penyelenggaraan pemilu bisa dipangkas enam hingga sembilan hari.
Enam hari untuk pemilihan bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota serta sembilan hari untuk pemilihan gubernur-wakil gubernur. Ini praktis membuat masyarakat bisa lebih cepat mengetahui hasil pilkada.
Baca juga: Menggagas Perbaikan Sistem Pemilu
E-rekap juga dapat mencegah manipulasi suara, baik penggelembungan suara maupun jual-beli suara, yang selama ini kerap terjadi di setiap tingkatan rekapitulasi.
Yang juga penting, dengan penerapan e-rekap, kematian banyak petugas karena kelelahan, seperti terjadi pada Pemilu 2019, dapat diminimalkan.
Baca juga: Penelitian UGM: Kematian Petugas KPPS Bukan karena Diracun
Ini karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di setiap TPS yang sudah berjibaku menyiapkan, mengawal pemungutan suara, dan menghitung suara di TPS pada hari pemungutan suara tak perlu lagi disibukkan dengan proses rekapitulasi suara di desa/kelurahan atau kecamatan.
Namun, sebelum e-rekap diterapkan, ahli IT Marsudi Wahyu Kisworo, yang juga menjadi arsitek pembangunan sistem IT pertama KPU, mengingatkan KPU untuk membangun sistem atau teknologi yang tepat.
”Semua sistem IT bisa diretas. Oleh karena itu, harus menggunakan teknologi yang jika diretas masih bisa bertahan seperti blockchain. Dengan sistem blockchain ini tidak bisa ada manipulasi dan perubahan data tidak mungkin dilakukan,” ujarnya.
Baca juga: Ancaman Serangan Siber di Balik Wacana Pemilu Elektronik
Jika e-rekap berhasil di Pilkada 2020, dan sistem yang dibangun andal menangkal setiap ancaman peretasan, mungkinkah teknologi informasi diterapkan pada skala yang lebih besar? Pada pemilu di level nasional, baik pemilu legislatif maupun presiden, dan teknologi digunakan pada seluruh tahapan?
E-rekap pada pemilu level nasional sangat mungkin terjadi. Namun, sebelum mengaplikasikan teknologi pada tahapan pemilu lain, yaitu pemungutan suara dan penghitungan suara, banyak hal harus ditimbang.
Salah satunya, seperti pernah disampaikan Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga Prof Ramlan Surbakti. Menurut dia, penerapan teknologi dalam pemilu hendaknya berangkat dari kehendak untuk meningkatkan kualitas pemilu. Selama ini, penerapan pemungutan dan penghitungan suara di Indonesia dengan gaya konvensional dipuji banyak negara dan diakui sebagai praktik terbaik.
Baca juga: ”E-Voting” Diterapkan pada Pemilu 2024?
”Maka, kita tidak perlu pakai pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik karena terbukti, praktik di Indonesia yang terbaik kualitasnya. Justru yang lebih dibutuhkan adalah rekapitulasi elektronik karena di sana kerap terjadi kecurangan,” tambahnya.